Dengan langkah terseok-seok Rachel berlarian keluar menuju pos satpam. Sebuah mobil banteng ngamuk hitam terlihat terpakir tidak jauh dari pos satpam. Perlahan ia mendekati mobil itu.
Saat jaraknya tinggal beberapa langkah kaki lagi, seorang lelaki keluar dari dalam mobil itu. Rachel mengenali sosok lelaki itu yang tidak lain ialah suaminya.
"Dari mana saja kamu? Kenapa teleponku tidak satupun kau angkat?" sembur Dave begitu melihat wajah Rachel.
"Dave..."
Mata hazelnya sontak berkaca-kaca. Ia lantas mempercepat langkahnya. Kemudian berhamburan di pelukan Dave. Sontak tangan Dave reflek membalas pelukan Rachel.
"Kenapa baru datang? Aku menunggumu sejak tadi," keluh Rachel sambil terisak kecil.
"Saya juga maunya tepat waktu tapi, jalanan tadi macet."
Dave terdiam membeku mendengar suara istrinya yang terdengar par
Dave semakin tidak mengerti dengan sikap Rachel yang nampak berbeda dari biasanya. Tatapannya kini terpaku sepenuhnya ke arah Rachel. Menunggu wanita itu menjelaskan maksud dari perkataannya barusan. "Apa kamu ingat tanggal kita menikah?" tanya Rachel terdengar serius. "Ada apa memangnya?" Dave malah bertanya balik ke Rachel. Pertanyaan itu membuat Rachel menghela napas. "Sadarkah kamu, ini sudah bulan ke berapa dari kita menikah?" Dave seketika memutar bola matanya. Ia sendiri juga tidak menyadari waktu berlalu begitu saja dengan cepat. Hingga tak terasa pernikahan mereka sudah berjalan selama 3 bulan lamanya. Dan selama itu pula Dave berusaha menyesuaikan diri, hingga tanpa sadar dirinya sudah mulai terbiasa tinggal bersama Rachel. "Tiga bulan," jawab Dave terdengar santai. "Lantas mau sampai berapa bulan lagi kita h
Rachel hanya mengangkat bahunya sambil memandang Dave seolah mengisyaratkan kalau dirinya tidak tahu. Walaupun dengan agak terpaksa, Dave tetap mengangkat panggilan telepon dari Kate. "Hallo, Mah." "Dave, kamu udah lupa kalau masih punya orang tua ya?" cicit Kate berbicara dengan nyaring. "Mamah ngomong apa sih? Dave gak ngerti." "Habisnya kamu nggak pernah kemari lagi. Katanya bakal sering berkunjung, tapi apa nyatanya? Tahu bakal begini, mamah nggak bakal izinkan kamu tinggal di apertement deh." Dave hanya mengeleng frustasi mendengar keluhan Kate. "Mah... Bukannya Dave tidak mau kesana, tapi akhir-akhir ini Dave sibuk sama kerjaan di kantor. Mamah malah tambah bikin pusing Dave kalau ngomongnya begitu," keluh Dave sambil memijat pelipisnya. "Halah... Alasan saja kamu." "Benera
Perlahan Dave menghentikan tawanya, saat menyadari wajah Rachel mulai merengut."Lainkali jangan membuatku kesal dengan perkataan seperti tadi. Emosiku pasti akan langsung terpancing kalau ada yang menyinggungku dengan sengaja—"Telapak tangan Dave tanpa sadar bergerak mengusap rambut Rachel dengan lembut."Saya memberitahukan kelemahanku ini agar kamu bisa lebih berhati-hati. Jadi jangan di ulangi lagi ya," tegur Dave sembari mengulas senyum.Rachel seketika terdiam membeku ditempatnya. Entah karena usapan lembut tangan Dave di kepalanya atau karena perkataan Dave yang secara tidak sadar membuka diri."Kenapa tidak di jawab? Tidak dengar ya? Apa perlu saya ulangi lagi?"Pertanyaan beruntun Dave, seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Sontak Rachel mengeleng pelan, membuat Dave mengangkat sebelah alisnya."Eh? Aku dengar
"Kamu mau ngomong apa sih? Itu apanya? Kenapa?" cecar Rachel mulai tak nyaman dengan tatapan Dave.Dave terlihat salah tingkah. Mengusap ujung rambut depannya sembari tersenyum tipis."Kamu pakai riasan ya?""Iya. Ketebelan ya?" tanya Rachel seraya melihat kaca spion mobil."Enggak. Cantik kok," balas Dave pelan."Hah?"Dengan cepat kepala Dave beralih memandang lurus ke depan, mengabaikan Rachel yang tengah menatapnya heran."Sudah ayo, cepat pakai selt belt-nya. Kita harus sampai di sana sebelum jam makan makan," tegur Dave sambil menyalakan mobilnya."Memangnya kenapa kalau kita sampai ke sananya agak malam?" tanya Rachel sambil memakai sabuk pengaman."Ya, enggak enak saja kalau datang ke malaman. Mamah pasti inginnya kita ikut makan malam bersamanya."Rachel hanya mengang
Suara gemericik air menandakan ada seseorang yang tengah mandi di dalam kamar pribadi Dave. Tidak berselang lama, Dave keluar dengan handuk yang membelit tubuhnya. Ekor matanya melihat seseorang terbating di sofa, membuat tubuhnya tertarik untuk mendekat.Orang yang terbaring itu tidak lain Rachel, istrinya sendiri.Ia melihat Rachel terbaring di sofa dengan kaki dan tangan yang terlentang."Kenapa malah tidur di sofa?" gumam Dave pelan.Dave hendak memindahkan tubuh Rachel dan membawanya ke atas ranjang. Namun mata Rachel seketika terbuka saat Dave mengangkatnya.Kedua mata mereka saling bertemu pandang. Dave yang terkejut saat melihat mata Rachel hingga tidak sengaja menjatuhkan Rachel kembali ke sofa."Aduh... Duh... Pinggangku," rintih Rachel seketika.Dave mengejapkan kedua matanya berulang kali, masih berusaha menetralkan diri dari
Dave hanya bisa merengut sambil mengerucutkan bibirnya. Ia akan selalu kalah kalau Rachel sudah bicara tentang surat perceraian mereka."Saya sudah bilang berkali-kali bukan? Jangan bahas masalah perceraian dulu untuk saat ini. Beri saya waktu untuk..."Rachel tiba-tiba membungkam mulut Dave dengan kecupan kilat. Hanya sekilas namun mampu membuat Dave terdiam membisu."Kamu juga... Jangan paksa aku buat berhenti kerja terus," tegur Rachel sambil tersenyum lembut.Dave memandang sendu wajah Rachel. Sejujurnya ia hanya takut Rachel menderita jika masih bekerja di perusahaan yang dikelola oleh Alex. Namun ia belum bisa bercerita pada Rachel akibat bukti yang belum kuat."Jangan menatap aku begitu, Dave. Aku cuma mau pergi kerja, bukan mau pergi berperang."Kamu memang mau pergi perang," gumam Dave pelan.Rachel yang sedang mengunyah makannya
Suara tegas berserta tatapan tajam yang di perlihatkan Alex, seketika menyadarkan Dewi. "Eh? Baik, Pak. Segera saya siapkan." Dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh, setengah berlari Dewi menuju ke pantry untuk membuat teh hangat. Alex merebahkan Rachel di sofa yang ada di ruang kerjanya. Ia kemudian mengambil minyak angin di laci penyimpanannya dan berjalan mendekati Rachel. "Sudah ku duga. Lelaki itu pasti tidak menjagamu dengan baik selama aku pergi," gerutu Alex sambil membuka tutup minyak angin itu. Alex mendekat minyak angin itu ke hidung Rachel agar ia segera tersadar dari pingsannya. "Sudah ku bilang tinggalkan lelaki itu, tapi kamu tidak nurut. Sekarang malah jadi sakit begini," gerutu Alex dengan wajah sendu. Alex mengamati wajah Rachel yang beberapa pekan tidak di lihatnya. Sorot matanya nampak sangat merindu. Ta
Dave tersentak mendengar suara Fabio. Namun buru-buru memasang wajah datar kala Fabio berjalan ke arahnya."Bisa saja lo kalau ngomong," ucap Dave santai.Tanpa banyak bertanya, Dave mengambil map yang di bawa Fabio dan langsung menandatangani kertas yang ada di map tersebut."Oiya, hampir saja gua lupa. Alex balik dari luar negeri hari ini," ujar Fabio begitu Dave memberikan map yang telah ditanda tanganinya."Benarkah? Kalau begitu gua harus kasih tahu Rachel sekarang juga," ujar Dave seraya mengambil ponselnya dengan cepat.Fabio hanya memperhatikan gerak-gerik Dave yang nampak gelisah saat mencoba menelepon Rachel."Kenapa nggak di angkat-angkat teleponnya? Mana dia lagi sakit pula," gumam Dave sambil mengigit ujung kukunya."Sakit?" Fabio mendadak tersentak mendengarnya."Hmm. Badannya agak panas tadi pagi.