Malam itu, Celine berdiam diri di kamarnya dengan perasaan yang jengkel. Lampu di meja kecilnya menyala redup, menyinari wajahnya yang muram. Ia menatap kosong ke arah cermin besar di hadapannya, sementara jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja rias dengan ritme tidak sabar. Semua yang ia rencanakan kemarin, mengenai kesalahan dalam rapat hingga ketegangan yang ia buat antara Matthew dan Sara ternyata hanya sementara. Karena kenyataannya, Matthew tetap bersikap lembut pada Sara, pria itu bahkan tidak mengindahkan dirinya meski Celine sudah berusaha menggoda dengan memakai piyama tipis ini. Celine menggigit bibir bawahnya hingga terasa perih. "Hal licik apa lagi yang harus kulakukan agar bisa merebut hatinya?" gumamnya bingung, sekaligus gemas. Ia menutup matanya, membiarkan rasa frustrasi membakar dadanya. “Tidak bisa begini terus. Kalau aku tidak menghancurkan Sara sekarang, dia akan benar-benar mengambil semuanya dariku. Tidak! Ini tidak boleh terjadi!" Dengan cepat ia meraih ponsel
Sementara itu, di tempat lain, Celine mengamati dari jauh. Ia berdiri di depan mesin kopi, berpura-pura sibuk memilih minuman, padahal matanya tertuju ke arah ruangan Matthew. Ia tahu gosip sudah menyebar, dan ia berharap kali ini Matthew akan mulai meragukan Sara.Namun, ketika melihat Matthew keluar dari ruangan dengan ekspresi tenang, lalu berjalan beriringan dengan Sara menuju ruang rapat, hati Celine kembali bergejolak."Tidak! Ini tidak mungkin! Mengapa mereka masih bersama? Mengapa Matthew tidak menjauhinya?" gumam Celine, heran sekaligus jengkel. Ia menggenggam gelas kopi begitu kuat hingga hampir tumpah. Rasa frustasi kembali menguasainya. Tapi di sisi lain, pikirannya bekerja lebih cepat. Jika gosip pertama tidak cukup, ia harus melangkah lebih jauh.•••Malam itu, di rumah, Matthew duduk di ruang kerja dengan wajah serius. Ia memikirkan semua yang terjadi. Sara sudah tertidur lebih awal, karena kelelahan. Matthew membuka laptopnya, berniat untuk mengerjakan sesuatu agar p
Hari Senin tiba dengan suasana yang berbeda. Koridor kantor yang biasanya dipenuhi percakapan profesional kini diramaikan dengan bisik-bisik yang samar nan tajam. Sara merasa pandangan mata orang-orang yang biasanya netral kini sesekali melirik ke arahnya. Ia juga merasa ada sesuatu yang tidak biasa.Sara melangkah masuk dengan senyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Namun, ia tidak bisa menghindari sorot mata penuh tanda tanya dari beberapa rekan kerjanya.“Selamat pagi, Sara,” sapa seorang kolega, suaranya terdengar sedikit canggung.“Pagi,” jawab Sara, berusaha tetap ramah.Namun, saat ia berbalik, ia bisa mendengar suara berbisik pelan.“Katanya, kemarin dia ketahuan keluar bareng Adrian, dari divisi marketing." “Benarkah? Padahal kan dia sudah menikah.”“Aku nggak tahu, tapi aku lihat sendiri, mereka duduk berdua di kafe dekat kantor.”Langkah Sara terhenti sesaat. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia memang sempat membicarakan beberapa hal terkait proyek dengan Adr
Suasana di kantor pagi itu terasa lebih ramai dari biasanya. Orang-orang sibuk dengan tumpukan berkas, suara telepon berdering dan bersahut-sahutan. Namun, di balik semua kesibukan itu, ada satu pasang mata yang sejak tadi mengamati dengan cermat.Celine duduk di balik mejanya, jari-jarinya bergerak mengetuk-ngetuk permukaan meja, seolah sedang menghitung ritme kesabarannya yang hampir habis. Matanya menajam saat melihat Sara berjalan bersama Matthew, keduanya berbicara dengan serius tapi tidak tampak renggang seperti dugaannya. Bahkan Matthew sesekali menyentuh lengan Sara, memberi tanda dukungan yang begitu jelas."Kenapa mereka malah terlihat lebih akrab dari sebelumnya?" gumam Celine sambil meremas pulpen di tangannya kuat. "Seharusnya mereka bertengkar. Seharusnya Sara sudah hancur setelah presentasi gagal kemarin. Tapi kenapa Kak Matthew masih berada di sisinya?" pikir Celine, kesal. Ia menunduk, pura-pura sibuk menandatangani dokumen, padahal pikirannya berputar penuh amarah
Malam itu suasana rumah terasa lebih hening dari biasanya. Sara duduk di tempat tidur mereka sambil memangku laptop miliknya. Jemarinya sibuk menari di atas keyboard, mencoba membuka kembali folder yang menyimpan semua berkas presentasi. Namun, semakin lama menatap layar, hatinya makin diliputi kecemasan.Matthew masuk beberapa menit kemudian dengan segelas air ditangannya. Ia meletakkannya di atas nakas lalu duduk di samping Sara. "Sudah kau temukan file aslinya?" tanyanya.Sara menggeleng, matanya tetap terpaku pada layar laptop. "Semua file ada di sini, tapi entah kenapa, slide yang kemarin aku buat tidak ada. Yang tersisa hanya file yang kacau itu."Matthew mencondongkan tubuhnya, matanya menyipit untuk meneliti isi folder. Tangannya kemudian mengambil alih laptop dan memeriksa satu per satu detail. "Ini kelihatan aneh. Nama filenya hampir sama, hanya berbeda satu huruf di bagian akhir. Kau lihat?" tanya Matthew, satu jarinya menunjuk ke layar laptop. Sara melihat lebih dekat,
Sara duduk di kursinya cukup lama setelah semua orang meninggalkan ruang rapat. Jantungnya masih berdegup kencang, wajahnya memanas karena malu, sementara tangannya gemetar ketika merapikan berkas yang tersisa. Bayangan ekspresi kecewa para klien terus menghantui kepalanya, membuatnya ingin menghilang seketika. Ia tahu Matthew sudah mengatakan bahwa ia akan memeriksa file itu, dan bahkan sempat menegaskan bahwa Sara bukan orang yang sembarangan. Tapi kata-kata itu justru membuat hati Sara semakin perih. Baginya, kepercayaan Matthew adalah sesuatu yang berharga dan justru itulah yang membuat rasa bersalahnya semakin berat. “Aku seharusnya lebih berhati-hati,” bisiknya lirih, menatap layar laptop yang kini sudah ditutup. Matanya terasa panas, dan air mata akhirnya lolos juga. “Kalau saja aku memeriksa sekali lagi sebelum rapat, semua ini tidak akan terjadi.” Pintu ruangan masih terbuka. Matthew berdiri di dekatnya, seakan sengaja tidak langsung pergi. Ia memperhatikan Sara