Jingga keluar dari kamar mandi dan ia melihat raut muka Davin berubah. Tidak ketus, tapi juga tidak ramah. Benar-benar raut muka yang sulit sekali diartikan. Mata pria itu pun sempat tertuju pada perut Jingga sesaat, sebelum berpaling ke arah lain.Namun Jingga memilih untuk tidak bertanya apa alasan mood pria itu berubah, perutnya sudah merasa lapar dan ia memutuskan menyantap sarapannya terlebih dulu.Selain ada hidangan bacon dan telur, ada juga panekuk dan buah-buahan. Jingga tidak yakin ia bisa menghabiskan semua makanan itu. Sepertinya Davin membeli semua itu karena dia belum tahu makanan favorit Jingga.Setelah Jingga menghabiskan bacon dan telur, ia tiba-tiba mendapat panggilan video dari Amarylis. Jingga tersenyum dan mengangkat panggilan tersebut. Wajah Oliver yang sedang menangis seketika muncul di layar ponselnya.“Kak Jingga, dia baru bangun terus nangis nyariin Kakak,” ujar Amarylis, “maaf ya, aku nggak bisa nenangin dia kali ini.”Jingga tersenyum, mengangguk. “Nggak apa
“Sayang, mau titip pesan apa ke Papa hari ini, hem?” tanya Jingga.Lalu terdengar celotehan Oliver yang sama sekali tidak bisa dimengerti, seolah-olah dia sedang menimpali pertanyaan ibunya.“Apa...? Mama harus menyampaikan pesan kamu ke Papa, kalau kamu sayang Papa?” Jingga menaruh maskara ke tempat make up sebelum ia menoleh, tersenyum pada putranya yang berambut hitam legam seperti Davin itu, duduk di baby chair.Oliver tertawa. Dia mengangguk lucu seakan mengerti apa yang ibunya ucapkan.Jingga mendekat, berjongkok di depan Oliver, kedua tangannya ia tangkupkan di pipi Oliver yang chubby. “Baiklah. Mama akan berusaha sampaikan pesan kamu ke Papa, ya.” Ia tersenyum penuh kelembutan. “Oliver jangan sedih, ya. Sebentar lagi Papa pasti akan pulang. Papa sayaaaang banget sama Oliver. Hem?”Oliver kembali tertawa sambil berseru, “Papa...!”Jingga mengangkat anak itu ke pangkuan, mengecup keningnya sambil berjalan keluar dari kamar. Lalu ia menyerahkan Oliver pada Arum.“Saya senang seka
“Sial! Kenapa nomornya tidak aktif?” desis Davin pada dirinya sendiri.Seraya mendengus kasar, ia menjauhkan ponsel dari telinga dan menatap nama Vincent di layar dengan geram.Sudah sejak kemarin Vincent tidak bisa dihubungi, bahkan lelaki itu tidak ada menjenguknya lagi ke rumah sakit. Padahal sebagai seorang asisten pribadi, seharusnya Vincent selalu siap siaga di dekat Davin.‘Lihat saja, kali ini aku benar-benar akan menahan gajimu!’ batin Davin dengan kesal.Ia membanting ponsel ke atas sofa, lalu menggerakan kursi rodanya menuju dinding kaca.Cukup lama Davin berdiam diri di sana, memandangi area taman di bawah, yang menjadi tempat pertemuan terakhirnya dengan Jingga kemarin pagi.Kala mengingat nama Jingga, dada Davin tiba-tiba terasa nyeri dan sesak. Hatinya diliputi perasaan ingin bertemu, tapi juga kecewa dalam waktu bersamaan. Ingin menggali lebih dalam hubungan mereka berdua, tapi keinginannya itu terbabat habis oleh fakta yang ia dengar dari Chelsea kemarin.“Dave, kamu
Jingga menghela napas berat seraya memandangi gedung rumah sakit di hadapannya. Ia berharap kali ini Davin mau menemuinya lagi. Bagaimanapun juga, Jingga harus meminta penjelasan kenapa Davin tiba-tiba menjauh.Langkah kaki Jingga terayun melewati lobi, lift dan lorong dengan jantung berdebar-debar. Perasaannya tak karuan, antara rindu dan takut ditolak, bercampur menjadi satu.Setibanya di depan pintu ruang rawat Davin, Jingga merasa heran karena tidak ada bodyguard yang berjaga di depan pintu.Bukankah seharusnya Jingga senang, tidak ada lagi dua pria yang menghalanginya sekarang? Namun perasaan Jingga mendadak tidak nyaman.Ia pun mendorong pintu di hadapannya.Seketika, Jingga tercenung.Ruangan itu tampak sepi dan kosong. Selimut di atas kasur terlipat rapi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ruangan itu sedang digunakan untuk merawat pasien.“Selamat siang. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang staf medis yang menghampiri Jingga.Jingga menoleh, dan ia melihat pera
Davin mengancingkan kemeja hitamnya seraya menatap pantulan dirinya di cermin. Meski acara malam ini bukan acara formal, dan meski kakinya belum bisa berjalan tanpa kruk, tapi Davin adalah Davin, yang lebih suka memakai setelan formal seperti saat ini.Pintu kamarnya tiba-tiba didorong kasar, membuat Davin menoleh ke arah pintu dan ia langsung disuguhi pemandangan wajah cemberut Amarylis yang berjalan menghampirinya.“Mau ke mana?” tanya Amarylis, ketus.Davin tersenyum kecil. “Jangan bicara ketus dan cemberut sama kakakmu sendiri. Kamu jadi terlihat jelek.”“Mas mau pergi sama wanita genit itu?” desak Amarylis tanpa menghiraukan ucapan Davin sebelumnya.“Iya,” jawab Davin, "tapi harus kamu tahu kalau dia bukan wanita genit."Amarylis mendengus sekaligus tertawa sinis. “Yang benar saja dong, Mas! Masa Mas mau menyia-nyiakan istri sebaik Kak Jingga demi wanita ular yang nggak punya urat malu itu?!” berang Amarylis dengan nada tinggi. Ia menatap kakaknya dengan jengkel.Davin berdiri men
Suara dentuman keras dari dua mobil yang beradu, membuat kepala Davin tiba-tiba diserang rasa sakit yang luar biasa. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum. Davin mengerang kesakitan, memegangi kepalanya yang terasa akan pecah.Namun, di balik rasa sakit yang tak tertahankan itu, Davin merasakan sesuatu yang aneh. Kilatan-kilatan memori mulai muncul di benaknya, memecah kegelapan yang menyelimuti ingatannya.Ia ingat bagaimana ia terjepit di dalam mobil sambil menatap tak berdaya pada Jingga yang menangis histeris. Ia ingat bagaimana ia memacu mobil sedan dengan kecepatan penuh lalu menghalangi mobil Jingga yang akan tertabrak mobil di hadapan mereka.Satu persatu ingatan yang lain muncul saling susul menyusul bagai kumpulan cuplikan film. Tentang kepergian dirinya dan Jingga ke Roma. Tentang kejutan pesta ulang tahun. Tentang canda dan tawa mereka berdua.‘Jingga...,’ bisik Davin dalam hati dengan dada yang terasa nyeri.Ia masih tertunduk memegangi kepala. Perlahan ia ingat semuanya.
Davin tidak tahu ke mana tujuan Jingga pergi. Satpam dan Dodi juga tidak diberitahu oleh Jingga.Masih dengan wajah pucat pasi di dalam mobil yang melaju menuju bandara, Davin menghubungi Roy—salah satu bodyguard yang ia pekerjakan untuk menjaga Jingga dan Oliver.“Halo?” sapa Roy sesaat setelah panggilan Davin terangkat. “Apa ini benar-benar Pak Da—““Ke mana Jingga?” sela Davin dengan tajam.“Bu Jingga? Mohon maaf, Pak, saya tidak tahu karena—““Tidak tahu, kamu bilang?” Davin geram mendengar jawaban tak bertanggung jawab dari pria itu. “Bukankah sudah kusuruh kamu mengawasi istriku? Kenapa bisa kamu tidak tahu keberadaan dia sekarang?” berangnya, marah.“Saya dan teman-teman yang lain meminta maaf kepada Anda, Pak Davin. Kami sudah tidak bekerja lagi di rumah Anda sejak beberapa hari yang lalu.”“Apa maksdmu?” Davin menajamkan tatapannya dengan rahang berkedut.“Nyonya Lucy sudah memecat kami.”“Sialan!” umpat Davin seraya mengepalkan tangan. Lagi-lagi ibunya ikut campur urusannya.
Sebuah tarikan pelan di bajunya yang diiringi rengekan, membuat Jingga mengalihkan tatapannya dari pemandangan laut, ke arah Oliver yang duduk di babychair di sampingnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Jingga dengan lembut seraya merapikan rambut Oliver yang terbang tersibak angin.Mengerti pertanyaan ibunya, anak itu menunjuk-nunjuk piring kosong di hadapannya, sementara mulutnya penuh dengan buah pisang yang tengah ia kunyah.“Ooh... mau tambah lagi pisangnya?”Oliver mengangguk cepat. Jingga terkekeh pelan melihat tingkah putranya yang hobi makan pisang itu.Jingga mengupas satu buah pisang dan memotongnya menjadi potongan kecil, lalu ia taruh di piring Oliver. Sejenak Jingga memandangi anak itu yang tampak bersemangat. Matanya bersinar ceria, membuat Jingga tersenyum karena sorot matanya mengingatkannya pada Davin.Apa kabar pria itu sekarang?Jingga menghela napas berat.Ternyata pergi ke Bali tak lantas membuat ia lupa pada Davin. Tapi justru Jingga semakin merindukannya.Namun di bal