LOGINLucy membelalak panik, wajahnya seketika pucat begitu menyadari siapa yang baru saja ia tabrak.
Pria itu, Kaelith Vortigan, kaisar muda dari Kekaisaran Velcarion. Pria yang dikenal berkuasa dan kejam di kalangan bangsawan itu menatapnya tanpa ekspresi.
Leon yang berhasil menyusul Lucy pun ikut terbelalak saat menyadari kehadiran pria itu.
“Yang Mulia, saya mohon maaf!” ucap Leon cepat. “Kakak saya tidak melihat jalan dan tanpa sengaja menabrak Anda.” Tangannya refleks menahan bahu Lucy agar tidak jatuh lagi.
Kaelith tidak langsung menjawab, hanya menatap kedua kakak beradik itu tanpa ekspresi.
Leon menunduk lebih dalam, ia melirik bingung kakaknya yang malah terpaku. “Kak, menunduklah… aku tidak mau melihat kepalamu hilang malam ini”
Lucy mendengarnya. Namun dunia di sekitarnya masih terasa bergema dan kabur. Dan sekarang ia malah dihadapkan dengan kehadiran pria paling berkuasa di kekaisaran.
Pria itu bukan lagi Pangeran Kedua Verlcarion. Apalagi teman masa kecilnya bersama Eldric dan Seraphine.
Sekarang, pria itu telah menguasai seluruh Kekaisaran Velcarion. Kaisar muda yang naik takhta lewat malam berdarah yang memenuhi seluruh penjuru istana kekaisaran.
Kaelith akhirnya menggeser pandangannya ke arah Leon.
“Senang bertemu lagi denganmu, Lord Mortayne.” Lalu ia menatap Lucy lagi, tatapannya dalam dan menusuk. “Kau juga, Lady Lucy.”
Lucy membeku, tak menyangka pria itu masih mengingatnya. Ia menatapnya lama, tidak percaya pada kenyataan yang ada di depan matanya.
“…Kaelith?”
Nama itu lolos dari bibirnya begitu saja, tanpa gelar, tanpa formalitas. Refleks seperti ketika mereka masih berlari-larian di halaman Marquis Montclair saat berusia sembilan tahun.
Sylar, salah satu dari dua Ksatria Pengawal Kaisar yang berdiri tepat di belakang Kaelith, langsung maju dengan wajah keras.
“Lady! Anda dilarang keras memanggil Yang Mulia Kaisar hanya dengan nama!”
Leon hampir menjatuhkan diri berlutut. “A–ampuni kakak saya! Dia tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan, Yang Mulia!”
Lucy tersentak seolah baru sadar dari mimpi buruk, wajahnya memanas. “M-maaf… S–saya tidak—”
Kaelith mengangkat tangan pelan, menghentikan Lucy dan Leon sekaligus. Hanya satu gerakan ringan, tapi mampu membuat lorong itu langsung sunyi.
Kaelith mengalihkan pandangannya sejenak dari kedua kakak beradik itu. Tatapannya menyapu lorong dengan dingin. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi tatapan itu… sangat berbeda dari apa yang Lucy ingat beberapa belas tahun lalu.
Lucy tersentak saat adiknya perlahan menyentuh lengannya. “Kak, sebaiknya kita segera pergi dari sini…”
Ia melirik sekitar, baru tersadar orang-orang masih melayangkan bisik-bisik tajam, terlebih setelah ia bersikap tak sopan pada kaisar.
Baru saja Lucy ingin pamit, pria itu sudah lebih dulu membuka suara, “Kau baik-baik saja?”
Lucy refleks menggeleng. “Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Kami hanya ingin segera pulang sampai tak sengaja menabrak Anda. Kami mohon ampun atas kelancangan kami…”
Lucy menunduk, tapi ia bisa merasakan tatapan menusuk yang berasal dari depannya, tepat di mana Kaelith berdiri.
Tak lama, salah satu Ksatria Pengawal Kaisar yang bernama Xander melangkah ke depan dan menunduk hormat pada Kaelith. “Yang Mulia, para bangsawan utama telah berkumpul di aula kecil timur dan menanti kehadiran Anda.”
Kaelith tidak segera menjawab. Matanya kembali tertuju pada Lucy, seakan sedang menimbang sesuatu.
“Mereka bisa menunggu lebih lama,” ucap Kaelith akhirnya.
Kaelith terdiam sejenak, lalu menoleh ke arah Sylar yang berdiri di sisi lain. “Sylar, bawa Lord dan Lady Mortayne ke taman di luar,” perintah Kaelith. “Pastikan tidak ada yang mengganggu mereka.”
Sylar menunduk patuh. “Baik, Yang Mulia.”
