“Kamu tahu, By. Aku, satu-satunya orang yang menentang pernikahan kamu dan Yasmen.”Byakta terkesiap. Bergeming di tempat dan menelan ludah. Kenapa, pria itu tahu-tahu ada di sebelah Byakta, yang sudah menjauh, menyepi dari keramaian.“Ayah,” ucap Byakta menoleh pelan pada Pras.“Pertama, karena kamu itu pengecut,” ungkap Pras terus terang. “Kedua, kamu masih belum bisa move on dari Mai, dan aku tahu itu.”“Ayah, aku—”“Aku ingatkan kamu, By.” Pras memutar tubuh untuk menatap Byakta, setelah memandang putrinya dari kejauhan. “Ubah sikapmu, sebelum Yasmen tahu kalau yang menghantui pernikahannya bukan bayangan Raya, tapi Mai.”Byakta kembali menelan ludah. Tidak ada kalimat sanggahan yang bisa Byakta lontarkan pada Pras, karena pria itu berkata benar.“Ingat, By. Penyesalan selalu datang belakangan.” Tubuh Pras kembali berputar dan mengarahkan pandangannya kembali ke Mai. “Dan aku bisa jamin, kamu nggak akan pernah dapat perempuan yang tulus seperti Yasmen. Jadi sadarlah, sebelum semua
“Yasmen!” Byakta menyusul Yasmen yang kembali masuk ke bagian dalam rumah. Sebelum mencapai ujung tangga, Byakta dengan cepat meraih tangan istrinya. “Yas, sebelum bicara pikirkan dulu semuanya baik-baik.”Yasmen berusaha melepaskan tangan Byakta, tapi percuma. Kenapa pria itu sampai mencengkram tangan Yasmen begitu erat seperti ini.“Lepasin, atau aku teriak,” ancam Yasmen.“Kalau hukumanmu mau ditambah sama ayah, silakan teriak.”“Mas By!”“Yasmen, dengarkan aku baik-baik.” Byakta sedikit melonggarkan cengkramannya, tapi tetap tidak membiarkan Yasmen pergi ke mana pun. “Menikah itu nggak gampang, Yas! Coba hitung, sudah berapa kali mulutmu itu dengan entengnya bilang cerai? Kamu kira nikah itu seperti ganti baju, yang bisa kamu ganti seenaknya?”“Mas, kenapa selalu aku yang kamu salahkan?” ujar Yasmen mulai bersikap dingin pada Byakta. Bertemu Cipta dan berbicara beberapa hal dengan bocah itu, akhirnya membuat mata Yasmen terbuka.Bagaimana jika nasib pernikahannya nanti akan berakh
Satu hal yang Yasmen lupa ketika sudah memutuskan untuk berpisah dari Byakta, yakni, hari itu ia sudah membuat janji untuk menginap di rumah sang mertua. Yasmen tidak enak hati, jika harus membatalkan janji tersebut karena ini pertama kalinya ia akan berkumpul di rumah Byakta.Pada akhirnya, demi memberi kebahagiaan palsu Yasmen dengan terpaksa kembali memasang senyum di depan Mario dan istrinya.“Waktu Byakta bilang kamu mau nginap sini, Mama langsung telpon mami kamu,” ungkap Miska, istri Mario di sela makan malam keluarga yang hampir berakhir. “Mama langsung tanya makanan kesukaanmu, biar bisa Mama masakin.”Saat duduk di meja makan yang jadi satu dengan dapur, Yasmen sudah melihat ayam goreng krispi tersaji di depan mata.“Mama juga masak capcai, kesukaan Byakta,” tambah Miska.Capcai kesukaan Byakta?Bukannya pria itu kerap berujar menyukai rendang? Namun, mengapa Miska mengatakan Byakta menyukai masakan yang terdiri dari campuran sayur tersebut?Aneh, tapi Yasmen tidak ingin mem
Yasmen mendesah lega saat merebahkan tubuh di tempat tidur. Ternyata, berkumpul bersama keluarga Byakta cukup menyenangkan. Mario dan Miska memang masih terlihat sedikit segan, tapi, Yasmen tetap bisa merasakan kehangatan di dalam keluarga tersebut.Lantas, Yasmen juga melihat sisi manis Byakta, ketika berkumpul bersama keluarganya. Byakta yang dilihatnya, sungguh seperti pria yang dahulu kala selalu bersikap hangat dan baik pada Yasmen.“Kamu nggak mandi?” Yasmen melirik Byakta yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria itu sudah tampak segar dan wangi dengan handuk kecil yang masih tergantung di leher.“Nggak, ah. Aku nggak bau, jadi besok pagi aja.” Yasmen menggeser posisi tidurnya mendekati dinding. Menyisakan sedikit ruang untuk Byakta berbaring di sebelahnya. Tadinya, Yasmen berniat menyuruh Byakta tidur di sofa.Namun, ketika Yasmen sudah masuk dan melihat kamar pria itu, akhirnya rencana itu batal seketika. Kamar Byakta sudah terlalu penuh dengan satu lemari, dan satu meja yang
