Share

Dua Bulan

Author: AgilRizkiani
last update Last Updated: 2025-07-04 08:29:35

Sudah hampir dua bulan lamanya, tetapi belum ada tanda-tanda ingatan Rafasya akan kembali. Kania semakin bingung. Padahal, Rafasya sudah rutin meminum obat-obatan yang diresepkan dokter, juga menjalani terapi setiap bulan. Namun hasilnya tetap sama-tidak ada kemajuan berarti.

Diliputi kegelisahan, Kania memutuskan untuk menemui dokter Bagas. Ia ingin mendapatkan kepastian, atau setidaknya sedikit penjelasan. "Dok apa amnesia bisa jadi permanen?" tanya Kania dengan nada cemas.

Dokter Bagas menghela napas, menatap Kania dengan tenang. "Secara fisik, tangan dan kondisi tubuh Rafasya memang sudah pulih dengan baik. Tapi untuk ingatannya sejauh ini belum ada tanda-tanda akan kembali."

"Mungkin saja, ini bisa menjadi permanen. Kadang, tanpa disadari, seseorang menekan ingatan masa lalunya karena trauma atau rasa sakit yang besar, hingga akhirnya benar-benar menghapusnya. Bisa jadi, Rafasya merasa lebih nyaman melanjutkan hidupnya dengan ingatan yang baru," jelas dokter Bagas.

Perkataan itu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Istana Yang Ternoda   Kesakitan Keluarga

    Rafasya tiba di rumah ayahnya dengan langkah cepat. Namun sesampainya di sana, ia tertegun. Rumah besar yang biasanya ramai dengan suara tawa anak-anak dan suara langkah tante Vita kini tampak sunyi. Tirai tertutup rapat, pagar digembok dari dalam, dan tak ada satu pun mobil di garasi."Sepi, ke mana semuanya?" bisiknya lirih.Ia segera turun dari mobil dan memanggil-manggil. "Pa? Bu Vita?" Tidak ada jawaban. Hanya angin sore yang berdesir pelan.Rafasya mengeluarkan ponselnya dan segera menelpon ayahnya—namun nihil. Nomor tidak aktif. Ia pun mencoba menghubungi tante Vita—juga tidak aktif. Jantungnya mulai berdetak kencang. Perasaan tak nyaman mulai menjalar di dadanya.“Tidak mungkin, Jangan bilang ....”Dalam kepanikan yang terus membesar, ia menghubungi kantor tempat ayahnya bekerja. Setelah beberapa kali dialihkan, akhirnya seorang staf menjawab, "Maaf, Bapak Hengky sudah tidak masuk kantor sejak beberapa hari lalu. Beliau sudah mengajukan cuti panjang bahkan rumor terakhir belia

  • Istana Yang Ternoda   Badai

    Sesampainya di rumah, Kania tidak bisa menahan tangisnya. Ia langsung berlari ke kamar si kembar yang kini terasa kosong, dingin, dan sunyi. Tangannya menyentuh boks bayi yang masih tertata rapi, bantal kecil berwarna merah muda dan biru itu masih tertinggal wangi lembut anak-anaknya.Walau Rafasya telah meyakinkan bahwa ini hanya sementara, hati seorang ibu tak pernah bisa dibohongi. Ada firasat yang mencubit tajam relung hatinya—firasat yang membuat dadanya sesak, pikirannya kalut, dan tangisnya tak terbendung.“Kenapa rasanya seperti aku kehilangan mereka, Syasya? Ini hanya sementara, tapi kenapa perasaanku buruk sekali?” ucapnya di antara isak, tubuhnya terjatuh di tepi ranjang.Rafasya langsung merengkuh istrinya dalam pelukan erat. Ia sendiri nyaris tak kuat, namun harus tampak kokoh di hadapan perempuan yang paling ia cintai.“Ssstt … Kan, dengar aku. Semuanya akan baik-baik saja. Aku janji. Kita pasti akan segera menjemput mereka kembali, saat kondisi tante Vita membaik. Ini h