Ia melangkah mendekat dan membungkuk hormat. “Silakan ikut saya, Lord dan Lady Mortayne.”
Kaelith sedikit mendekat ke arah Lucy, lalu ia berbisik tepat di telinganya,
“Aku akan menyusulmu. Ada yang harus kita bicarakan.”
***
Taman kediaman Marquis sunyi, berbanding terbalik dengan aula pesta yang begitu ramai. Di sana, hanya ada dirinya dan Sylar, ksatria pengawal kaisar yang berjaga di ujung taman. Sementara Leon, adiknya, menunggu di kereta.
Lucy menghela napas pelan. Ia masih bertanya-tanya mengapa Kaelith memintanya menunggu di sini. Seorang Kaisar tidak punya waktu untuk urusan pribadi, tidak semenjak kudeta berdarah tiga tahun lalu.
“Apa yang dia inginkan dariku…” gumamnya lirih.
Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Lucy menoleh, menangkap sosok Kaelith muncul dari kegelapan. Jubahnya berderik tertiup angin malam, dan rambut tebalnya ikut menari-nari.
Tanpa sadar, Lucy terpana saat menatapnya.
Tampan sekali…
Lucy tak menyangka kaisar muda itu tumbuh setampan ini. Bahkan Eldric, mantan kekasihnya, tak terlihat setampan ini.
Dan begitu Kaelith berhenti di depan Lucy, ia segera membungkuk memberi hormat.
Sang kaisar terdiam cukup lama menatap Lucy, membuatnya kikuk dan tak tahu harus berbuat apa.
“Aku kira, kau akan baik-baik saja saat aku tak ada,” ucap Kaelith akhirnya. “Ternyata, nasibmu menyedihkan sekali, sampai gagal bertunangan dengan pria buruk rupa itu.”
Lucy tersentak, kepalanya refleks terangkat. “Eldric… tidak buruk rupa…” cicitnya pelan.
Sudut bibir Kaelith terangkat samar. Namun lengkungan itu segera menghilang, berganti ekspresi tenang yang lebih dewasa. “Jadi benar dia mengkhianatimu?”
Lucy terdiam sesaat, kembali mengingat momen pengkhianatan yang baru saja terjadi malam itu. “Benar, Yang Mulia,” jawabnya akhirnya. “Setelah memikirkannya lagi, mereka memang lebih pantas bersama”
Kaelith menatapnya lama, seolah memastikan tidak ada kebohongan di sana. “Eldric memilih Seraphine, dan kau tidak keberatan?”
Dengan ragu, Lucy mengangguk pelan. “Keputusan mereka masih masuk akal.”
“Masuk akal bagi siapa?” tanya Kaelith datar.
Lucy tidak langsung menjawab. Ia sadar betapa kecil posisinya di hadapan dunia yang mengatur segalanya dengan kekuasaan dan nama keluarga.
“Masuk akal bagi mereka yang berkuasa,” ucap Lucy akhirnya.
Kaelith menghela napas frustasi. “Apakah selama ini kau selalu seperti ini saat aku tak ada?”
Lucy mengangkat wajahnya. “Apa maksud Anda, Yang Mulia?”
“Seperti sekarang,” katanya perlahan. “Selalu mengalah saat Seraphine merebut sesuatu darimu.”
Lucy terkejut mendengar kalimat itu. Kebiasaannya selama ini terlihat jelas oleh orang lain, bahkan oleh seseorang yang lama menghilang dari hidupnya.
“Tidak adil jika saya melawannya. Lagipula, saya tidak pernah merasa punya hak untuk bersaing,” ucapnya lirih.
Kaelith menatapnya datar. “Sejak kapan kau memutuskan keinginanmu tidak layak diperjuangkan?”
Lucy menelan ludah. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi terasa menusuknya dalam. “Sejak saya menyadari dunia tidak memihak orang seperti saya.”
“Orang sepertimu? Memangnya kau orang seperti apa?”
“Seperti saya, putri Baron rendahan.”
Kaelith mendengus pelan. “Dunia memang kejam pada siapapun itu, Lucy. Tapi kau tak bisa terus membiarkannya.”
Lucy mengangkat kepala. Untuk pertama kalinya malam itu, ada kilau emosi di matanya. Ia sudah tak peduli yang berdiri di hadapannya adalah seorang kaisar yang bisa langsung menebas lehernya.
“Lalu apa yang seharusnya saya lakukan? Menolak keputusan keluarga Grand Duke? Itu bukan keberanian, itu kebodohan, Yang Mulia.”
Kaelith terdiam sesaat. Angin malam tiba-tiba berhembus kencang hingga ujung gaun Lucy dan jubah Kaelith berkibar kencang. Refleks Lucy memeluk dirinya pelan, tak hanya menggigil karena dinginnya angin malam, tapi juga suasana yang seketika menegang.
Tiba-tiba, Kaelith membuka kait jubahnya. Kain merah dengan benang emas itu terlepas dari bahunya, dan sebelum Lucy sempat bereaksi, Kaelith sudah melangkah mendekat.
“Yang Mulia—” Lucy refleks ingin mundur.
Namun Kaelith hanya menyampirkan jubah itu ke pundaknya dengan hati-hati. Seketika tubuhnya menghangat, aroma amber samar yang menenangkan langsung menyelimuti tubuhnya.
“Jangan menolak,” ucap Kaelith rendah. “Anginnya dingin.”
Lucy terdiam. Tangannya perlahan menggenggam tepi jubah itu, seolah baru menyadari betapa dekat jarak mereka sekarang.
“Saya bukan lagi anak kecil yang sering Anda lindungi dulu, Yang Mulia,” katanya lirih.
Kaelith menatapnya. “Memang bukan. Tapi kau sekarang wanita yang membiarkan dirinya diinjak-injak.”
Kalimat yang diucapkan dengan datar, tapi menusuk dalam.
Lucy mendongak. “Yang Mulia…”
“Eldric memilih kekuasaan dengan bertunangan dengan Seraphine,” lanjut Kaelith tanpa emosi. “Dan wanita itu, memilih kemenangan. Mereka semua pasti sekarang tertawa karena mengira kau akan diam saja, seperti yang biasa kau lakukan.”
Kaelith berhenti sesaat, lalu perlaham tangannya terulur menyelipkan rambut Lucy ke belakang telinganya.
Ia menatap Lucy dalam, lalu berkata dengan lembut, “Tapi aku tidak.”
Jantung Lucy berdentum keras. Tatapannya itu… membuatnya sulit bernapas seketika.
“Menikahlah denganku, Lucy.”
“Terima kasih sudah menerima kedatanganku.” Lucy dan Leon menunduk bersamaan, menyambut kedatangan Kaisar Kaelith di kediaman kakak beradik itu.Setelah percakapan malam itu, Lucy tak menunggu lama. Esok paginya, ia segera memberi kabar pada Kaelith bahwa Leon sudah “memberi restu”.Namun tentu saja Kaelith harus datang sendiri dan memberitahu tujuannya.Dan hari itu, mereka bertiga bertemu di aula teh kediaman Baron Mortayne. Hanya ada mereka bertiga dan kedua pengawal Kaelith yang berjaga di luar pintu.Sebelum datang, Kaelith sempat meminta agar Lucy meliburkan semua pelayang yang ada di kediaman Baron Mortayne. Tentu saja permintaan itu membuat sang kepala keluarga bingung.Dan kebingungannya terjawab saat melihat pria yang dimaksud adalah Kaelith, teman masa kecil sang kakak sekaligus penguasa kejam di kekaisaran Velcarion.“Kau pasti sudah dengar maksud kedatanganku hari ini apa, Baron Mortayne,” lanjut Kaelith setelah dipersilakan duduk, suaranya terdengar tenang sekaligus teg
“Mendapatkan… segalanya?”Kaelith tersenyum samar. Tatapannya terus mengunci Lucy, tenang tapi cukup menekan.“Termasuk balas dendam,” ucapnya pelan. “Apa pun yang mereka lakukan padamu nanti, aku pastikan mereka akan menerima pembalasan yang lebih kejam.”“Tidak perlu sampai seperti itu…” cicit Lucy, suaranya mengecil di akhir kalimat.Kaelith tidak langsung menjawab. Senyum samarnya memudar, digantikan dengan tatapan tenangnya. “Kau masih berpikir mereka akan berhenti jika kau diam saja?”Lucy diam tak menjawab. Dan diamnya berarti iya.Kaelith menegakkan tubuhnya. Ia menghela napas keras, tangan sambil memijat pelipis frustasi.“Balas dendam bukan soal kemarahan, Lucy. Ini soal memastikan mereka tidak pernah punya kesempatan mengulanginya lagi.”Lucy menunduk, jemarinya saling meremas. “Saya hanya… tidak ingin menimbulkan masalah yang tidak seharusnya.”“Masalah itu sudah ada sejak mereka berani menyentuhmu,” balas Kaelith datar. “Yang aku tawarkan hanya kendali atas bagaimana ka
“Apa yang sedang terjadi di sini?”Suara tegas itu berasal dari seorang pria yang melangkah maju dari kerumunan. Posturnya tinggi dan tegap, berseragam hitam berlis perak dengan pedang di pinggang, dan lambang kekaisaran di dadanya.Aura yang menguar dari pria itu membuat beberapa bangsawan refleks bergerak mundur.Pria itu Sylar. Pengawal kekaisaran yang sempat menegurnya di pesta pertunangan kemarin malam. Tatapannya langsung jatuh pada Lucy yang berlutut, rambutnya yang berantakan masih dicengkeram, dan darah mulai mengalir di pelipisnya.Ekspresi wajahnya seketika mengeras.“Lepaskan,” katanya singkat.Seraphine menoleh, napasnya tersengal oleh amarah. “Ini urusan pribadi keluarga Duke Vallarond.”Sylar tidak mengubah ekspresi. “Tidak saat Anda menyeret seorang bangsawan perempuan di tempat umum.”Ia melangkah lebih dekat. Tekanannya cukup untuk membuat Seraphine ragu. Beberapa detik kemudian, jari-jari itu akhirnya terlepas dari rambut Lucy.Lucy hampir jatuh ke depan, tapi Syla
Dunia di sekitar seakan berhenti berputar.“Apa…?” suara Lucy nyaris tak keluar.“Menikahlah denganku,” ulang Kaelith tenang, seolah yang dibicarakan bukan hal yang besar. “Dan aku bisa memberikan segalanya yang kau inginkan, termasuk balas dendam.”Lucy menggenggam jubah itu lebih erat. “Balas dendam… untuk siapa?”“Untukmu,” jawab Kaelith tanpa ragu. “Dan untukku.”Ia mencondongkan tubuh sedikit, cukup dekat hingga Lucy bisa melihat kelelahan yang disembunyikan di balik mata abu-abu itu. “Biarkan mereka melihat apa yang terjadi ketika mereka meremehkan seseorang yang berada di sisi Kaisar.”Lucy terdiam lama. Angin masih berhembus, membuat jubah pria itu berkibar.“Aku tidak akan memaksamu,” lanjut Kaelith lebih pelan saat tak mendapat balasan. “Tapi jika kau lelah mengalah… ini jalannya.”Kaelith tidak mendesaknya. Ia menatap Lucy lebih lama, seolah sudah menduga reaksi itu.“Pikirkan saja dulu,” ucapnya akhirnya, suaranya tenang. “Keputusan seperti ini tidak seharusnya lahir dari
Lucy membelalak panik, wajahnya seketika pucat begitu menyadari siapa yang baru saja ia tabrak.Pria itu, Kaelith Vortigan, kaisar muda dari Kekaisaran Velcarion. Pria yang dikenal berkuasa dan kejam di kalangan bangsawan itu menatapnya tanpa ekspresi.Leon yang berhasil menyusul Lucy pun ikut terbelalak saat menyadari kehadiran pria itu.“Yang Mulia, saya mohon maaf!” ucap Leon cepat. “Kakak saya tidak melihat jalan dan tanpa sengaja menabrak Anda.” Tangannya refleks menahan bahu Lucy agar tidak jatuh lagi. Kaelith tidak langsung menjawab, hanya menatap kedua kakak beradik itu tanpa ekspresi.Leon menunduk lebih dalam, ia melirik bingung kakaknya yang malah terpaku. “Kak, menunduklah… aku tidak mau melihat kepalamu hilang malam ini”Lucy mendengarnya. Namun dunia di sekitarnya masih terasa bergema dan kabur. Dan sekarang ia malah dihadapkan dengan kehadiran pria paling berkuasa di kekaisaran.Pria itu bukan lagi Pangeran Kedua Verlcarion. Apalagi teman masa kecilnya bersama Eldric d
“Malam ini, kami merayakan pertunangan putra bungsu kami, Eldric Montclair, dengan Lady Seraphine, putri sulung dari keluarga Grand Duke Vallarond!”Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru aula, berbanding terbalik dengan gemuruh di dada Lucy. Ia merasa dunianya runtuh seketika saat melihat kekasih dan teman masa kecilnya berada di atas panggung aula kediaman Marquis Montclair, saling bergandengan tangan dengan mesra. Malam ini seharusnya menjadi malam yang berarti di hidupnya. Malam di mana Eldric Montclair, kekasihnya sejak masa kecil, akan mengumumkan pertunangan mereka secara resmi di hadapan seluruh bangsawan.Sebaliknya, yang terjadi adalah hal yang tak pernah ia bayangkan seumur hidupnya.Lucy hanya bisa membeku saat beberapa wanita bangsawan bersorak seolah mereka menyaksikan hal yang sudah mereka nantikan. Pertunangan Eldric dan… Seraphine? Bukankah harusnya aku yang bertunangan dengan Eldric…Semua perjuangannya selama ini berakhir sia-sia. Bahkan adik laki-lakinya, Leo