Byakta menatap Yasmen yang terburu menuruni tangga. Gadis itu sudah terlihat rapi dengan pakaian formal dan tas kerja yang tersampir di satu sisi bahu. Pantofel setinggi lima senti pun, sudah sangat cantik menghias ujung kaki Yasmen yang selalu bergerak lincah. “Mas! Aku berangkat duluan!” seru Yasmen berhenti di ujung tangga lantai satu untuk berpamitan pada Byakta. Sejak pembicaraan mereka malam itu, tidak banyak yang berubah dari hubungan Yasmen dan Byakta. Namun, mereka sudah tidak lagi melakukan perdebatan kecil seperti yang sudah-sudah. Keduanya sudah bisa bicara baik-baik, dan sepakat pisah kamar untuk introspeksi diri masing-masing. Byakta tidak lagi memaksakan kehendaknya pada Yasmen, begitu pula sebaliknya. Mereka sepakat untuk menjalani sisa waktu pernikahan yang ada, sebagai seorang teman. Mencoba kembali menjalin hubungan baik, seperti yang pernah ada dahulu kala. Dan sisanya … biarkan waktu nanti yang menjawab. “Sepagi ini?” Byakta melihat jam di pergelangan tangan,
“Byakta tahu kalau kamu di sini sama aku?”Endy menghela panjang, setelah Bira menjauh untuk menerima panggilan telepon sekaligus berteduh. Sementar Endy, masih terus berjalan menyeberangi sebuah lapangan yang nantinya akan digunakan untuk outbound training beberapa divisi dari Casteel High.Yasmen yang sedari tadi menekuk wajah, menjawab Endy dengan anggukan. Harusnya, Yasmen memakai sepatu sneaker saja kalau begini. Bukannya memakai pantofel, dengan ujung hak yang kerap tersangkut dengan tanah basah seusai hujan tadi malam.“Ya pasti tahu, masa’ nggak tahu.”“Nggak cemburu?” Pandangan Endy mengarah pada Bira untuk sesaat. Mereka sudah menyusuri hampir seluruh venue dan sebentar lagi akan selesai. Setelahnya, Bira akan pergi dan menyisakan Yasmen dan Endy di tempat tersebut.Sebenarnya, tidak hanya mereka berdua saja. Nantinya akan ada seorang lagi dari Casteel yang akan mendampingi Yasmen.“Kenapa harus cemburu?” Yasmen bertanya balik. “Kan, aku kerja. Nggak ngelakuin hal yang aneh-
“Gimana hubunganmu dengan Byakta, Yas?” Bira berjalan bersisian dengan putrinya, menyusuri sebuah koridor. Sementara, Byakta, Endy, dan Ratna berjalan di depan mereka untuk berdiskusi. Karena jarak mereka cukup jauh, maka Bira memanfaatkan hal tersebut untuk bicara dengan Yasmen. “Baik,” jawabnya singkat.Bira berdecak. “Kalau jawabanmu cuma pendek begitu, artinya belum baik.” “Baiiiiiiiik,” ulang Yasmen memperpanjang ucapannya. “Nggak pendek lagi, kan?” Bira kembali berdecak. “Papi serius, Yas. Gimana hubunganmu dengan Byakta?” “Aku juga jawabnya serius, Pi,” balas Yasmen memandang punggung tegap Byakta yang berjalan di depannya. “Kami sudah baik-baik aja. Papi nggak usah khawatir.” “Sudah nggak ada pikiran cerai lagi? Atau, bagaimana?” Meskipun terkesan tenang, tapi Bira sebenarnya juga mengkhawatirkan nasib pernikahan putrinya. Sebagai seorang ayah, tentu saja Bira tidak ingin pernikahan putrinya berakhir. Bira dan sang istri, terus saja berdoa agar pernikahan putrinya akan l
“Capek?”Byakta menyodorkan sebotol air mineral, tepat di depan wajah Yasmen yang memerah karena sengatan matahari. Gadis itu pun mendongak sejenak untuk melihat Byakta, lalu meraih botol tersebut dengan cepat.“Kok, nggak bawain yang dingin.” Yasmen segera meneguk air mineral yang disodorkan oleh Byakta. Karena tutupnya sudah terbuka lebih dulu, maka Yasmen langsung saja meminumnya untuk melepas dahaga.Setelah merasa puas, Yasmen mengembalikan botol tersebut pada Byakta. “Harusnya aku bawa topi, atau payung sekalian.”Byakta tidak menjawab. Lantas, ia duduk di samping Yasmen kemudian meneguk air mineral yang baru saja diminum sang istri sampai habis.Yasmen menggigit bibir bawahnya, saat melihat Byakta menghabiskan sisa minumannya. Ini pertama kalinya, Yasmen melihat hal kecil yang membuat hatinya menghangat secara langsung.“Itu, kan, bekasku? Kok, diminum?”Byakta menoleh, sambil meremas botol mineral kosongnya. “Kenapa?” tanya Byakta sedikit bingung dengan pertanyaan Yasmen. “Aku