Part 1 Biaya 500 Juta
‘500 juta?’ Calia mengulang nominal fantastis yang baru saja diucapkan oleh Reno. Sang dokter yang menangani buah hatinya, Zayn. Nominal yang tak masuk akal baginya. Tapi …Reno mengangguk, ada rasa iba yang menyergap dadanya dan merasa bersalah telah mengucapkan nominal tersebut.‘Apakah itu kesemuanya biaya?’Reno menggeleng. ‘Masih ada biaya kamar dan lainnya yang masih belum rinci.’Calia mengerjap mengingat perbincangannya denga sang dokter kemarin siang. Yang mendorongnya melakukan kenekatan ini. Lucius Cayson, seharusnya menjadi satu-satunya orang yang tak mungkin ia datangi. Namun, ia tak bisa memungkiri pria itulah satu-satunya harapan yang dimilikinya di tengah keputus asaannya saat ini.Jantung Calia berdegup kencang ketika kecepatan taksi mulai menurun dan benar-benar berhenti di teras gedung hotel yang tinggi menjulang di tengah kota. Tentu saja ia tahu apa yang diinginkan oleg Lucius darinya di tempat ini. Perasaannya campur aduk dan wajahnya, ia tak bahkan tak ingin menatap pantulan wajahnya yang pasti tak kalah berantakannya.“Ayo.” Lucius turun lebih dulu setelah membayar si sopir taksi dengan tip yang dermawan, lalu mengulurkan tangan untuk membantu Calia turun. Keduanya berjalan bersisian memasuki lobi hotel. Setelah mendapatkan kamar yang Lucius inginkan, keduanya masuk ke dalam lift masih dalam keheningan.Calia sempat melirik panggilan dari Divya yang ditolak oleh Lucius ketika masih berada di dalam lift, sebelum kemudian pria itu mematikan ponsel.Lucius memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku jasnya, tak butuh gangguan lain untuk kesenangannya.Calia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang luas. Jantungnya berdegup kencang ketika kedua matanya berhenti di tempat tidur yang luas.“Kau ingin membersihkan diri lebih dulu atau kita langsung saja?” Lucius melepaskan jas dan dasi yang kemudian diletakkan di sofa, tanpa melepaskan pandangan dari Calia yang hanya berdiri di tengah ruangan.Pertanyaan tersebut mengalihkan tatapan Calia dari tempat tidur dan wajahnya memerah merasakan tatapan Lucius yang begitu intens. “B-bolehkah aku mandi lebih dulu?” tanyanya. Badannya terasa lengket setelah sepanjang hari berjibaku di rumah sakit. Rasanya tenaga dan emosinya sudah terkuras habis dan ia perlu menyegarkan diri.Lucius mengangguk, dengan seringai yang tersamar di salah satu ujung bibirnya. “Tentu saja.”Calia pun menyeberangi ruangan dengan jalur melengkung, sengaja menghindari berpapasan dengan Lucius yang bersandar di balik punggung sofa dengan kedua tangan bersilang dada.“Kupikir kau perlu diingatkan,” ucap Lucius sebelum Calia menyentuh gagang pintu kamar mandi. “Aku tak suka pintu kamar mandi dikunci.”Calia membeku untuk sesaat, dan tanpa sepatah kata pun, wanita itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tanpa mengunci pintunya seperti yang diinginkan oleh Lucius. Di dalam kamar mandi, Calia segera melucuti pakaiannya dan berjalan ke balik shower. Mengguyur kepalanya dengan air hangat agar tubuhnya yang tegang sedikit rileks.Kepalanya sedikit terdongak, membuatkan air shower menerpa seluruh permukaan wajahnya. Matanya terpejam dengan ingatan yang kembali terputar di benaknya.‘Gugurkan kandunganmu atau enyah dari hidupku?’Calia mengingat ancaman yang masih begitu jelas melekat di ingatannya. Kemarahan yang berusaha ditahan meski sudah berada di ujung lidah. Siap diluapkan bersama kemurkaan yang begitu besar untuk dirinya. Bahkan tubuh Calia masih menggigil setiap kali mengingat kemarahan tersebut.Matanya terbuka dan tersedak air shower. Menundukkan kepala dan mengusap wajahnya, kemudian napasnya terengah dengan berat. Hanya ini satu-satunya cara yang tersisa untuk menyelamatkan putranya. Hanya ini.Saat ia berhenti terbatuk, sebuah lengan memeluknya dari belakang. Mendekap tubuhnya yang telanjang. Jeritannya tertahan mengingat milik siapa lengan tersebut. Napasnya tercekat merasakan punggungnya menempel di dada bidang Lucius dan wajah pria itu yang mulai tenggelam di cekungan lehernya. Sementara kedua telapak tangan pria itu mulai mengelus perut dan bermain-main di dadanya.Ciuman basah pria itu mulai merambati naik ke leher, rahang dan berhenti di balik telinga. Menggigit telinganya dengan gemas sebelum kemudian tubuhnya dibalik dan didorong ke dinding. Wajah Calia terdongak sementara wajah Lucius tertunduk, tatapan Lucius menguncinya.