“Yang jelas lo nggak bakal mampu bersaing untuk bayar dia, Bro. Bakingan dia orang besar di sini, makanya dia bisa dapat posisi bagus dengan nol pengalaman.” Salah satu pria yang bersamaan masuk ke alam lift ikut menimpali pertanyaan rekannya.
“Tapi, kalau sudah sisa mah nggak bakal mahal. Namanya juga barang bekas.”
Jika dikira Neina tidak paham ke mana arah perbincangan yang dilakukan oleh ketiga pria yang berada dengannya saat ini. itu salah. Neina tahu, yang sedang dibicarakan oleh mereka saat ini adalah dirinya. Bukan orang lain.
Suara gelak tawa membuat ruang lift yang berukuran 2,5X3 meter itu mendadak riuh. Terasa puas oleh mereka yang berhasil merendahkan Neina bersamanya.
“Apa kamu ada waktu untukku malam ini?” Hembusan angin dan suara berbisik berhasil membuat bulu kuduk Neina bergidik. Pasalnya, pria yang berdiri tepat di sampingnya itu berbisik tepat di samping telinganya.
Neina bergeser, memberi kikisan jarak sebab seniornya itu semakin mendekat ke arah tubuhnya.
“Maaf, saya tidak paham maksud yang Bapak bicarakan,” ujar Neina, berpura tak mengerti ke mana arah pembicaraan yang dilakukan oleh sang senior tersebut. Tak ingin mencari masalah, ia pun masih berusaha bersikap sopan.
Harinya sudah dipenuhi oleh berbagai masalah. Baik masalah pribadi, maupun saat di tempat kerja yang mengharuskan ia berhubungan langsung dengan Felix, asisten Keandra, yang saat ini sudah sah menjadi suaminya.
“Ck. Lu nggak perlu pura-pura deh. Seluruh kantor juga tahu, jika Lu masuk di perusahaan ini dan punya kedudukan bagus yang diinginkan oleh banyak karyawan perusahaan juga karena main belakang.” Pria itu menatap remeh pada Neina. Tatapan mata yang begitu merendahkan dirinya.
Andai Neina tidak lelah batin dan jiwanya. Mungkin, ia sudah meladeni dan menyangkal semua tuduhan yang didapatkan olehnya tak berdasar itu.
Neina membuang muka, menahan diri beberapa saat sebelum akhirnya memberanikan diri menatap pria itu dengan tatapan penuh keberanian, namun masih berusaha untuk bersikap sopan. Berusaha menahan diri, tetap tak bisa membuatnya menjadi lebih baik.
“Yang bapak tuduhkan pada saya itu tidak ada bukti. Jadi, jangan buat fitnah yang tak berdasar, itu bisa mencoreng nama baik perusahaan,” tegas Neina mengingatkan. Tentu saja ia tak ingin semua orang menganggap jika dirinya sebagai penyebab tercorengnya nama baik perusahaan.
Ia pun masih berusaha bersikap sopan atas lontaran kalimat menjatuhkan yang mereka lakukan atas dirinya itu.
“Gayanya selangit, Bro. Tinggal bilang berapa tarif lu aja pakai banyak kata,” sela salah satu pria yang sejak tadi menatap tingkah salah satu temannya.
“Maaf ya, Pak. Saya bukan wanita murahan.” Neina sudah sangat mendidih. Ingin rasanya memukul dan merobek mulut pria yang melebihi mulut emak-emak.
“Berani juga dia,” sinis pria yang sejak tadi diam menyaksikan tingkah kedua teman lelakinya.
Ketiganya saling pandang, seolah sedang merencanakan sesuatu pada Neina. Neina yang melihat sikap mencurigakan dari ketiga pria itu mendekat menuju pojok lift dengan penuh harap agar pintu lift segera terbuka.
Ketiga pria yang mendapati Neina ketakutan itu merasa semakin puas. Mereka merasa menang telah berhasil membuat Neina tak berkutik lagi sekarang.
“Kalian mau apa?” tanya Neina saat jarak ketiganya semakin dekat tinggal sejengkal.
“Kenapa? takut? Seharusnya lu nggak perlu takut, sebab pasti sudah tahu rasanya dienakin bukan?” ungkap pria yang jarak antara Neina dan dirinya itu sudah sangat tak berjarak.
“Rasanya sama saja kok. Sama seperti punya manajer HRD atau jangan jangan … sampingan lo pemuas Pak Keandra, itu benar?”
Plak!
Neina tak tahan lagi untuk menahan emosi atas harga dirinya yang sudah diinjak-injak oleh pria yang bahkan ia sendiri tidak mengenal, meski berada di bawah naungan satu perusahaan dengannya.
“Jaga mulut anda! Dan saya bukan wanita murahan!”