  • Istana Yang Ternoda   Penyerahan

    Mengingat Rosa dan Risa yang telah tiada, luka dalam hati Tante Vita kian menganga. Hari-harinya hampa, tak ada lagi suara tawa anak-anak, tak ada panggilan “Mama” yang menyapa pagi. Dalam keterpurukan yang makin dalam, ia menetapkan satu tekad: ia harus memiliki Nazeera dan Nayyara, apapun caranya.Di tengah pertemuan keluarga, Tante Vita kembali bersuara dengan nada yang getir namun penuh kekuatan.“Aku sudah memutuskan,” katanya sambil memandang Rafasya dan Kania tajam. “Kalau kalian sungguh ingin dimaafkan serahkan si kembar padaku. Biar mereka jadi anakku. Dan kalian, jangan pernah mendekati mereka lagi.”Kania sontak terisak, memeluk kedua anaknya yang tengah berada di gendongan pengasuh. Nafasnya tercekat."Bu, mohon jangan begitu," ucapnya lirih.Rafasya berdiri, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang menyesakkan dadanya."Itu tidak masuk akal, Ibu. Kami memang salah karena memberikan tiket itu kami menyesal, tapi kami tidak pernah bermaksud mencelakakan siapa pun!" katanya

  • Istana Yang Ternoda   Permintaan Gila

    Akhirnya, setelah melewati hari-hari penuh emosi, luka, dan kesedihan yang mendalam, keluarga besar itu memutuskan untuk duduk bersama. Bu Ria sebagai orang tertua di keluarga menawarkan rumahnya sebagai tempat diskusi, berharap dengan pertemuan ini, luka bisa perlahan disembuhkan, dan kesalahpahaman bisa diurai.Tante Vita, yang kini sudah keluar dari rumah sakit, datang dengan raut wajah dingin dan tatapan kosong. Ia tampak lebih kurus, lebih pucat dari terakhir kali mereka melihatnya. Pak Hengky ikut mendampingi, duduk di sampingnya dengan wajah yang tak kalah muram.Kania menggenggam tangan Rafasya dengan gugup. Hatinya berdebar, berharap semua ini akan berakhir damai. Namun, yang terjadi kemudian justru membuat semua orang terdiam.Dengan suara pelan namun tajam, Tante Vita berkata,“Kalau kalian benar-benar ingin menebus semuanya, kalau kalian benar-benar menyesal atas kematian Rosa dan Risa maka berikan Nazeera dan Nayyara kepadaku.”Semua yang hadir terdiam. Napas Kania tercek

  • Istana Yang Ternoda   Kesabaran

    Bu Susi—ibu dari Kania—berusaha menenangkan putrinya yang terus menangis dalam pelukan. “Sabar, Kan jangan terlalu disalahkan. Ini bukan salahmu, bukan salah siapa pun ini takdir dari Allah .…”Sementara itu, Rafasya duduk di teras rumah dengan tatapan kosong. Ia memegangi kepalanya yang terasa berat, pikirannya dipenuhi penyesalan. Berkali-kali ia mencoba meminta maaf kepada Tante Vita, tapi setiap kali ia datang, yang ia dapat hanya caci maki, tudingan, bahkan hinaan yang menyayat harga dirinya sebagai anak.Keluarga mereka yang dulu begitu hangat, penuh canda tawa dan keakraban, kini porak-poranda. Sejak kejadian itu, suasana berubah. Rumah yang dulu menjadi tempat bersandar kini terasa asing.Nayaka yang masih polos bahkan terus menanyakan keberadaan neneknya, Tante Vita.“Papa … kenapa Uti Vita nggak ke sini lagi? Nayaka kangen pelukannya .…”Pertanyaan itu menampar batin Rafasya. Ia tak mampu menjawab. Tapi akhirnya, dengan harapan besar dan keinginan untuk menyatukan kembali ke

  • Istana Yang Ternoda   Kematian

    Risa dan Rosa akhirnya memutuskan memilih Paris sebagai destinasi liburan impian mereka. Sebagai calon perawat yang selama ini disibukkan dengan praktik, laporan, dan ujian, liburan ini adalah angin segar sebelum mereka menapaki dunia kerja yang lebih menantang.Seluruh keluarga turut mengantarkan mereka ke bandara. Ada senyum, pelukan hangat, dan doa yang dipanjatkan berulang-ulang. Kania mencium kening mereka berdua, sementara Rafasya menepuk pundak keduanya dengan bangga.“Kalian harus bahagia, nikmati hidup. Jangan lupa kirim kabar ya,” ujar Rafasya.“Iya, Kak. Kami akan jaga diri,” jawab Rosa sambil tersenyum.“Doakan kami bisa menjadi perawat yang bisa membantu banyak orang,” timpal Risa sebelum mereka melangkah masuk ke ruang keberangkatan.Namun siapa sangka, kebahagiaan itu berubah menjadi tragedi kelam.Beberapa jam setelah keberangkatan, berita duka muncul di seluruh media. Pesawat yang ditumpangi Risa dan Rosa dikabarkan mengalami kecelakaan dan jatuh di wilayah udara Erop

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status