Saras tengah duduk bersantai di teras rumah. Seketika ia bangkit saat melihat mobil putranya memasuki halaman rumah.
Wanita itu memicingkan mata melihat sepasang pengantin baru yang seharusnya masih berada di hotel untuk tiga hari kedepan.Tapi anehnya mereka sudah kembali. Tak ada raut bahagia yang terpancar dari pasangan pengantin baru itu. Tak seperti pada umumnya, dimana kebanyakan orang akan mengumbar kemesraan atau paling tidak terlihat lebih romantis. Tak seperti yang Saras lihat saat ini.Wajah mereka terlihat datar. Apalagi ekspresi yang terpancar dari Nadine, cukup menarik perhatian Saras. Kantung mata wanita yang kini menjadi menantunya itu tampak bengkak. Sedangkan wajah putranya yang bernama Sadam pun tak kalah membuatnya heran. Anak itu tampak datar wajahnya seperti banyak pikiran.Mereka berdua tak terlihat romantis seperti layaknya pengantin baru. Mengundang banyak tanya di hati Saras. Terlebih seharusnya pasangan pengantin itu masih berada di hotel untuk berbulan madu. Namun baru semalam menginap di hotel, mereka sudah kembali ke rumah."Loh kenapa kalian sudah pulang? Bukankah seharusnya kalian masih di hotel?" tanya Saras heran.Dua sejoli itu tampak berhenti melangkah, mereka berdiri di depan Saras sesekali saling lirik satu sama lain. Seperti ada hal yang sedang mereka sembunyikan."Aku capek Bu, mau istirahat di rumah saja." Sadam menjawab singkat lantas melengos masuk begitu saja melewati ibunya yang masih kebingungan.Saras memicingkan mata tatkala melihat Nadine kesulitan mengangkat koper pakaian mereka yang mungkin cukup berat. Apalagi saat Nadine berusaha mengangkat koper itu ke tangga teras yang terdiri dari tiga anak tangga, ia terlihat kesulitan.Hal itu memancing rasa penasaran Saras. Kenapa Nadine yang membawa koper pakaian seberat itu? Kenapa tidak Sadam? Saras bertanya-tanya dalam hati.Nadine menyimpan sejenak koper di sampingnya. Menjulurkan tangan berniat menyalami sang ibu mertua yang sedari tadi menatapnya heran.Bukan mendapatkan sambutan dari Saras, malah tangan Nadine ditepis kasar oleh mertuanya itu."Jangan berani sentuh aku! Kamu pikir aku akan menerima kamu sebagai menantu setelah kamu berhasil menikah dengan Sadam? TIDAK! Sampai kapanpun aku tak akan merestui pernikahan kalian. Kalau bukan karena Sadam mengancam kabur dari rumah, aku tak akan membiarkan pesta pernikahan kalian terjadi." Saras membalik badan berniat pergi dari teras dan meninggalkan Nadine yang menundukkan kepala.Baru beberapa langkah dia kembali menolehkan wajahnya ke belakang."Hampir saja aku lupa. Selamat datang di neraka! Semoga kamu kuat, jika tidak kuat kamu boleh pergi kapan saja tapi ingat, tanpa membawa serta putraku," ucapnya lantas kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.Perlahan Nadine mengangkat wajah, menatap nanar punggung ibu mertuanya. Kembali dia menitikkan air mata, segera ia usap dengan kasar wajahnya.Mencoba berdamai dengan takdir yang membuatnya terlanjur terperangkap dalam sebuah pernikahan yang rumit.Nadine terus menguatkan diri. Dia yakin jika suatu saat Sadam akan menyadari kesalahpahaman antara mereka. Dan ibu mertuanya pun suatu saat akan menerimanya sebagai menantu. Ya, Nadine terus memupuk keyakinan yang entah sampai kapan waktu itu tiba.Dimana Sadam akan kembali menyayanginya, dan ibu mertuanya akan menerima dia apa adanya."Kamu pasti bisa, Nad. Ya, kamu harus bisa." Dengan penuh keyakinan dia melangkah masuk ke dalam.Sebuah koper dia seret, menimbulkan suara gesekan antara roda dengan keramik licin rumah mewah itu.Seketika muncul seorang pria berwajah teduh. Pria berusia sekitar 50 tahun itu mengernyitkan keningnya yang sudah keriput."Kamu kesini sama siapa? Mana Sadam?" tanya Prasetyo ayah dari Sadam atau mertua laki-laki Nadine.Prasetyo celingukan mencari-cari anaknya."Mas Sadam sudah masuk duluan," jawab Nadine.Prasetyo bengong melihat koper ditangan Nadine, kenapa wanita yang harus membawa koper itu? Kenapa tidak Sadam?"Sini biar Ayah yang bawa kopernya, Sadam itu gimana sih? Masa iya istrinya suruh bawa koper sendirian?" Prasetyo hendak mengambil koper itu meski Nadine sudah melarangnya."Biarkan dia sendiri yang bawa kopernya!" tiba-tiba Sadam muncul di atas tangga.Pria itu menatap Nadine dengan tatapan penuh kebencian, bisa Nadine rasakan hal itu. Kini tak ada lagi tatapan lembut dan penuh kasih sayang yang terpancar dari wajah suaminya. Hanya kebencian yang dia rasakan."Saya bisa sendiri, Yah, makasih. Lagi pula gak berat kok," ujar Nadine menyeret koper dan mulai naik ke atas tangga dimana Sadam berdiri dan kini membalik badan kembali melangkah ke kamarnya.Sementara Nadine mengekor dibelakang dengan napas tak beraturan karena berat membawa koper hingga ke lantai dua ini.Langkah mereka sampai di depan pintu kamar. Seketika Sadam berhenti dan membalik badan."Kita satu kamar agar orang tua gak curiga, bukan berarti kita akan satu ranjang, paham?'' sergah Sadam mengingatkan.Nadine menatap miris manik mata Sadam yang penuh dengan kebencian. Tak menyangka Sadam pria yang dia cintai akan berubah 180 derajat dalam satu malam saja. Hanya karena hal yang sama sekali bukan suatu kesalahan, semua ini hanya salah paham saja."Kenapa diam? Atau kamu ingin tidur di luar?" suara Sadam mengecil tak ingin terdengar oleh orang tuanya.Nadine menggelengkan kepala cepat."Aku bersedia tidur di sofa," ucap Nadine."Sayangnya kamu harus tidur di bawah, tapi jangan khawatir. Ada karpet yang bisa kamu pakai untuk alas tidur," ucap Sadam membuka pintu kamar lebar-lebar.Mereka melangkah masuk ke dalam. Mata Nadine mengedar ke sekeliling ruangan yang luas itu.Seharusnya kamar ini menjadi tempat spesial untuk mereka berdua, tapi sepertinya semua di luar ekspektasi. Sadam sudah salah paham dan menyimpan rasa benci padanya. Kamar bernuansa hijau segar ini akan menjadi tempat menyimpan rapat rahasia antara mereka berdua. Jika ternyata hubungan sepasang suami istri ini tidak baik-baik saja namun harus terlihat normal saat mereka berada di luar sana.Nadine tetap pada pendiriannya, prinsipnya adalah menikah sekali seumur hidup. Maka dari itu masalah yang sedang dia hadapi saat ini, dia anggap sebagai masalah rumah tangga yang mungkin akan terjadi pada siapapun.Menjalin rumah tangga tentu butuh kesabaran dan pengorbanan. Dia akan melakukan semua itu sebagai pengabdiannya menjadi seorang istri yang baik. Lambat laun dia yakin kebenaran akan terungkap, Sadam pasti akan menerimanya kembali sebagai wanita satu-satunya yang ia pilih dan ia cintai.Meski kebencian kerap kali terpancar dari wajah Sadam, namun Nadine yakin jika pria itu masih mencintainya. Karena tak semudah itu cinta akan hilang dalam hati Sadam. Karena cinta Nadine bertahan hingga saatnya tiba nanti, Sadam akan kembali menjadi Sadam yang baik dan penuh perhatian.Lama terdiam membuat Sadam geram melihat Nadine yang hanya bengong melamun."Ngapain bengong di situ? Bereskan pakaian dan bantu masak di dapur bersama Mbak Nur." Sadam memintanya untuk membantu pekerjaan Mbak Nur, asisten rumah tangga di rumah itu."Baik, Mas." Nadine bergegas menyeret koper ke dekat lemari dan memasukan pakaian bersih ke dalam lemari tersebut.Sadam melangkah keluar kamar."Mas, mau kemana?" tanya Nadine menoleh pada Sadam yang kini sudah sampai di ambang pintu kamar."Bukan urusanmu," tukas Sadam melanjutkan langkahnya berlalu dari kamar itu.Baru saja sembuh dari sakit Saras sudah menyuruh Nadine melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya menjadi pekerjaan Mbak Nur saja.Nadine tak bisa menolak, hanya pekerjaan rumah saja baginya memang tak berat. Dia menuruti apapun perintah ibu mertuanya, berharap agar Saras bisa bersikap lebih baik lagi dari sebelumnya. Namun semua itu hanyalah mimpi belaka bagi Nadine. Karena sampai kapanpun Saras tak akan pernah menerima dia jadi menantunya."Bu … stok makanan di kulkas habis," papar Mbak Nur menghampiri majikannya yang tengah duduk di ruang keluarga."Suruh Nadine kesini, biar dia yang pergi belanja!" titah Saras.Mbak Nur terdiam sebentar, dia tau betul jika saat ini Nadine masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari sakit."Kenapa masih di situ?" Saras menatap heran melihat Mbak Nur masih berdiri mematung di tempat."Biar saya saja yang belanja, Bu," ucap Mbak Nur."Kamu mau bantah aku? Cepat panggil Nadine!" sentak Saras nada suaranya tinggi."Ba-baik, Bu." Mbak Nur tergopoh
"Nadine!" teriak Sadam saat melihat istrinya tergeletak di lantai kamar mandi dengan pakaian basah, wajah pucat dan bibir membiru.Mbak Nur yang berdiri di depan pintu tampak menutup mulut dengan kedua tangannya.Segera Sadam membopong tubuh Nadine, membawa wanita itu ke kamar. "Mbak Nur, ambilkan air hangat dan bawa ke kamarku!""Baik, Tuan." Mbak Nur segera menuruti perintah majikannya.Saat Sadam hendak melangkah naik ke atas tangga, seketika Saras dan Prastyo menghampiri."Kenapa Nadine? Apa yang terjadi sama dia?" tanya Prasetyo heran.Saras tampak terdiam, mendelik sinis tanpa merasa berdosa sama sekali.Sadam melirik ke arah ibunya dan berkata, "tanya saja Ibu, apa yang sudah Ibu lakukan pada istriku."Sadam melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dia teramat kesal pada ibunya yang sudah berani mengurung Nadine di kamar mandi. Sadam memang membenci Nadine tapi dia juga tak mau melihat istrinya tak berdaya seperti ini. Kalaupun harus Nadine menderita, tapi bukan begini caranya. Sam
Byurrr!Nadine reflek terbangun saat wajahnya basah di siram oleh seseorang.Posisinya yang semula terbaring kini langsung terduduk. Kedua tangan mengusap wajahnya yang basah."Enak banget jam segini masih tidur! Kamu pikir ini rumahmu bisa enak-enakan tidur sampe siang, hah?" bentak Saras."Maaf, Bu, tapi kepalaku pusing. Aku mau istirahat sebentar boleh ya, nanti aku bangun kok," pinta Nadine memelas. Air minum yang diguyurkan ke wajahnya membuat Nadine menggigil kedinginan."Jangan manja! Bangun dan cepat bekerja! Kalau sampai gak turun juga, aku siram kamu pakai air panas, mau?" ancam Saras."Tapi, Bu. Aku sakit." Nadine memeluk tubuhnya yang kedinginan."Dasar perempuan jal*ng!" Saras menyeret tubuh Nadine, menarik lengannya hingga Nadine tersungkur ke bawah lantai."Ampun, Bu. Lepaskan aku!" Nadine memohon."Kalau gak mau aku seret ya kamu bangun dong! Baju udah numpuk belum di gosok jadi cepat sekarang juga bereskan semuanya!" Saras melepas kasar lengan Nadine."Aku izin cuci m
"Jangan, Mas Ampun!" pekik Nadine saat Sadam mengambil sabuk yang tergantung pada gagang pintu lemari.Sudah bisa dia duga, apa yang akan dilakukan sang suami dengan menggunakan sabuk di tangannya itu.Saat tangan Sadam terangkat dengan menggenggam sabuk yang hendak dilayangkan pada tubuh mulus istrinya, saat itu juga Nadine gegas bersimpuh pada kaki suaminya."Ampun! Jangan lakukan itu padaku. Aku mohon!" Tangis wanita itu memecah heningnya malam."Aku berani bersumpah demi apapun, aku tidak pernah punya hubungan apa-apa dengan Aksan. Pria itu memang sudah lama menyukaiku, tapi aku tidak pernah menyukainya. Sumpah demi Tuhan!" lirih Nadine.Pria itu menurunkan tangan yang menggenggam sabuk. Lemah seketika tubuh Sadam saat mendengar sumpah dari mulut istrinya. Dia memang sudah keterlaluan memperlakukan Nadine. Tak seharusnya dia berlaku seperti ini. Bertindak kasar pada perempuan bukanlah tabiat yang biasa dilakukannya.Bahkan baru sekali ini dia mengotori tangannya dengan menampar wa
Plaaak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Nadine hingga tubuh wanita itu terhuyung.Kulit putih itu bersemu merah akibat cap jari yang dilayangkan suaminya. Tak seberapa sakit jika dibandingkan dengan hatinya yang kini terluka namun tak berdarah. Dipermalukan di depan umum seperti ini tak ada satu wanita pun yang mau, apalagi yang mempermalukan dirinya tak lain adalah suaminya sendiri."Berani kasar pada istrimu sendiri? Pria macam apa kamu ini?" Tiba-tiba terdengar suara seorang pria mendekat ke arah mereka."Aksan?" gumam Nadine cukup kaget dengan kemunculan pria itu yang secara tiba-tiba dan tak terduga. Sadam menoleh ke arah sumber suara, menatap tajam pria yang kini sudah berada tepat di hadapannya."Bukan urusanmu, mau aku apakan dia terserahku, dia istriku!" tegas Sadam."Ya, dia memang istrimu. Tapi kelakuan kamu itu tidak mencerminkan perilaku seorang suami terhadap istrinya. Karena ini tempat umum, dan aku berhak mencegah tindakan kasar pria terhadap seorang perempuan."
"Jangan lama-lama jabatan tangannya, itu laki orang loh, May!" tiba-tiba muncul Rena masih sahabat kami juga.Nadine baru menyadari jika sedari tadi Maya belum melepaskan tangannya dari Sadam.Spontan Maya melepaskan setelah mendapat teguran dari Rena."Maaf," ucap Maya mengukir senyum terbaiknya pada Sadam.Pria itu membalas senyuman yang tak kalah maut, membuat siapapun yang melihat akan meleleh dibuatnya."Mari kita duduk di sana," ajak Maya menunjuk ke arah sebuah kursi yang melingkar di sudut ruangan.Nadine dan Sadam melangkah mengikuti Maya dengan Rena yang berjalan lebih dulu.Mereka duduk disana sambil mengobrol banyak hal. Mengenang keseruan mereka saat bersekolah, maupun menceritakan keseharian dan kesibukan mereka saat ini."Ngomong-ngomong ini tempat punya dia. Maya sedang sibuk bisnis cafe dan karaoke, sudah buka cabang dimana-mana. Hebat kan?" tutur Rena."Hebat sekali. Kamu wanita karir yang sukses," puji Nadine."Oh jadi ini tempat kamu?" Sadam mengedarkan pandangan k