Tibalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh Abah Haji. Ia duduk di depan penghulu yang akan menikahkannya. Kenapa penghulu yang menikahkan? Karena Abah Haji mendapatkan ijin berpoligami dari Haji Umi selalu istri pertama. Berkas pun sudah diisi disertai materai. Nela akan menjadi istri sah pria pemilik pesantren itu, sama seperti Haji Umi. Mimpi pun ia tidak pernah. Mantan wanita malam yang sudah berhijrah itu masih meneteskan air mata saat menunggu ijab kabul diselesaikan. "Mbak Nela jangan nangis, nanti make up-nya luntur," kata Laila yang kini tengah menemani Nela di bilik yang ada di belakang mimbar masjid. Baju brukat panjang berwarna putih dengan hijab yang menutupi dada, serta siger Sunda yang menghias di kepalanya, membuat Nela begitu cantik. "Saya terharu, Laila. Apa ini gak salah?""Jangan ada keraguan terhadap keseriusan Abah saya. Saya anaknya yang paling tahu bagaimana Abah saya. Mbak Nela wanita paling beruntung yang bisa mendapatkan buku nikah sah dari negara karena ijin
"Bah, lampunya dimatikan dulu ya, saya malu," kata Nela sambil menunduk. Dua kancing atas gamisnya sudah terbuka akibat ulah suaminya. "Iya, biar saya yang matikan. Kamu di sini saja." Abah Haji berjalan untuk menekan saklar lampu. Kini kamar dalam keadaan gelap. Dugh!"Aduh!""Kenapa, Bah?" Nela terkejut mendengar suara kegebug. Ia berdiri dan mencoba menghampiri suaminya. "Kesandung karpet. Ya ampun, aya-aya wae. Mana kena lutut." Abah Haji berjalan pincang menuju ranjang dituntun oleh Nela. "Maaf ya, Bah, gara-gara lampunya padam, jadi gak keliatan jalannya." Nela merasa tidak enak hati. Ia mencium tangan suaminya, lalu ia letakkan di pipi. "Gak papa. Setannya emang lagi iseng aja sama saya, he he he... tolong nyalakan lagi lampu, lalu oleskan minyak but-but di kaki saya ya." Nela mengangguk. "Hati-hati, jangan sampai kamu kesandung juga," kata Abah Haji mengingatkan. Nela pun menyalakan lampu, lalu mencari minyak yang dimaksud suaminya di dalam laci, tetapi ia tidak menemuk
Siapkan Jantung Anda! "Naksir perempuan?" tanya Bu Umi memastikan ia tidak sedang salah mendengar ucapan putranya yang masih sangat muda. Syamil mengangguk. "Siapa, Sya?" Didin bertanya dengan suara beratnya. "Namanya Hanum, Bang. Teman kampus dan satu kelas. Pakai bajunya sopan, tertutup seperti Teh Laila dan Ummi. Masih sekedar dekat aja, buat penambah semangat saat kuliah," cerita Syamil sambil senyum. "Gak papa, asalkan hanya sekedar berteman saja, Sya. Kamu pasti lebih tahu mana yang benar dan tidak, Ummi percaya sama anak Ummi." Syamil merasa lega telah mengatakan hal ini pada Ummi nya. Paling tidak, orang tuanya mengetahui ia sedang dekat dengan siapa. Syamil masuk ke dalam kamarnya. Ia duduk termenung, merasa ada yang tidak lengkap dalam dirinya. Mungkin karena sampai saat ini ia belum mengetahui di mana keberadaan Hani. Jika saja ia tahu wanita hamil itu tinggal di mana, mungkin ia akan lebih tenang. Terakhir ia bertemu Hani adalah saat ia pamitan pindahan dan wanita itu
Hani panik bukan main, bayinya lahir di dalam kamar mandi mushola dan tidak ada siapapun yang mengetahuinya dan membantunya. Untuk beberapa saat Hani menangis, tetapi ia ingat, bayinya kedinginan. Lekas ia angkat bayinya dengan tangannya yang gemetar. Dibungkus dengan handuk yang tadi ia ambil dari dalam tas. Bayinya laki-laki dan sangat tampan. Hani sesegukan karena bayinya lahir dengan wajah arab-araban. Ia menutup mulut agar suara tangisnya tidak pecah. Oek! OekBayinya menangis. Hani semakin kalap, karena khawatir akan banyak orang yang mendatanginya. Lekas ia memenangkan sang bayi dengan menggendongnya, mengindung-ngindung dengan tali plasenta yang masih menggantung. Bayi itu pun berhenti menangis, Hani bergegas keluar kamar mandi dan berjalan mengendap-ngendap agar tidak ada yang melihat dirinya. Namun, sebelumnya ia sudah mengguyur lantai kamar mandi yang terkena noda darahnya. Jalannya pun kepayahan karena masih menggantung tali placenta. Untunglah lampu teras mushola mati
