Dalam tidurnya Sully mendengar suara Wira memanggil. Ia langsung menjawab. Tak tahu itu mimpi atau bukan. Tadi pria itu membuatnya kesal. Dan ia menyadari kalau belakangan Wira memang sering membuatnya kesal. Entah karena apa saja.“Baju kamu … yang mana yang mau dibawa?”Sully mengerjap. Ternyata itu bukan mimpi. Wira sedang berdiri di depan lemari dengan sebuah koper besar. Kenapa pria itu tiba-tiba menanyakan pakaiannya? Ia mengusap pipi dan merapikan rambut.“Baju yang mana aja? Buat apa?” Sully menatap malas koper kecilnya yang teronggok di sebelah lemari. Bajunya tak banyak. Yang lebih banyak itu peralatan makeupnya.“Besok kita berangkat ke Riau,” kata Wira, menghempaskan dirinya di tepi ranjang seraya membaringkan koper. Lalu mengambil beberapa lembar kemeja dan meletakkannya ke koper. “Ayo, cepat sini. Biar Mas susun,” katanya.“Aku dibawa? Ini pasti karena Bapak, kan? Bukan karena Mas yang mau bawa aku,” kata Sully.“Bukan karena siapa-siapa,” jawab Wira, memutar tubuhnya me
Dari terminal, Wira dan Sully menumpangi taksi menuju bandara. Sully melenggang dengan ceria di sebelah Wira yang menyeret koper dan menyandang ransel. Setelah terbangun dari tidurnya tadi, Sully seakan lupa kalau sepanjang jalan ia telah bersandar di bahu Wira dan memeluk lengan pria itu. Kini ia berjalan sambil mengetik di ponselnya. Membalas pesan Oky yang menanyakan kabar dan sedang apa ia saat itu. Sully tak mengatakan soal Riau pada Oky. Entah kenapa, dia malu kalau sampai Oky mengetahui ia mengikuti Wira sampai ke Riau. “Mas, perjalanannya berapa lama lagi?” Sully menyentuh lutut Wira yang duduk berdampingan dengannya. “Sampai di bandara sana, kita perjalanan darat lagi hampir tiga jam. Kamu capek?” Wira memandang wajah Sully yang begitu dekat dengannya. Sully bertanya tapi melempar tatapan ke tempat lain saat Wira menjawab. Di ruang tunggu yang bermandikan cahaya matahari, Sully terlihat semakin cantik. Rambut cokelatnya digerai, kaus lengan panjang hitam dengan jeans dan se
“Ada yang datang,” kata Sully, memandang Wira. “Tunggu di sini. Mungkin itu Bu Emi,” kata Wira keluar kamar. Wira keluar menuju teras dan menutup pintu di belakangnya. Dugaannya benar. Wanita yang mengucapkan salam tadi adalah Bu Emi, wanita yang biasa memasak dan membersihkan rumah dinas yang ditempatinya selama ini. Wanita itu juga adalah ibu kandung Ira. “Ya, Bu? Ada apa? Mari duduk dulu,” ajak Wira, menunjuk dua kursi besi bercat putih di teras. “Ternyata memang benar Pak Wira. Saya tadi lihat ada taksi bandara baru keluar.” Bu Emi menaiki dua undakan dan duduk di salah satu kursi. “Iya, saya baru sampai,” kata Wira. “Bagaimana, Bu? Sudah bertemu dengan Pak Asman?” tanya Wira sedikit penasaran dengan keperluan wanita itu. Kalau Bu Emi sudah bertemu dengan Pak Asman, wanita itu pasti sudah tahu kalau besok ia sudah bisa mulai bekerja seperti biasa lagi di sana. Namun sepertinya Bu Emi punya keperluan berbeda sore itu. “Saya kira Pak Wira enggak balik ke sini lagi. Belakangan s
Wira berdiri membelakangi lemari yang terbuka dengan wajah penuh kewaspadaan. Ia sudah hafal dengan kilat jahil di mata Sully. Wanita itu sedang bosan dan ingin menggodanya. Sully menahan senyum yang mencurigakan. Ia sendiri tak yakin kalau Sully menggodanya kali ini remnya tetap sepakem sebelum-sebelumnya. Tidak ada bapaknya. Rumah itu kosong dan berjarak lebih dari tiga puluh meter dengan dua rumah lainnya. Salah satu alasan ia tak mau Sully ikut dengannya.“Mau mandi, kan? Ini pakaiannya sudah Mas susun ke lemari. Kamu bisa mandi sekarang,” kata Wira dengan nada setenang mungkin. Sully membuat mimik wajah berpikir seraya mengerucutkan mulut. Sully masih cantik meski wajahnya terlihat lelah, batin Wira.“Aku nanya …. Mas jangan mengalihkan pembicaraan. Kalau aku punya keahlian lain gimana? Enggak harus ahli memasak, kan?” Sully menghentikan langkah setelah jari kakinya menyentuh kaki Wira. Ia mendongak melihat wajah pria itu. Wira sudah membuka jaketnya dan menyisakan kaus oblong. B
Wira duduk di tepi ranjang dan meraup wajahnya dengan kalut. Apa ia memang keterlaluan? Tidakkah Sully paham kalau yang mereka rasakan mungkin hanya gejolak sesaat karena terlalu sering bersama? Apa Sully pernah bertanya pada dirinya sendiri soal apa yang ia rasakan terhadapnya? Apa Sully menyayanginya? Mencintainya?Sedangkan ia sendiri? Apa yang dirasakannya terhadap Sully? Apa ia menyukai Sully karena wanita itu memang cantik? Apa ia menginginkan Sully karena wanita itu adalah wanita pertama yang berani menyentuhnya? Apa ia menyayangi Sully karena wanita itu membutuhkan perlindungan?Sully selesai mandi dan mengambil pakaiannya dari lemari tanpa memandang Wira. Untungnya sebuah handuk yang tadi dipakai Wira usai mencuci muka masih tersangkut di belakang pintu kamar mandi. Sully merasa sedikit tertolong karena tak perlu berteriak meminta Wira mengambil handuk untuknya.“Lis,” panggil Wira saat Sully duduk di depan meja rias menyisir rambutnya. Wanita itu tidak menjawab dan raut waja
Wira berdiri dari kursi dan menghampiri Sully ke bak cuci piring. “Lis ….” Ia berdiri selangkah di belakang Sully.“Jangan pegang-pegang aku,” potong Sully sebelum Wira menyelesaikan ucapannya. “Mulai sekarang anggap aku enggak ada aja. Oh, ya … itu ada nasi bisa ambil sendiri. Di rumah ini enggak ada bapak mertua yang perasaannya harus aku jaga. Di sini aku enggak punya keharusan melayani suami.” Sully meletakkan alat makan yang baru dicucinya ke rak piring kecil, lalu berbalik meninggalkan Wira di dapur.Wira menatap punggung Sully yang meninggalkannya. Ia tak menyangka semua jadi terasa rumit dan sulit.Apa kalau ia mengatakan kalau ia terlalu menyayangi Sully sampai tidak tega membawa wanita itu berakhir di desa Girilayang, Sully akan berhenti marah padanya?Apa kalau ia memberitahu Sully bahwa ia mendatangi perkebunan itu untuk mengambil keputusan besar yang akan melepaskan semua yang dimiliki di sana dan akan memulai kembali dari nol di desa, wanita itu akan mau mendampinginya?
Wira menunggu Sully menjawab pertanyaannya. Namun, entah karena Sully terlalu lelah atau belum memiliki jawaban untuk itu, napas wanita itu sudah mengembus teratur. Sully meninggalkannya tidur. Ia mengatur ulang bantalnya dan berbaring menghadap punggung Sully. Di tempat yang berbeda, ia kembali tidur di sebelah wanita yang belum lama dikenalnya. Yang orang tuanya entah di mana, yang entah memiliki masalah apa hingga harus berlari sebegitu jauh dan bertemu dengannya. Wanita yang meletakkan sebuah kepercayaan besar untuk mengikutinya sedemikian jauh ke perkebunan itu. Sully bisa tertidur nyenyak di sebelahnya pasti karena keyakinan bahwa ia tidak akan melukai dan tidak akan melakukan sesuatu yang buruk. Jadi … apa adil bagi Sully kalau ia memanfaatkan situasi? Khususnya memanfaatkan ketidakstabilan emosional Sully saat ini? Wira menghela napas panjang. Tangannya lalu terulur menyentuh ujung rambut Sully dan merapikannya. “Semua karena Mas sayang kamu, Lis.” Bisikan Wira nyaris tak t
“Maaf kalau ganggu tidurnya,” kata Bu Emi pada Sully dengan tangan masih berada di pegangan pintu.Sully meregangkan tubuh dengan mengangkat satu tangan dan tangan lainnya masih memegangi selimut. “Enggak apa-apa, Bu. Ibu masak apa hari ini?”“Masak opor ayam kampung kesukaan Pak Wira,” jawab Bu Emi.“Saya juga suka. Berarti itu masaknya buat saya juga, kan? Bukan buat Pak Wira aja,” kata Sully.Bu Emi tidak menjawab perkataan itu. “Saya permisi ke belakang, Bu,” katanya.Sully menggeleng seraya berdecak. “Luar biasa. Memang luar biasa. Enggak ada sikap ramah sama sekali.” Sully bangkit dari ranjang dan berpakaian sebelum keluar kamar. Sebelum masuk ke kamar mandi, ia melihat Bu Emi merapikan meja makan dan membersihkan seluruh permukaan kitchen set.Selesai mandi Sully berdandan dan membubuhkan makeup tipis yang membuat wajahnya terlihat segar dan jauh dari bayang-bayang dark circle kurang tidur. Pagi itu ia tidak membuat ujung rambutnya ikal. Melainkan meluruskan rambutnya menggunak