Berusaha keras menahan diri agar tidak terjadi keributan, namun tak mampu Neina lakukan. Orang boleh memfitnah dirinya dengan segala tuduhan. Namun, saat harga dirinya sudah diinjak-injak seperti sekarang, itu sudah sangat keterlaluan.
Kilatan amarah terlihat jelas di mata pria yang pipinya ditampar oleh Neina. Pria itu mencengkeram erat rahang Neina. Membenturkan tubuh Neina yang tak seberapa dibanding tubuh pria yang telah Neina kasih pelajaran.
“Argh!”
Neina terperosok. Terjatuh sebab bersamaan pintu lift terbuka yang membuat Neina terjatuh, lumayan keras tepat di depan pintu lift itu.
Tiga pria yang mendapati Naina terperosok jatuh itu pun merasa puas.
“Eh, Pak Keandra, Pak Felix,” ucap ketiga pria itu menunduk hormat. Menyapa Keandra Felix sangat ramah dan sopan.
“Ada apa ini? Kenapa kalian tidak membantu Neina?” Tanya Felix keheranan dengan situasi yang terjadi pada rekan kerjanya itu.
Neina segera bangun dari duduknya. Menghormat patuh dan segera pamit dari hadapan Keandra dan Felix, dengan mengabaikan tiga pria senior yang sudah berbuat kurang ajar kepadanya.
Keandra yang tidak mau ikut campur atas keributan receh yang terjadi di antara karyawan perusahaannya itu. Ia memilih meninggalkan orang-orang itu menuju ke mobil yang sudah disiapkan di depan pintu lobi utama.
“Maaf, Pak. Bukan Saya tidak mau membantu Naina. Tadi saya hanya sedang berusaha melawan atas tindakan tak sopan Neina yang berusaha merayu kami di dalam lift.”
Felix tak langsung menanggapi atas kabar yang didengarnya kali ini. Kabar ramai yang terjadi di perusahaan ini sudah cukup bisa membuat Felix menyimpulkan kebenaran yang terjadi saat semua itu berhubungan dengan Neina.
“Lain kali kalian harus bisa jaga sikap, jika masih ingin bekerja di perusahaan ini.”
Sebuah kata telak yang seperti bom waktu untuk ketiga pria itu. Bukan dukungan yang didapat untuk mereka. Namun, cenderung lebih ke peringatan agar mereka untuk tidak mengulang kesalahan yang sama.
Felix meninggalkan mereka. Menuju ke mobil Keandra yang sudahlebih dulu masuk ke dalamnya.
“Sialan! Semakin benar saja kan kabar miring selama ini,” kesal pria yang mendapat ancaman dari Felix.
Keesokan harinya, saat Neina terbangun, ia mendapati seorang perawat asing duduk di kursi samping ranjang. Ia mengawasi ke sekeliling kamar untuk mencari keberadaan Keandra yang malam tadi menginap bersamanya di rumah sakit ini. Tapi nihil, justru ia mendapati orang asing yang baru ia lihat sejak dirinya di rawat di rumah sakit. Wanita yang melihat Neina terbangun itu tersenyum hangat, ia menghampiri Neina dan menyapa ramah. “Selamat pagi, Nona Neina. Saya Dinda, perawat pribadi yang akan mendampingi Anda selama di sini.”Neina mengerutkan dahi. Sepertinya ia salah dengar. Apa maksud yang ia dengar dengan kata ‘perawat pribadi.’“Perawat pribadi?” Neina nampak bingung dengan apa yang baru saja ia dengar. “Iya, saya perawat pribadi khusus untuk melayani anda selama di rawat di sini, Nona.” Dinda tersenyum hangat pada Neina, masih berdiri di dekat ranjang perawatan. “Maksudnya? Aku nggak ngerti. Bukannya perawatan di sini sama saja, jika ada pasien yang dirawat akan ada perawat y
Suasana rumah sakit malam itu terasa sunyi. Lampu-lampu neon berkelip samar, hanya suara detak jarum jam dan sesekali langkah kaki perawat yang melintas di lorong panjang yang memecah keheningan. Di salah satu kamar VIP, Neina masih terbaring lemah di atas ranjang dengan infus yang menancap di tangannya. Wajahnya masih terlihat pucat, tapi nafasnya mulai teratur, tanda bahwa kondisinya sedikit demi sedikit membaik.Di kursi panjang dekat jendela, Keandra duduk bersandar dengan kemeja yang sudah kusut. Sejak beberapa hari terakhir, ia jarang pulang. Hampir setiap malam ia habiskan di rumah sakit, meski tidak pernah mau mengakuinya secara gamblang. Tatapannya kosong, sesekali berpindah ke arah tubuh Neina yang terlelap.Felix, yang malam ini datang membesuk Neina hingga larut malam setelah bekerja, mulai menguap lebar. Kantung matanya jelas, menandakan betapa ia kelelahan. "Pak Keandra, saya rasa saya nggak kuat lagi dan harus pulang. Besok ada meeting pagi. Anda yakin nggak apa-apa
Suara mesin monitor rumah sakit berdetak pelan, seirama dengan napas Neina yang tertidur pulas. Ruangan itu remang, hanya ditemani lampu dinding kekuningan yang memberikan sedikit kehangatan. Udara dingin dari pendingin ruangan terasa menusuk, sementara bau obat-obatan dan antiseptik yang begitu kuat membuat dada terasa sesak.Keandra berdiri mematung di samping ranjang, tangannya terlipat di dada. Tatapannya jatuh pada wajah Neina yang pucat, seolah terpaku pada setiap detail. Ada luka memanjang di lengan kanan perempuan itu, dibalut perban tebal, menjadi pengingat nyata dari kengerian yang baru saja terjadi. Sesekali, Neina bergerak gelisah dalam tidurnya, entah karena mimpi buruk atau rasa sakit yang masih membekas di tubuhnya.Keandra menghela napas panjang, berat. Ada sesuatu yang berputar-putar di dadanya, rasa bersalah yang selama ini coba ia abaikan. Namun, malam itu, rasa itu menyeruak tanpa ampun, menusuknya dengan tajam."Aku terlalu dingin padanya... terlalu keras... d
Senja baru saja turun saat Keandra menghela napas panjang, menatap dokumen yang menumpuk di meja kerjanya. Pikirannya masih dipenuhi kekacauan, sisa dari perdebatan sengit dengan seorang klien yang cerewet di siang hari. Jemarinya mengurut pelipis yang berdenyut, berharap bisa mengusir lelah dan stres yang menggerogoti. Di tengah keheningan yang mulai terasa, dering ponsel memecah suasana. Layar menampilkan nama Felix, asisten pribadinya. Dengan nada malas yang kentara, Keandra mengangkat panggilan.“Ada apa?”Suara di seberang terdengar tak biasa, terguncang dan penuh kepanikan. "Pak Keandra... ini darurat. Neina... dia kecelakaan."Keandra, yang semula duduk santai, seketika bangkit berdiri. "APA?!" suaranya meninggi, memantul di dinding ruangan."Dia dilarikan ke RS Medika Sentosa. Kondisinya kritis, kakinya patah... aku barusan dapat kabar dari rumah sakit."Sejenak, dunia Keandra terasa berhenti berputar. Jantungnya berdetak begitu kencang, memompa darah dengan ritme yang tak
Langit Jakarta mulai memudar, menyisakan semburat jingga yang pucat. Jalanan Ibu Kota yang seharusnya sibuk dengan geliat kehidupan kini justru tercekik oleh kemacetan parah. Klakson-klakson berteriak, lampu kendaraan berkedip-kedip tak sabar, menari-nari di tengah kabut polusi yang tebal dan menyesakkan. Di tengah semua itu, Neina duduk lunglai di jok belakang mobil kantor, merasa dunianya juga ikut macet. Pikirannya dipenuhi tumpukan pekerjaan yang tak ada habisnya dan bisikan-bisikan jahat dari rekan-rekan yang hari itu terasa lebih tajam dari biasanya.Ia memejamkan mata, membiarkan punggungnya tenggelam dalam sandaran kursi. Nafasnyapun berhembus berat. "Bu, mau langsung pulang atau mampir dulu ke minimarket?" suara Pak Wawan, sopir yang setia mengantarnya, terdengar lembut.Neina membuka mata, menatap Pak Wawan dari pantulan spion. "Langsung saja, Pak. Saya capek sekali," jawabnya dengan suara yang nyaris tak bertenaga.Mobil perlahan merayap, mencoba membelah lautan kendaraa
Hari itu terasa begitu panjang. Setiap kali Neina keluar dari ruang kerja Keandra, bisikan itu semakin nyaring. Seolah seluruh kantor kini memiliki satu topik saja: dirinya."Aku sudah bilang, kan? Perempuan sok manis begitu pasti ada maunya.""Pura-pura polos, tapi ternyata pintar memikat.""Kasihan Bu Olivia…"“Seharusnya Pak Keandra tahu sejak dulu jika wanita seperti dia itu akan menjadi benalu.”“Eh, denger-dengar, ia dinikahi hanya untuk keturunan.”“Bisa jadi sih. Faktanya memang Bu Olivia yang mungkin tidak ingin punya anak. Sebab tahu sendiri jika hamil. Body gitar spanyolnya akan berpengaruh. Dan mungkin itu yang menjadi alasan Pak Keandra mau menikah dengannya.”“Ditawarin uang banyak, siapa sih yang akan menolak.”Kata-kata itu menusuk telinga Neina, melukai hatinya. Ia mencoba berjalan seolah tuli, seolah semua bisikan itu hanyalah angin lalu. Namun, setiap tatapan yang menghakimi dan setiap senyuman sinis terasa seperti jarum tajam.Di pantry, saat Neina hendak menuang