“Tubuhmu selalu menjadi yang terindah.” Kedua mata Lucius mulai berkabut, menginginkan Calia sekarang juga.“Apa kau tahu betapa aku menginginkan …” Suara Lucius tersengal oleh gairah yang sudah mengalir kencang di setiap pembuluh darahnya. Menginginkan Calia dengan sangat. Membuat remasan tangannya di dada wanita itu sedikit keras dan Calia tersentak kaget. Namun, dengan cepat ia menenangkan wanita itu dengan lumatan yang panjang. Menyentuh dan mencium setiap jengkal kulit di tubuh Calia di mana pun yang ia inginkan.Ketika semua menjadi begitu tak tertahankan, Lucius mengangkat pinggang Calia dan melingkarkan kedua kaki wanita itu di pinggangnya. Menyiapkan tubuh Calia menerimanya. Menerima semua hasrah dan gairah yang menjadi satu. Hingga sampai pada pelepasan yang luar biasa. Membuatnya sesak napas oleh kepuasan yang begitu besar.***Setengah jam kemudian, ketika keduanya sudah keluar dari kamar mandi, Lucius tentu saja tak melewatkan setiap menit dan kesempatan untuk bersenang-senang dengan pembayarannya. Ia kembali membaringkan tubuh telanjang Calia di tempar tidur. Menyentuh wanita itu lagi dan lagi dan ia tak akan pernah bosan. Hingga akhirnya Calia kelelahan dan kehabisan tenaga, barulah ia membiarkan wanita itu tertidur.Esok paginya, Calia bangun lebih dulu dengan seluruh tulang yang remuk redam. Kepalanya pusing oleh rasa lapar dan terperangah menemukan tubuhnya telanjang di balik selimut. Ia bangun terduduk dan hampir menjerit jika tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam, yang membuatnya bangun di tengah tempat tidur yang seperti kapal pecah.“Kau sudah bangun?” Suara dari arah sofa mengalihkan perhatian Calia. Melihat Lucius yang sudah rapi dengan setelan kerja pria itu dan berjalan mendekati tempat tidur. Rupanya pria itu sudah akan pergi. T-tapi ada sesuatu yang belum ia katakan.“Ini.” Lucius mengulurkan sebuah kartu hitam ke arah Calia. “Untuk pembayaranmu.”Calia menatap kartu tersebut dengan hati yang hancur oleh kalimat terakhir Lucius, meski begitu ia tetap mengambilnya dan menatap wajah Lucius. “Itu pakaian ganti untukmu.” Lucius menunjuk ke kantong hitam yang ada di sofa. “Aku sudah membuang pakaianmu ke tempat sampah.”Calia ingin protes, tapi kembali membisu. “Sepertinya aku memang tak benar-benar mengenalmu. Melihat caramu berpakaian, aku bertanya-tanya ke mana uang yang selalu rutin kukirimkan padamu sehingga harus mengenakan sampah seperti itu.”Kening Calia berkerut. Ia pun bertanya-tanya apa maksud kata-kata Lucius baru saja.“Apakah ada pria yang membodohimu?”Hati Calia kembali berdenyut setiap kali Lucius mengungkit tentang pria lain. “Ada satu lagi yang kuinginkan darimu.” Calia menjilat bibirnya yang kering.Lucius menunggu, tetapi Calia tampak bimbang. Kemudian wanita itu membuka mulutnya, tetapi suara dering ponsel mendahului kata-kata yang hendak keluar. “Tunggu.” Lucius mengambil ponselnya di nakas dan langsung mengangkat panggilan tersebut.“Ada apa?”“…”“Aku akan ke sana sekarang.” Lucius mengakhiri panggilan tersebut dan menatap Calia yang menunggunya. Menyodorkan kartu hotel di meja pada Calia. “Oke. Nanti malam, tunggu aku di sini. Sekarang aku harus pergi,” ucapnya kemudian beranjak menuju pintu. Meninggalkan Calia yang terhenyak di tengah tempat tidur. Telanjang di balik selimut dengan kartu hitam dan kartu kamar dalam genggamannya.Nanti malam?Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam