"Apa yang kalian bicarakan tentang Ibu Delia? kalian pikir saya gak dengar!" wajah Eli datar dengan tatapan tajam. ia berdiri dengan tangan menyilang di dada. Seolah ia menyimpan ucapan mereka yang baru saja ia dengar. "Tika! Besok pagi kamu ke kantor saya!" tegas Eli. Dan kamu Nadine, Sesuai permintaan Ibu Delia, mulai besok kamu cuti selamanya. Karena harus mengurus Ibu Delia yang sedang hamil!" Tika dan Nadine, keduanya saling tatap, dan akhirnya menunduk takut. Mereka gemetar. Hening. Dunia seolah berhenti berputar. Tika merasakan jantungnya berdegup keras. Tubuhnya membeku. wajahnya memanas. Sedangkan Nadine hanya tertunduk diam. Ia hanya khawatir dengan Tika. Kalau saja temannya ini sampai dipecat, bagaimana nasibnya nanti. 'aku tidak mungkin diam, tapi bagaimana caranya?' Tika mencoba untuk mengelak mencari bantahan. Tapi ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan yang tidak jelas. Semuanya serba terbata. "Apa kalian sudah puas ngomongin atasan di tempat umum?
"Waw, kantin disini lumayan bagus. Suasananya juga ramai. Pasti makanannya enak-enak," decak Nadine. Matanya mengelilingi suasana kantin yang cukup ramai pengunjung. Tika mengangguk. "Iya, aku memang sering makan di sini bersama teman-teman divisi. Ini kantin langgananku, makanannya enak-enak loh. Tapi hari ini khusus aku ajak kamu ke sini." "Loh? Kenapa?" Oh iya, katanya kamu mau cerita tentang Delia?" Tika menatap Nadine sejenak, lalu mengambil buku menu. "sambil makan, aku mau menceritakan bos kita si Delia itu." "Memangnya ada apa sih dengan dia?" tanya Nadine mengerutkan keningnya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa catatan nota kecil. "Mau pesan apa Mbak?" "Tika memberikan menu ke pelayan. "aku seperti biasa. Nasi putih setengah, ditambah soto daging." "Aku samain aja sama kamu Tika," ujar Nadine. Tika terkekeh. "Makan aja harus sama ama aku.Asal jangan suami aja yang sama." "Apaan sih kamu," Nadine ikut tertawa. "Oh iya, kamu serius mau cerita tentang
"Halo!" suara wanita di seberang telepon terdengar serak. Namun begitu, suara itulah yang membuat Nadine merasa nyaman dan hangat."Selamat pagi ... dengan Ibu Pamela?""Iya, saya sendiri dengan Pamela. Ini Nadine kan?""Iya Bu, aku Nadine, yang di rumah sakit waktu itu. Bagaimana kabar Ibu? Maaf, aku baru bisa telpon Ibu sekarang.""Yah ampun Nadine ... kamu kemana aja? Ibu udah lama cari-cari kamu," suara Pamela terdengar haru."Ibu cari aku? Ada apa Bu? Ibu baik-baik aja kan?" Nadine mengernyitkan keningnya,"'Kenapa Ibu Pamela harus mencari-cari aku? Apa ada yang penting? Atau Ibu Pamela sakitnya kambuh lagi? Sehingga memerlukan darah aku lagi?' kata hatinya."Ibu baik-baik aja Nak, gimana kabar kamu sayang? Ibu kangen banget sama kamu Nadine," suara di ujung telepon terdengar hangat, seolah menyimpan rindu yang dalam."A—aku gak apa-apa," jawab Nadine namun terbata. Membuat Pamela menaruh curiga."Maksudnya gak apa-apa?""A——aku ... maksud aku baik-baik aja Bu.""Nadine, bisa kit
"Aku belum bisa menjawabnya sekarang, aku butuh waktu. Aku perlu menimbang Del! dan aku juga butuh berfikir," jawab Nadine berapi-api. Genggaman Delia di tangan Nadine semakin erat. Air mata kepura-puraannya mengalir. Seolah dirinya adalah korban dari Erlan. "Tolonglah Nadine. Berikan keputusanmu sekarang. Karena semakin hari, kandungan aku semakin besar. Saya mohon, dan saya benar-benar gak sengaja." Apa pun alasan Delia dan Erlan, tidak mengubah pikiran Nadine, kalau mereka telah berselingkuh. Delia tetaplah wanita perusak rumah tangganya. Sedangkan Erlan yang menciptakan ini semua. Kini wajah Delia penuh sandiwara dengan tangis dan permohonan untuk menjadi istri kedua Erlan. Wajahnya memelas. "Please Nadine. Tolong aku. Kasihan anak ini, kalau nantinya harus menjadi anak haram. Anak ini gak dosa." Nadine diam. Airmatanya semakin deras. 'Kalau aku menolak permintaan mereka, apakah itu namanya aku egois? Sedangkan Mama sampai sekarang masih sakit.' Dibalik kepedihannya
"Kamu mau ngomong apa? Apa yang mau kamu bilang. saya pasti dengerin," jawab Nadine. Walau hatinya bergemuruh. Delia melanjutkan. "Saya harap kamu mau menerima, dan kamu nggak marah." "maksudnya?" tanya Nadine tidak mengerti. Dahinya berkerut. Ruangan hening sejenak. Delia masih menggenggam tangan Nadine. "Aku .... " Delia menelan ludah. Suaranya sempat tercekat. A—aku hamil" Duaarrrr! Kata-kata itu terdengar mencetus di udara. Bagai suara petir yang langsung menghantam jantung Nadine. Lalu tangannya memegangi dada. Ucapan Delia menghentak dada Nadine sangat keras. Sesak itu seolah membawanya ke alam lain. Ketika itu juga, dunia serasa hening. Nadine menarik tangannya dari genggaman Delia. Tidak ada kata yang dapat diucapkan Nadine. Ia begitu terkesima menatap lurus ke depan. Tubuhnya duduk tak bergerak, seolah menjadi beku. Mendengar berita yang menusuk jantungnya. kedua matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar. Tubuhnya bergoncang. "Kau benar-benar mau merebut suamiku!
'Akhirnya pertanyaan seperti ini, yang aku takuti datang juga, kenapa tiba-tiba Nadine bertanya tentang papanya? Aku harus jawab apa?' gumam hati Alena penuh kebimbangan dan ketakutan menyeruak batinnya. Pertanyaan yang ditakuti seperti palu godam menghantam dadanya. Sesaat Alena duduk diam mematung. Tatapannya kosong ke dinding. "Ma, sepertinya udah saatnya aku tau siapa papa aku. Kenapa Mama selalu aja menghindar, tiap kali aku tanya tentang papa aku?" suara Nadine dipenuhi emosi yang selama ini dipendamnya. Alena menoleh. wajahnya penuh keraguan. 'Apa yang harus aku katakan?' batinnya menelan ludah. Tenggorokannya kering. Antara ingin mengatakan atau tidak. Hatinya bergemuruh dengan ketakutan dan keraguan. "Ma? Mama? Kenapa Mama diam Ma?" "I—iya, iya. Mama cuma takut aja Nak." "Apa yang mama takutin? bicaralah Ma," desak Nadine. Alena masih terdiam. 'Apakah Nadine harus tahu kebenarannya?' batin Alena. Ia takut, jika saja Nadine tahu, kalau dirinya hanya ibu angkat,