Bab 4 Awal Kecemburuan
Teringat pesan terakhir almarhum ibunya untuk menjaga Gemi dan tidak boleh menyia-nyiakan gadis desa itu, Sadewa tidak jadi mentalak istrinya. Akhirnya ia mengizinkan istrinya untuk ikut dengannya ke Jakarta.
Pukul empat sore Sadewa dan Gemi berangkat menuju Stasiun Solo Balapan. Pukul lima lewat tiga puluh menit, Kereta Api Senja Utama Solo tiba.
Di sepanjang perjalanan Sadewa hanya diam saja. Enggan untuk bercakap-cakap. Sikapnya masih cuek terhadap Gemi. Pria tampan itu justru sibuk dengan ponselnya.
Tak dianggap sebagai istri, ternyata itu sungguh menyakitkan. Tak sedikit pun Sadewa mau menoleh kepada Gemi yang buruk rupa. Di depan suami tampannya, Gemi merasa tidak percaya diri dengan kekurangan fisiknya.
Sadewa justru sibuk berbalas pesan dan kadang bertelepon dengan kekasihnya di sepanjang perjalanan.
"Iya, Sayang, sekarang Mas sudah di dalam kereta ini."
"Mas juga kangen kamu."
"Tunggu ya, Sayang ...."
Gemi terbakar api cemburu dan sakit hati mendengar percakapan mesra antara suaminya dengan kekasihnya via telepon. Ternyata Sadewa bisa bersikap manis terhadap orang yang dicintainya.
Gemi mengedarkan pandangannya ke luar melalui kaca jendela. Warna langit telah berubah menjadi kemerahan. Ia jadi teringat kenangan sepuluh tahun yang lalu saat masih duduk di bangku SMP kelas satu.
Sepuluh tahun yang lalu ....
Siang hari bolong yang teriknya matahari serasa membakar kulit, Gemi seperti biasa mengayuh sepedanya sepulung dari sekolah. Sahabat dekatnya, Haris tidak masuk sekolah karena tengah sakit. Jadinya Gemi pulang sendirian.
Saat jalanan menanjak, tiba-tiba saja rantai sepedanya lepas. Gemi sudah berusaha untuk membetulkan hingga telapak tangannya belepotan oli, tetapi belum berhasil membetulkan rantai sepedanya ke posisi yang benar.
Gemi menyeka peluh yang bercucuran di wajah dengan punggung tangannya. Badannya sudah basah oleh keringat. Gemi menengadah menatap langit seraya berdoa, "Ya Allah, datangkanlah malaikat-Mu untuk menolongku."
Setelah berdoa, Gemi hanya memandangi sepedanya dengan tatapan nanar. Demi menghemat biaya ia memilih ke sekolah naik sepeda dibandingkan naik angkot desa.
Di tengah keputusasaan, sebuah sepeda motor berhenti. Pengendaranya seorang pemuda berseragam putih abu-abu. Pemuda itu membuka helm dan menegur Gemi, "Sepedanya kenapa?"
"Eh, Mas Dewa. Rantainya lepas, Mas," sahut Gemi dengan semringah mendapatkan bantuan. Anak majikannya itu menjadi malaikat penolongnya.
Sadewa memarkirkan sepeda motornya di pinggir jalan lalu membantu Gemi membetulkan rantai sepeda yang lepas hingga tangannya belepotan oli.
"Sudah bener, nih!"
"Makasih, Mas. Ini tisu buat membersihkan tangan Mas Dewa yang belepotan oli." Gemi mengangsurkan dua lembar tisu.
Gemi terkesima dengan kebaikan Sadewa. Sejak saat itu ia menyukai pemuda berparas tampan itu.
Almarhum suami Bu Gayatri adalah mantan Lurah. Sebagai orang terpandang dan tergolong priyayi, banyak warga desa sering mengantarkan makanan saat acara pernikahan, selamatan orang meninggal, akikahan, dan juga syukuran kelahiran bayi.
Makanan yang berlimpah ruah di rumah Bu Lurah itu sering diberikan kepada Gemi dan neneknya. Karena sering banyak makan, dari kecil Gemi sudah memiliki tubuh gendut. Teman sepermainan dan teman sekolahnya sering mengolok-olok dan memanggilnya dengan panggilan "Buntelan".
Haris, teman sepermainannya itu yang selalu membela dan membesarkan hati Gemi bila ada yang mengejeknya.
"Gapapa gendut ... yang penting sehat. Kalo nggak ada yang mau sama kamu. Aku akan menikahimu nanti saat dewasa," ucap Haris bercanda, membesarkan hati Gemi.
"Ogah, aku nggak mau nikah sama kamu. Aku nggak suka rambut keritingmu. Aku maunya nikah sama Mas Dewa," balas Gemi dengan percaya diri.
"Mimpi kamu ketinggian, Gemi! Mana mau Mas Dewa melirikmu. Mau kupinjamkan kaca?" ledek Haris, teman semasa kecil hingga mereka sama-sama beranjak dewasa.
Setelah lulus SMK, Haris merantau bekerja di kawasan industri di daerah Bekasi. Dua bulan sekali pemuda berkulit gelap dan berambut keriting itu selalu pulang kampung untuk mengunjungi simboknya dan juga menemui Gemi, sahabat masa kecilnya.
Sadewa yang waktu itu masih kelas tiga SMA menjadi cinta pertama bagi Gemi. Sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, tetapi Gemi masih memendam perasaan itu.
Ia berharap dan bermimpi kelak bisa bersanding dengan pujaan hatinya di pelaminan. Meski halunya ketinggian dan ia merasa tak pantas mendapatkan Sadewa yang seperti pangeran tampan dari negeri dongeng. Ia bagaikan pungguk merindukan bulan.
Saat mengingat kenangan masa kecilnya, Gemi tersenyum. Ia heran dengan dirinya sendiri yang dengan percaya diri menyukai Sadewa yang mustahil untuk digapainya. Namun, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini, bukan?
Gemi tak menyangka keinginannya untuk menikah dengan Sadewa terkabul. Mungkin saat bercanda itu ada malaikat yang turun ke bumi turut mengamini doanya.
Bunyi notifikasi pesan masuk dari ponselnya membuyarkan lamunan Gemi. Sebuah pesan masuk dari Haris.
[Hei, kata Simbok kamu nikah sama Mas Dewa, ya? Sombongnya nggak ngabarin aku. Apa persahabatan kita selama ini tidak berarti buat kamu?]
[Sori, Ris, nikahnya saja dadakan kayak tahu bulet. Sekarang aku lagi di kereta, nih, dalam perjalanan menuju Jakarta.]
[Wah, nanti kalo libur aku main ya ke rumah suamimu. Share lock alamatnya.]
Gemi dan Haris berteman dekat dari kecil. Bahkan mereka terlahir di bulan dan tahun yang sama. Dari masih bayi mereka sudah bersama. Setiap hari Mbah Tum sering menitipkan cucunya Gemi di rumah Mbok Nah, simboknya Haris.
Karena tidak mengetahui hukum agama Islam tentang sepersusuan, Mbok Nah juga memberikan ASI-nya untuk bayi malang Gemi yang ditinggalkan ibunya sejak terlahir di muka bumi.
Setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam lebih tiga puluh menit, kereta api Senja Utama Solo tiba di Stasiun Jatinegara. Dengan taksi online, Sadewa membawa Gemi menuju ke kediamannya di bilangan Jakarta Timur. Lima belas menit kemudian, taksi online itu berhenti di sebuah rumah dua lantai di sebuah kompleks perumahan.
Seorang perempuan berwajah cantik jelita membukakan pintu rumah dan syok. "Siapa dia, Mas?"
Perempuan itu terperanjat kekasihnya pulang dari kampung dengan membawa seorang perempuan.
Gemi Nastiti juga syok saat mengetahui ada perempuan cantik berada di dalam rumah suaminya. Siapakah dia?
ISTRI PILIHAN IBUBab 5 Istri Rasa Pembantu Gemi kecewa, Sadewa tidak peka, tidak menjaga perasaannya sebagai istri yang sah secara hukum dan agama. Suaminya dengan teganya mengumbar kemesraan di hadapannya. Gemi menyesal telah memaksa ikut suaminya ke ibukota. Bila saja dari awal ia mengetahui suaminya tinggal dengan sang kekasih, ia tidak akan memaksakan diri untuk ikut.Gemi bergegas menuju kamar di dekat dapur. Batinnya perih. Sebagai istri sah yang hanya dianggap sebagai pembantu di rumah suaminya sendiri. Dan kini suaminya malah bermesraan dengan kekasihnya. Sekali lagi Gemi kecewa dengan Sadewa yang ia pikir kumpul kebo dengan kekasihnya, tinggal satu atap dengan seorang wanita tanpa ikatan perkawinan. Seorang perempuan berwajah cantik jelita membukakan pintu rumah, "Siapa perempuan ini, Mas?" tanyanya dengan kening berkerut.Sadewa balik dari kampung dengan membawa seorang gadis desa berpenampilan udik.Gemi Nastiti juga tak kalah syok saat mengetahui ada perempuan lain di
Bab 6 Hilang Rasa Percaya DiriSeingatnya dulu Sadewa rajin mengaji saat masih tinggal di desa. Ia tidak menduga pergaulan ibu kota yang bebas bisa menjerumuskan Sadewa hingga melanggar norma agama dan norma susila.Setibanya di kamar pembantu. Air matanya berdesakan keluar tanpa sanggup ditahannya lagi. "Aku harus bagaimana? Apa lebih baik aku meminta diceraikan saja. Rasanya aku tidak sanggup bila setiap hari melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain," isaknya pilu.Gemi tidak percaya diri untuk bisa bersaing dengan kekasih Sadewa yang memiliki kecantikan nyaris sempurna. Sementara ia hanyalah gadis buruk rupa. Ternyata selera Sadewa tinggi, pikirnya. Pantas saja suaminya enggan untuk menyentuhnya. Mungkin suaminya jijik melihatnya. Gemi mulai berpikir untuk menurunkan berat badannya dan akan melakukan perawatan di wajahnya. Ia bertekad akan mengubah penampilannya.Gemi sadar, ini dunia nyata, bukan negeri dongeng seperti kisah Cinderella. Ia harus berpikir realistis dan logis.
ISTRI PILIHAN IBUBab 7 Kado dari Sahabat "Yur ... sayur ...." Teriakan nyaring tukang sayur keliling menyadarkan Gemi yang tengah melamun sambil menjemur pakaian di halaman belakang rumah. Gadis bertubuh pendek dan gemuk itu segera keluar rumah, melangkah cepat menuju jalanan, lalu mengedarkan pandangan ke kanan dan kiri. Tampak gerobak yang penuh terisi berbagai jenis sayur-mayur itu berhenti di pertigaan jalan dikerumuni oleh beberapa perempuan. Gemi ikut bergabung dan memilih-milih sayuran. Gadis desa itu teringat, Bu Gayatri sering memasakkan sayur lodeh dan ayam bacem setiap kali putra tunggalnya pulang dari merantau di ibu kota. Itu adalah makanan kesukaan Sadewa, suaminya. Gemi memilih-milih belanjaan yang akan diolahnya hari ini. "Mbaknya pembantu baru di rumah Pak Dewa, ya?" tegur seorang wanita muda berambut pendek sekuping, menelisik Gemi dari ujung jilbab hingga ujung kakinya yang beralaskan sandal jepit.Gemi mengangguk sambil menarik kedua ujung bibirnya membentuk
Bab 8 Dibutakan Cinta Baru beberapa hari tinggal di ibu kota, Gemi sudah tidak betah dengan sikap dan perilaku Devita yang bossy, suka memerintah dan merendahkan nya. Karena dibutakan oleh cinta, Gemi menjadi wanita lemah yang tidak berdaya. Ia terlalu mencintai Sadewa. Cinta pertamanya. Meski cintanya bertepuk sebelah tangan.Ia rela menderita, dijadikan pembantu demi bisa melihat dan melayani kebutuhan suaminya setiap hari. Entah sampai kapan ia sanggup bertahan.Tinggal di ibu kota baginya lebih baik daripada tinggal menumpang di rumah Pak Lik-nya yang beranak banyak. Hidup menumpang tentu tidaklah enak.Devita sama sekali enggan mengerjakan pekerjaan rumah. Semuanya dikerjakan oleh Gemi. Setiap hari pekerjaan Devita hanya keluyuran pergi ke salon, nongkrong di kafe dengan teman-temannya. Atau berbelanja di pusat perbelanjaan menghabiskan uang suaminya.Sadewa masih seperti biasa. Cuek dan dingin, enggan menatap Gemi. Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk bekerja di kantor pe
ISTRI PILIHAN IBU Bab 9 Tak Ada Istri Sempurna"Dev, bangun! Sudah jam tujuh ini. Mas mau berangkat kerja!" Sadewa menepuk-nepuk punggung Devita, istri sirinya. Tidak ada reaksi dan pergerakan dari wanita cantik yang masih meringkuk di bawah selimut.Pria tampan itu lantas melangkah menuju jendela dan menyibak tirai gordennya. Cahaya matahari pagi langsung menerobos masuk melewati kaca jendela. Ruangan kamar berukuran empat kali empat meter itu menjadi terang benderang."Mas ... silau! Tutup gordennya!" seru Devita sambil menutupi wajahnya dengan sebuah bantal. Sadewa yang sudah berpakaian kerja rapi itu menghela napas kasar, mencoba bersabar menghadapi istrinya yang pemalas. Devita selalu bangun kesiangan setiap harinya. Pun ia kerap kali melewatkan sholat Subuh.Semenjak menikah secara siri tiga bulan yang lalu, Devita belum pernah sekalipun bangun pagi untuk menyiapkan semua keperluan suaminya dan juga sarapan, sebelum berangkat kerja. Istrinya begitu pemalas, sering membuat Sad
Bab 10 Sakitnya Diabaikan "Mas Dewa ...!"Panggilan Gemi membuyarkan lamunan Sadewa. "Eh ... iya.""Pak Lik Man sudah tiga hari dirawat di rumah sakit karena penyakit paru-parunya kambuh. Tadi Bulik Nur nelpon aku minta dikirimin uang buat nebus obat. Bolehkah aku meminjam uang Mas Dewa satu juta," mohon Gemi. "Kamu jadi orang jangan terlalu baik, Gemi. Kebaikanmu hanya akan dimanfaatkan orang. Almarhumah Ibu sering cerita, semua gajimu selalu diminta sama Pak Likmu. Kamu harus mikirin diri kamu juga." Sadewa berpikir Gemi yang lugu dan polos selalu tidak menyadari sudah diperalat oleh pamannya sendiri."Pak Lik Man satu-satunya saudara yang kupunya, Mas.""Aku nggak ada uang sekarang. Tunggu tiga hari lagi baru gajian." Setelah menyelesaikan sarapan Sadewa langsung berangkat kerja.Hati Gemi sakit. Ia sedang butuh uang, tetapi suaminya tidak mau membantu. Namun, saat Devita yang meminta uang untuk ke salon, Sadewa dengan mudah memberikannya. Gemi mendengar percakapan Devita dan Sa
ISTRI PILIHAN IBUBab 11 Cantik Hati Saja Tak CukupSetelah Sadewa berangkat kerja, Gemi membereskan meja makan bekas sarapan suaminya. Gelas dan piring kotor dibawa ke dapur lalu segera mencucinya. Gadis bermata sendu itu masih sedih dan kecewa dengan penolakan dari Sadewa. Gemi jadi teringat almarhumah Bu Gayatri--ibunya Sadewa--yang baik hati dan selalu siap menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Gemi heran, kenapa anak tunggalnya itu tidak menuruni sifat pemurah dari ibunya. Gemi juga teringat dengan almarhumah Mbah Tum--neneknya--yang begitu perhatian dan menyayanginya. Dua orang baik itu cukup baginya sebagai pengganti ibunya yang tak pernah bisa dipeluknya sejak lahir. Hingga saat ini Gemi masih penasaran ingin mengetahui siapa sosok bapaknya yang sebenarnya. Entah saat ini masih hidup atau sudah meninggal. Andai bertemu di jalan pun Gemi tak akan mengenali bapaknya. Di samping rasa kebencian karena merasa diabaikan dan ditelantarkan bapak kandungnya juga ia menyimpa
Bab 12 Bos Sadewa di Kantor Gemi segera meraih ponsel, menempelkan di telinga kirinya lalu mengucapkan salam. Gemi menautkan kedua alisnya, tidak biasanya suaminya menelepon."Gemi, tolong kamu antarkan berkas yang di ada di map biru!" perintah Sadewa tanpa basa-basi."Map birunya ada di mana, Mas?" tanya Gemi masih bingung dan tidak paham perintah Sadewa."Ada di meja kerja kamar saya. Tolong antarkan sekarang juga! Itu berkas laporan penjualan bulan ini. Saya butuh secepatnya. Ada rapat dadakan dengan manager." Setelah berkata Sadewa main langsung menutup telponnya sebelum Gemi sempat menjawabnya. Begitulah Sadewa baik kepada Gemi hanya saat ada butuhnya saja. Gemi geleng-geleng kepala. Gemi lantas bergegas ke kamar Sadewa dan Devita yang tidak dikunci. Baru sepuluh menit yang lalu, dia selesai membersihkan kamar setelah Devita pergi. Setiap hari istri siri Sadewa itu selalu keluar rumah. Pulang sore hari, tetapi seringnya malam hari. Setiap hari Devita pulang dengan tentengan b