"MasyaAllah, b-bayi. Allahu Akbar, Abah, Ummi, Rukmini, ada bayi!" Teriak Laila membangunkan semua penghuni rumah. Didin menggendong bayi itu dengan tatapan sedih, sekaligus haru. Bayi masih merah dan masih ada sisa darah kering di bagian wajah dan lehernya. Alis tebal, rambut hitam legam yang banyak, hidung tinggi, membuat Didin takjub dengan bayi yang ada di tangannya. "Bawa masuk, La, saya mau kejar ibunya mungkin belum jauh." Didin memberikan bayi itu pada Laila, lalu ia berlari keluar lewat pintu samping yang ditumbuhi banyak ilalang. Namun, Didin tidak menemukan siapa-siapa di sana. Didin pun kembali ke dalam rumah. Ummi Haji tengah menggendong bayi itu dengan linangan airmata. "Rukmini, pakai air panas dispenser saja, siapkan di baskom!" Seru Bu Ummi gugup. Semua mata memandang bayi tampan itu dengan tatapan iba. "Ya Allah, Nak, ibumu tega sekali meninggalkanmu di sini." Nela ikut berkaca-kaca, teringat akan bayi kembarnya yang tidak bisa ia lahirkan dengan selamat. "Bu, a
"Akhirnya si Hadi tahu juga kelakuan istrinya yang setiap hari teriak-teriak sama adiknya Hadi yang lagi hamil itu.""Iya, Bu, coba kalau adiknya Hadi gak pergi, sampai selamanya itu si Hadi gak tahu jahatnya istri cantiknya dan juga sombong.""Rasain diusir! Jadi tetangga sok kaya, jadi istri sok paling dicintai, jadi ipar galaknya ngalahin anjing herder. Makan tuh pencarian!" Nabila hanya bisa menulikan telinganya saat para ibu-ibu tetangga sibuk menggosipkannya. Wanita itu memungut pakaiannya satu per satu yang dilemparkan suaminya ke luar rumah, hingga mereka pun sontak menjadi tontonan. "Pergi, jangan balik lagi ke sini!" Blam! CklekHadi membanting pintu, lalu menguncinya. Nabila hanya bisa berlingangan air mata karena perkataan suaminya yang sangat menyakiti hatinya. Suaminya juga sudah menalaknya dan semua itu karena Hani. Gadis itu seharusnya mati saja dan kenapa harus kembali ke Jakarta? Nabila terus saja menyalahkan Hani atas apa yang terjadi padanya. Setelah memastikan
"Makasih untuk traktirannya, Sya," kata Hanum sambil tersenyum. Keduanya sedang duduk di kantin, sambil mengerjakan tugas, sambil makan baso. Awalnya memang mereka bersama teman yang lain, tetapi karena yang lain ada urusan, akhirnya tersisa Syamil dan Hanum saja."Sama-sama, Num. Aku wajib kasih kamu persenan karena udah kasih kerjaan ke aku. Yang di bimbel juga kan infonya dari kamu. Makasih banyak pokoknya," kata Syamil tulus. Ini adalah gajian kedua kali dari bimbel dan juga dari privat adiknya Hanum. Tentu saja ia tidak boleh serakah dengan menikmati gajianya sendiri."Jangan sungkan, Sya. Semoga kita tetap bisa berteman baik. Syukur-syukur sampai lulus dan berjodoh." Kalimat terakhir Hanum membuat Syamil menoleh kaget. Gadis di depannya sudah menunduk karena malu."Masih jauh kali, Num. Kita belajar aja yang bener. Kalau kita bener, dapatnya juga bener," kata Syamil bijak. Hanum merasa sangat malu karena perkataannya tadi sudah membuatnya ditegur Syamil. Ia mengira ucapannya tad
"Halo, assalamu'alaikum, Sya, kamu lagi di kampus apa di kosan?" "Wa'alaykumussalam, Bang, saya di tempat bimbel, ada apa, Bang?""Sya, saya punya kabar baik untuk kamu. Hani ada di Jakarta.""Hah? B-benaran, Bang? Terus gimana? Apa udah lahiran? Sekarang tinggal di Jakartanya di mana? Saya mau dong alamatnya, Bang, bulan depan saya mau pulang ke rumah, jenguk bayi Syam sama sekalian jenguk Mbak Hani.""Duh, dengar dulu, Sya. Ini masalahnya, Hani kabur dari rumah kakaknya karena disiksa oleh iparnya dan sekarang gak ada yang tahu Hani ke mana. Kakaknya juga sudah keliling mencari Hani ke semua rumah sakit dan klinik yang tidak jauh dari sana, tetapi Hani gak ada.""Yah, terus gimana, Bang? Berarti Mbak Hani hilang lagi?""Iya, Sya. Ini saya udah suruh orang cari. Mudah-mudahan aja segera ketemu. Kamu gak usah capek-capek cari di Bandung, orang Hani di Jakarta. Semoga saja pas kamu balik bulan depan, Hani sudah ditemukan.""Aamiin, semoga saja ya, Bang. Makasih informasinya, Bang."Sy