"Wah, kayaknya kita beneran jodoh, deh." Dia tersenyum manis sekali. Aku ikut tersenyum, menatap ke arah lain. Di sisi lain, pikiranku terbagi ke Weni. Kalau aku buru-buru menyelesaikan makan, nanti tidak bisa bertemu dengan Andin lagi. "Aku minta kontak kamu, boleh? Kebetulan, aku harus langsung ke kantor sekarang."Andin melebarkan mata, tapi dia langsung tersenyum senang. "Boleh, dong. Mana ponsel kamu?"Aku menyodorkan ponsel, menatap Andin. Jarinya lincah bergerak di layar. Terlihat cantik sekali, tidak seperti Weni yang sudah tidak cantik sekarang. Setelah tukaran nomor ponsel, aku pamit pada Andin. "Semoga kita bisa ketemu lagi, ya."Aku melangkah keluar kantin, sekarang menuju ruangan Weni. Masih ada waktu untuk mampir."Ngapain lagi kamu kesini?" Eh? Aku menatap Bang Wira aneh. Kenapa dia bertanya begitu? Bukankah dia yang menyuruhku datang kesini?"Gak ada gunanya lagi. Kamu udah dilarang masuk ke dalam.""Kok bisa, Bang? Gak ada larangannya. Lagi pula, Weni masih istrik
"Udah? Kelamaan banget mikirnya. Sana pergi. Pintu rumah mau dikunci semua."Eh? Aku diusir. Mama Weni memang benar-benar menyebalkan. Aku masuk ke dalam mobil, kembali pulang ke rumah. Tidak ada gunanya di sana. Lagi pula, keluarga Weni sering judes padaku. "Kamu kemana aja, sih? Udah malam, nih. Si Rea bahkan udah dibawa pulang sama kakak kamu. Buat susah orang aja."Mbak Linda mengambil tasnya. Dia kelihatan mengantuk sekali. "Mbak kenapa gak ikutan pulang juga?" tanyaku sambil menyampirkan jas ke sofa. "Gak tau diuntung kali, ya, ini anak. Kamu mau rumah kamu dimaling orang lagi, hah?!" Eh? Aku mengusap telinga. Mbak Linda serasa berteriak di samping telingaku barusan. "Santai, Mbak. Jangan marah-marah, apalagi teriak gitu. Pusing dengarnya."Mbak Linda mendelik. Dia berkacak pinggang, menatapku galak. "Jagain Mama, Mbak pulang dulu. Kalau sempat, Mama kesini besok."Sebelum Mbak Linda pergi, aku buru-buru mengambil kunci mobil di atas meja. "Aku antar, deh, Mbak.""Gak usah
"Kamu serius, Mas?" tanyanya sambil menatapku. Tentu saja, aku serius. Weni bagiku adalah segalanya. Begitu juga dengan anak-anak. Weni diam sejenak. Dia terlihat menghela napas, melirikku berkali-kali. "Kamu belum percaya juga? Lihat ini, Wen. Aku udah beli rumah. Di sini udah tertera, rumah ini sekarang milik aku. Kamu gak perlu jaminan, 'kan?"Senyum Weni setengah terpaksa. Dia menggelengkan kepala. "Makasih, Mas."Eh? Makasih apa? Kenapa dia malah bilang terima kasih?Aku kembali menunjukkan ponsel. Weni harus tahu, dia itu segalanya untukku. Kenapa dia seakan tidak mau lagi menerimaku di kehidupannya?"Kamu lihat Rea, Weni. Dia nangis, gara-gara kamu tinggal. Kamu mau, buat dia terus-terusan nangis? Juga bayi kita. Gak akan bisa dia tumbuh tanpa Papa. Kamu saja sudah begini."Weni tertawa masam. Dia tampak tersinggung mendengar perkataanku barusan. Memang benar, apalagi Weni tidak mau memberiku kesempatan. Dia menyebalkan sekali. "Udah bicaranya, Mas?"Eh? Aku menatap Weni t
"Pi—pindah? Kamu mau pindah kemana, Ndre?"Mata Mama tampak berkaca-kaca. Aku mengembuskan napas pelan, tidak boleh terpengaruh oleh Mama. Ya. Tekadku sudah bulat sekarang. Mau Mama menangis atau apa, aku akan tetap pindah dari rumah ini. "Maaf, Ma. Andre udah pusing dengan semua yang Mama lakukan. Andre udah punya ruma sendiri. Kebetulan, rumah ini besar, Mama bisa pakai untuk apa aja."Aku melirik Mbak Linda yang mengangguk-anggukkan kepala. "Untuk sementara, Rea masih aku titipin ke Mbak. Setiap pulang kerja, aku bakalan jenguk dia."Mbak Linda kembali mengangguk. Dia mengambil nasi goreng, pura-pura tidak ikut campur. Padahal, aku tahu, Mbak Linda pasti ingin sekali nimbrung. Aku memakai sepatu. Mengabaikan Mama yang terus saja melarangku untuk pergi. Sebenarnya, aku juga tidak tega melihat Mama. Ah, tapi aku tidak boleh lemah. Jangan sampai terpancing oleh Mama. Itu yang ditekankan Kak Anton kemarin. "Andre berangkat dulu, Ma, Mbak. Kalau Mama kangen, telepon aja. Andre pas
"Halo, Ma. Kenapa dari tadi telepon terus? Ada masalah di rumah?"Aku menguap, menatap layar ponsel, baru pukul setengah empat pagi, tapi Mama sejak tadi menelepon. "Bangun, beresan. Ingat, kamu hari ini sidang pertama."Mama benar-benar. Aku beranjak, mematikan telepon tanpa mengucapkan apa pun pada Mama. Sebenarnya tinggal di sini dan di rumah sama saja, aku tetap diganggu Mama. Ah, rasanya ingin mengganti nomor telepon saja. Ponselku berdering kembali. Pasti dari Mama. Aku memilih untuk mengambil handuk. Mandi. Selesai mandi, baru aku menatap ponsel. Mulutku setengah terbuka, ketika melihat siapa yang menelepon. Hey, seperti mimpi saja rasanya. Weni yang meneleponku seelum aku mandi tadi! Aku menepuk pipi. Tidak, ini bukan mimpi. Ah, kenapa aku mengabaikan teleponnya? Aku menepuk dahi, benar-benar kesalahan fatal.Nada sambung terdengar. Aku menunggu sekaligus melangkah ke ruang dapur. Hendak menggoreng telor. "Halo." Terdengar suara serak menyapa dari seberang sana. "Halo,
"Tapi kamu benar-benar akan memberikanku kesempatan, kan? Percuma kalau gak ada kesempatan lagi."Weni tersenyum tipis. Senyum yang ingin sekali aku lihat. "Tergantung seberapa keras usaha kamu, Mas.""Weni! Ayo pulang!"Kami berdua langsung menoleh. Bang Wira sudah berdiri di samping mobilnya. Menatap kami dari jauh. "Kesempatan jangan pernah disia-siakan."Wanita itu langsung pergi meninggalkanku. Dia pergi tanpa pamit, tanpa lambaian tangan. Bisakah aku kembali memperjuangkan Weni?"Gimana? Udah baikan sama Weni?"Aku menoleh. Mendapati Mbak Linda yang baru saja menepuk pundakku. Dia nyengir, langsung membuka pintu mobil. Mengajak pulang ke rumah. Selama perjalanan, aku hanya diam. Mbak Linda sesekali menggodaku. Dia sebenarnya tahu, kecil kemungkinan aku dan Weni bisa bersatu kembali. "Kalau aku cari wanita lain aja gimana, Mbak?""Eh?" Mbak Linda tersedak. Dia sedang minum. Salahku juga, berbicara saat dia sedang minum. "Gila, ya, kamu. Katanya mau komitmen buat ambil hati W
"Kamu kesini lagi? Tadi teman perempuan aku, teman sekolah udah lama banget.""Oh." Dia menganggukkan kepala. "Aku kira siapa."Aku tersenyum terpaksa. Kembali memilih makanan ringan dan mengambil minuman. Sejak tadi, Ayna mengikutiku. Tidak bisakah dia memilih tempat lain?"Yes!"Eh? Aku menoleh ke ke Ayna. Kenapa dia barusan berteriak sendiri? Seperti orang gila. Kami sampai diliatin orang lain. Membuat malu saja, dia seperrinya sudah kehilangan urat malu. Aku bergidik sendiri."Kamu udah lihat pesan di grup WA, Ndre?"Pesan apa? Aku menoleh ke Ayna. Merogoh kantong celana, tidak ada ponsel di sana. Sepertinya, ketinggalan di mobil. "Lihat, dong."Ayna dengan senang hati memberikan ponselnya ke aku. Dia tersenyum manis sekali. [Dengar-dengar, Andre sama Ayna yang ditugasin keluar kota.][Serius? Wah, anak baru udah ditugasin aja.][Si Andre menang banyak. Kenapa bukan aku yang ditugasin sama Pak Bos.]Aku menelan ludah. Ditugaskan keluar kota, sih, tidak masalah. Tapi dengan Ayn
"Kalau saya diganti orang lain bisa, gak, Pak?"Entah kenapa, pertanyaan komyol itu keluar dari mulutku. Bukan hanya bos yang menoleh bingung. Ayna juga, padahal wajahnya tampak senang sekali. "Lho, kenapa? Justru ini bagus sekali, untuk karir kamu. Kalau kinerja kamu bagus, bulan depan ada kemungkinan naik pangkat."Aku menggigit bibir. Bukannya tidak senang atau apa. Pikiranku justru ke Weni sekarang. Sungguh, aku tidak akan bisa pergi sekarang. Dengan pelan, aku mendorong surat itu. "Maaf, Pak. Bapak bisa cari orang lain yang lebih baik dari saya."Bergegas aku pergi dari ruangan itu tapa peduli teriakan dari Ayna. "Gimana? Kamu ditawarin keluar kota sama Pak bos?" tanya Kak Anton sesaat setelah aku duduk. "Iya. Gak aku ambil tapi, Kak.""Eh?" Kak Anton langsung melepaskan tumpukan kertas yang dia pegang. "Serius?"Aku mengusap wajah. "Mana ada wajahku bohong, Kak.""Tapi bukannya kamu nunggu momen ini? Kamu selalu pengen dipanggil tugas keluar kota, 'kan?""Weni alasannya,