Delima keluar dari kamar suaminya, dengan wajah memerah. Ia tak menyangka Oscar begitu marah karena hal sepele seperti tadi.
"Semua karena anak itu. Sudah tidak di sini, tetapi masih saja merepotkan," gerutu Delima melangkah ke arah dapur. Delima hanya ingin Silviana bahagia. Mendapatkan apa yang seharusnya putrinya memiliki. Kekayaannya, penghormatan dan juga cinta Arsen. Namun, pria angkuh itu selalu saja menolak menikahi putrinya dengan alasan yang tidak masuk akal menurutnya. Delima duduk dengan kepala semakin sakit. Seharian ia membujuk Silviana agar pulang ke rumah tetapi, putrinya itu tidak pernah mau mengindahkan perintahnya. Bahkan sekarang, Delima tidak tahu, di mana keberadaan Silvia. "Jangan terlalu tegang, Nyonya. Ada aku di sini," bisik seseorang di belakang Delima. Ibu kandung Silvia itu, langsung tersenyum merekah, bahkan masalah berat di kepala langsung menguap begitu saja. Ia mengangkat tangan dan menyentuh tangan kekar yang berada di pundaknya. Kekar dan kokoh rasanya. "Bagaimana tidak. Oscar menolak mendekatkan Silvia dan Arsen. Padahal, aku sudah membayangkan menjadi orang terkaya jika Silvia menikah dengannya." Delima menoleh ke belakang hingga ia bertatapan langsung dengan pria yang baru datang. Si pria menyeringai lalu berucap," Aku akan membantumu mendapatkan persetujuan darinya. Serahkan saja padaku." Delima menyentuh tangan si pria lalu berucap senang. "Aku percaya padamu. Tolong bujuk Oscar agar Silvia mendapatkan Arsen." "Baik. Serahkan saja padaku." *** Sementara itu, di tempat yang berbeda. Alice baru saja sampai di rumah keluargaku Horison. Ia melangkah pelan agar tidak bertemu dengan mertua atau bahkan Leonardo. Namun, apa yang ia harapkan tidak terwujud. Luna yang sejak tadi memang sengaja menunggunya langsung berdiri. Ia mendekat dengan langkah lebar ke arah Alice yang datang dengan wajah takut. "I-ibu, aku ... maaf karena aku pulang terlambat," jelas Alice masih merasa takut pada ibu mertuanya. Wanita itu melirik ke lantai atas dan mendapati Leonardo yang juga sudah menatapnya dengan tatapan dingin. Alice menelan ludah kasar. Andai saja ia cepat menemukan taxi tadi. Dia tidak akan terlambat sampai di rumah. "Alasan saja. Kamu pikir aku akan percaya padamu?" sindir Luna bersedekap angkuh. "Ibu, aku tidak berbohong. Aku terlambat mendapat taxi. Dan di jalan ada sedikit kemacetan," jelas Alice mencoba menyakinkan sang mertua Namun, Luna tetap pada pemikirannya. Apa pun alasan yang Alice keluarkan tidak akan dipercaya olehnya. Tanpa ragu dan kasihan, ia meminta Alice mengerjakan pekerjaan yang tertunda lainnya. "T-tapi, Bu. Aku baru saja pulang. Aku kerjakan besok saja, ya." Alice mendekat, mencoba memegang tangan mertuanya. Sungguh dia sangat lelah hari ini. Tidak jera, Alice kembali mendapatkan penolakan dengan tepisan keras di tangan. Tatapan tajam Luna semakin menusuk hatinya. Tatapan kebencian dan menjijikan seperti biasanya Alice terima. Suara derap langkah terdengar mendekat ke arah keduanya. Alice dan Luna menoleh bersamaan. Alice memberikan senyuman, lupa jika tadi siang dia patah hati mendengar suara wanita bernama Dara. Tatapan dingin suaminya, tidak juga membuatnya ragu untuk mendekat dan menyodorkan bingkisan yang ia bawa dari rumah ibunya. Namun, belum sampai ditangan Leonardo, Luna lebih dulu merampas dan membuangnya ke lantai. Kue coklat dengan campuran vanila kesukaan Leonardo tumpah tak berbentuk. Alice menatap ibu mertuanya protes, ingin marah tetapi ia tak sanggup mengatakannya. Kue itu adalah kue buatan ibunya untuk Leonardo, dan sekarang kue itu sudah hancur dan tak bisa lagi di makan. Alice meneteskan air mata, ia mendekati kue hancur itu dengan air mata meleleh. "Bu, ini kue buatan ibuku untuk Leon, kenapa ibu tega membuatnya." Alice mencoba mengangkat sisa-sisa kue yang lengket di lantai dan memasukkan di dalam tas dengan hati yang luka. Luna bersedekap tak merasa bersalah sama sekali. Ia mendengus kasar lalu berucap, "Makanan tidak sehat seperti itu, tidak pantas kamu berikan pada putraku!" Alice menoleh cepat dan menggeleng pelan. "Ini dibuat dengan bahan yang baik, Bu. Kenapa Ibu membuangnya." Luna berdecak, menyaksikan Alice yang meneteskan air mata tidak membuat hatinya luluh sedikitpun. Ia menatap putranya dan berkata, "Sekali-kali, ajak Dara ke rumah. Ibu rindu dengannya, Leo." Alice menghentikan gerakan tangannya yang memungut sisa kue yang lengket, ia ingin mendengar apa yang akan Leonardo jawab atas ucapan ibunya. Ia memejamkan mata berharap Leonardo menolak dan mengatakan hanya ingin bersamanya. Namun, apa yang menjadi harapannya langsung pupus ketika dengan jelas Leo menjawab, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi, aku usahakan dia menemui ibu sesekali." Alice menggigit bibir bawahnya. Ia berdiri masih membelakangi ibu mertua dan suaminya. Hatinya hancur karena Leo seperti memberi peluang untuk menyingkirkan dirinya. Kenapa pria itu belum juga menerima dan mencintainya? Setelah merasa tenang, ia berbalik dan memberi senyum pada sang suami. "Aku bawa ini ke dapur." Leonardo dan Luna tidak mengatakan apa pun. Leo masih tetap menatapnya datar, tidak ada ekspresi apa pun yang pria itu berikan walau melihat dengan jelas mata Alice uang basah. Luna menghela napas, ia meminta Leo untuk istirahat karena dia juga sangat lelah. Seharian berkeliling mencari kesalahan Alice cukup menguras tenaganya. Di dapur, Alice dengan napas tercekat memakan kue yang masih bisa diselamatkan. Hanya sedikit, tetapi rasanya menyakitkan ketika masuk ke tenggorokan. Ucapan Leonardo lagi-lagi terngiang jelas ditelinga. "Dia benar-benar tidak menghargai perasaanku. Aku mencintai dirinya, tetapi tidak sedikitpun dia membalasnya," lirih Alice sendu. Tidak ingin terlalu lama meratapi nasibnya yang malang, Alice bergegas naik ke lantai atas setelah membereskan semuanya. Lampu juga sudah dipadamkan hingga dia harus berjalan pelan menaiki anak tangga yang bisa saja membuatnya terjatuh. "Mereka benar-benar tidak menganggap diriku." Alice melangkah dengan langkah pelan. Sesampainya di dalam kamar, ia sudah mendapati Leonardo yang menunggunya dengan tangan berada di dalam saku celana. Pria itu terlihat semakin segar dengan kemeja berwarna putih bersih. Alice melangkah masuk dengan jantung berdebar, tatapan dingin Leonardo padanya menusuk hingga relung terdalam. "Leon, aku minta maaf karena pulang terlambat," kata Alice menghilang kegugupan dalam hatinya. Leonardo mendekat, spontan menghentikan langkah Alice yang tadi berjalan. Pria itu tetap melangkah pelan hingga Alice tersudut di belakang pintu dengan jantung berdebar. "Apa kamu hanya bisa menangis, Alice?" tanyanya parau menunduk pada Istrinya. Menggeleng pelan. "Leon, tolong menyingkir dulu." Alice mengangkat tangan ingin mendorong dada bidang itu. Ia ragu, karena selama mereka menikah, jarang terjadi sentuhan fisik. Leonardo menatap tangan Alice yang gemetar, kemudian bertanya, "Apa yang kau bicarakan pada Dara siang tadi?" Tangan Alice tergantung, ia menatap Leonardo tidak percaya, bagaimana bisa di saat seperti ini, Leonardo membicarakan wanita lain. "Alice, jawab!”Luna menghela napas berulang kali, ia duduk dan menatap menantunya. “Ibu hanya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib Laila di sana.”Leo mengangguk paham. Ia meraih tangan ibunya. “Ibu, Damian akan menjaganya selama satu bulan, lagipula ada Arsen di sana.”“Arsen? Kamu masih percaya pada pria itu? Bagaimana jika–”“Ibu, tolong percaya dengan keputusan yang sudah aku ambil, Arsen adalah satu-satunya yang bisa menjaga Laila setelah Damian.”Lagi-lagi Luna mendengus, ia tak suka dengan pria bernama Arsen. Pria itu ingin merebut Alice dari putranya bahkan dengan terang-terangan mengakui Laila dan Damian sebagai anak.“Kalian tidak ada yang mengerti dengan kekhawatiranku. Aku hanya ingin cucuku hidup dengan damai, tidak perlu sekolah di tempat jauh, kita bisa–”“Maafkan aku karena memotong ucapanmu Bu. Tetapi ini adalah keputusan mereka. Laila ingin sekolah bisnis seperti Silviana, sementara Damian, putraku adalah penerus, dia harus memiliki pendidikan yang jauh lebih hebat.”Membuang na
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah