Karena Alice tidak juga menjawab pertanyaan darinya. Leonardo berbalik dan melangkah ke arah nakas. Ia meraih sebuah paper bag dan meletakkan itu di pinggir ranjang.
"Bersihkan dirimu. Satu jam lagi, turun dan temui aku." Leonardo melangkah keluar dari kamar. Menghiraukan Alice yang masih tercengang menatap hadiah yang ia berikan. Alice menoleh ketika pintu tertutup. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Leonardo berikan padanya. Perlahan ia melangkah ingin melihat apa isi paper bag dengan logo mahal di baliknya. Satu tarikan di bibir, menandakan hal baik. Ini pertama kalinya setelah mereka menikah. Gaun hitam tanpa lengan, terasa lembut dan Alice tahu ini sangat mahal. "Dia memberiku gaun," gumam Alice tersenyum cerah. Ini adalah gaun terbaik yang ia terima dari Leonardo. "Aku harus bersiap. Jangan sampai Leon, menunggu terlalu lama." Alice melangkah cepat ke kamar mandi. Ia lupa tadi telah hancur karena perlakuan mertuanya di bawah sana. Tidak lama setelah itu, Alice sudah selesai dengan dirinya. Ia berdiri di depan cermin besar dengan penampilan yang jauh berbeda dari sebelumnya. Rambut panjangnya disanggul. Kulit putihnya terlihat lebih berkilau bahkan bibir yang tak pernah ia oles dengan pemerah bibir kali ini, ia olesi sedikit. "Aku berharap setelah ini, suamiku mencintai diriku," ucap Alice penuh harap. Menghela napas dalam, ia tersenyum kecil, meraih tas kecil di atas nakas dan melangkah turun ke lantai bawah dengan sangat hati-hati. "Mau kemana kamu, Alice?" Luna melangkah ke arah menantunya, menatap dari atas sampai bawah penampilan menantunya yang berbeda dari sebelumnya. Alice melempar senyum, ia membuka mulut ingin menjawab, tetapi, Leonardo tiba-tiba datang dan menjawab pertanyaan ibunya. "Ada pertemuan mendadak, Bu. Aku akan pergi dengan Alice." Leonardo sibuk memasang jam tangan mahal di lengan kanan. Luna mengerutkan kening, ada rasa yang tidak ia terima di dalam hati. Mengetahui Alice akan ke pertemuan besar dengan anaknya, jelas Luna tidak terima. Di sana ada banyak orang-orang besar. Putranya adalah orang yang terpandang dan kehadiran Alice di sana tentu akan menimbulkan desas-desus. Luna mencoba menahan putranya, memberi peringatan pada Leonardo agar memikirkan kembali rencana membawa Alice. Namun, Leonardo sudah bulat dengan keputusannya. "Pikirkan lagi, Leo. Kamu bisa membawa Dara atau siapa pun wanita yang pantas, kenapa harus dia?" tanya Luna dengan mata mendelik ke arah menantunya. Leonardo menekan pangkal hidung lebih kuat. Kepala berdenyut lebih keras, ocehan ini tetap sama. Dan ibunya seperti tidak akan bosan dengan ini. Di saat yang sama, supir datang menghadap melaporkan mobil sudah siap dan mereka harus segera pergi. Leonardo berjalan lebih dulu, membiarkan Alice berjalan di belakang dengan langkah ragu. Luna melengos masuk ke dalam kamar. Rasa kesal karena Leonardo selalu mengabaikan permintaannya semakin menambahkan beban dalam hidupnya. "Anak itu, kenapa keras kepala sekali," gumam Luna dengan perasaan bercampur aduk. ** "L-leon, apa sebaiknya aku tidak ikut denganmu, aku--" Alice meremas jarinya. Ucapan mertuanya sedikit mengusik hatinya. Bagaimana jika di pertemuan besar itu, Leonardo mendapat masalah karena kehadirannya? "Jelaskan alasan yang masuk akal? Kamu ingin aku malu karena tidak membawamu?" Leonardo bertanya dengan suara teramat dalam. Ia masih sibuk dengan tablet mahal di tangan kanannya. "I-itu ... Ibu sepertinya benar, aku bisa saja merusak pertemuan kalian nanti," jawabnya ragu. "Bukan acara besar. Hanya pertemuan dengan beberapa klien jadi, duduk dengan benar." Leonardo mendengar helaan napas berat Alice. Ia juga melihat dengan ekor mata istrinya meremas jeraminya sedikit kuat. 'Kenapa dia cemas sekali, bukankah ini bagus untuknya bebas dari pekerjaan rumah?' monolog Leonardo menggeleng pelan. Sampai di tempat yang telah ditentukan, Leonardo keluar lebih dulu, terlihat ia membenarkan jas miliknya. Kemudian tidak berselang lama, Alice sudah berada di sebelahnya, berdiri dengan penampilan yang cantik. Alice melihat papan nama yang tertulis besar di hadapan mereka. Restoran terbesar yang ia tahu, pengunjungnya adalah orang-orang besar. "Jaga sikapmu nanti. Jangan menunduk, tunjukkan bahwa kamu adalah istriku," ujar Leonardo tanpa menoleh, ia tetap berdiri gagah dengan kaca mata yang selalu menghias wajah tampannya. "Aku mengerti," jawab Alice walau tidak terlalu yakin. Keduanya melangkah bersama dengan tangan Alice berada di dalam lipatan tangan Leonardo. Jika diperhatikan, keduanya terlihat serasi dan sangat cocok. Sayangnya, itu hanya bisa mereka lihat di malam ini saja. Dengan jantung berdebar, Alice melangkah masuk. Bukan tidak percaya diri bertemu orang banyak, tetapi karena sikap manis Leonardo padanya. Sampai di depan pintu ruangan bertulis VVIP, Alice dan Leonardo masih tetap bergandengan. Namun kemudian, ponsel milik Leonardo berdering. Alice melihat sekilas nama Dara tertera di sana. "Masuk lebih dulu, aku angkat panggilan seseorang sebentar." Alice belum menjawab, Leonardo sudah berlalu begitu saja. Alice tersenyum kecil, rasa sakit menjalar di hatinya. Ia sudah mengira malam ini akan menjadi malam yang manis untuk mereka. Akan tetapi, sekarang dia tersadar, Leonardo masih belum menerima dirinya. "Nyonya silakan masuk!" Alice mengangguk, ia melangkah masuk sendiri. Seketika semua orang yang sudah berada di dalam menoleh ke arahnya. Ada tatapan asing ia terima, ada juga tatapan bingung dan yang lebih banyak tatapan acuh. Seorang wanita cantik mendekat ke arahnya, menelisik dirinya dari atas sampai bawah. "Wah, siapa yang kita lihat ini?" katanya dengan suara mengejek. "Dengan siapa kau datang? Apa kekasihmu tidak tahu, jika yang hadir adalah orang penting?" Beberapa orang datang ke arahnya. Alice masih memasang wajah tenang walau sebenarnya dia sudah merasa khawatir di dalam hati. Ia berdoa semoga Leonardo segera datang dan menolongnya. "Kau kenal dia?" tanya yang lain menatap pada wanita yang menegur Alice tadi.Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah