"Tenanglah Sayang, jangan takut. Aku adalah mommymu sekarang," ucap Anna memeluk Gerald yang masih diam berada pelukannya.
Sepertinya anak kecil kaget dengan kehadiran orang asing tiba-tiba. Emosi Anna tak terbendung. Kenapa ada manusia yang diam saja melihat hal seperti ini? "Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu. Kau aman bersamaku." Anna tidak peduli jika sebentar lagi Jeremy datang dan melihatnya lancang menemui Gerald. Yang akan dia lakukan adalah melindungi putra sambungnya dari manusia biadab seperti Jeremy. Diliriknya Rose, yang masih berdiri di depan pintu, "Apa begini cara kerja kalian? Membiarkan anak kecil hidup di tempat seperti ini! Apa menurutmu ini layak untuk anak sekecil Gerald, Rose!" "Maaf nyonya. Tapi kami tidak berani, sebelum Tuan yang memerintahkan kami untuk membersihkannya," Seketika Anna terdiam. Ya, dia tau ini bukan salah pelayan yang ada di mansion Jeremy. Tapi kenapa mereka bungkam melihat keadaan Gerald yang terbilang cukup mengenaskan? Dan paling benar untuk disalahkan memang Jeremy. Demi Tuhan Anna membenci laki-laki itu. "Cepat bersihkan kamar Gerald, sampai benar-benar bersih. Aku akan mengajak Gerald untuk makan," ujar Anna. Rose mengangguk, "Baik Nyonya." Meski sebenarnya ada perasaan takut akan kemarahan Jeremy, Rose tetap melakukan perintah. Karena memang sebenarnya Rose tak tega dengan kondisi tuan mudanya. Anna menggendong tubuh Gerald dengan mudah, pasalnya tubuh bocah laki-laki ini memang sangat kecil. Entah kekurangan gizi atau memang Gerald jarang makan. "Gerald harus makan yang banyak ya. Nanti mommy yang suapin," Anna mencoba berinteraksi dengan Gerald yang masih diam di dalam gendongannya. "Mommy sayang Gerald." Anna mencium pucuk kepala Gerald. "Benarkah?" ujar Gerald tiba-tiba dengan binar mata bahagia. Anna mengangguk pasti, "Ya mommy sangat sayang kepada Gerald." Ia mengeratkan gendongannya. "Apa aku boleh memanggilmu Mommy?" "Detik ini dan seterusnya, Gerald harus memanggil mommy. Mengerti?" "Mengerti Mom," Gerald langsung mengalungkan tangannya ke leher Anna. Wajah murung Gerald seketika berubah, seakan ia menemukan malaikat penolongnya yakni Anna. Sesampainya di ruang makan, Anna menurunkan Gerald. Ia mengambil piring beserta nasi dan lauk pauk untuk sarapan Gerald. Anna duduk di kursi sebelah kanan Gerald agar mudah dirinya menyuapi anak tersebut. "Sini, makan dulu," kata Anna. Gerald mengangguk, ia membuka mulutnya lebar siap menerima suapan dari Anna, "Anak pintar." puji Anna melihat Gerald yang lahap. "Harus makan yang banyak supaya sehat ya sayang!" "Iya Mommy." "Pintar sekali sih, anak siapa?" Anna mengelus puncak kepala Gerald. "Anak Mommy," jawab Gerald dengan lantang. "Bukan anak Daddy?" Gerald diam, kemudian menggeleng, "Sepertinya daddy tidak menyukaiku Mom." Deg! Oh astaga Anna salah bicara rupanya. Lihatlah anak sekecil Gerald bisa berfikir kalau papanya sendiri tidak menyukainya. Apa yang sudah laki-laki gila itu lakukan? Ia menciptakan ingatan buruk yang bisa Gerald bawa sampai nanti ia dewasa! "Kata siapa? Daddy menyayangi Gerald kok," Anna mencoba merengkuh Gerald. Membawa bocah laki-laki itu ke dalam pelukannya. "Daddy hanya sibuk bekerja Sayang, jadi tidak ada waktu bersama dengan Gerald. Tapi sekarang Gerald jangan sedih, kan ada Mommy." Anna mengerlingkan matanya sebelah. "Iya Mom. Gerald sayang Mommy." "Mom juga sangat sayang Gerald." Anna terdiam. Ada banyak hal yang belum Anna ketahui tentang Jeremy. Di mana ibu kandung Gerald dan alasan kenapa pria itu dengan tega mengurung Gerald di kamar sesempit itu. Melihat gelas berisi air putih, Anna pun menyodorkannya pada sang anak sambung. "Minum dulu, nasinya sudah habis. Apa Gerald masih lapar?" Gerald menggeleng, "Sudah kenyang Mom." "Oke. Setelah ini Gerald mandi ya, Mommy mandikan," "Baik Mommy." Tak terasa, gari sudah semakin malam, dan Anna masih belum melihat batang hidung Jeremy. Laki-laki gila kerja itu tak ingat waktu, tapi apa peduli Anna? Lebih baik ia menghabiskan waktu bersama Gerald. Rose sendiri mengatakan ini pertama kalinya ia melihat Gerald bahagia, tertawa riang dan berlari ke sana kemari seperti anak kecil pada umumnya. Anna juga bisa merasakan aura Gerald yang berbeda saat pertama ia melihatnya dengan sekarang, sangat jauh berbeda. "Gerald, sini makan dulu Sayang," panggil Anna. Gerald berlari ke arahnya. Anna menggendong dan mendudukkan Gerald di salah satu kursi meja makan. Saat ia hendak menyuapi Gerald, suara mobil Jeremy terdengar. "Mommy apakah itu Daddy?" Tanya Gerald dengan wajah yang ketakutan. Anna mengangguk, "Tenanglah Sayang. Tidak ada apa-apa, ada Mommy di sini bersama Gerald." Hati Gerald menghangat, baru pertama kalinya ada sosok yang membelanya. Ia merasa aman bersama Anna, mungkin Anna adalah malaikat baik yang Tuhan berikan untuk menolong dari kesendiriannya selama ini. Saat pria itu masuk ke dalam mansion miliknya, Jeremy tampak terkejut melihat pemadangan dua orang di depannya. Namun beberapa detik berikutnya ia kembali memasang wajah dingin yang membuat Anna ingin menamparnya. Anna menatap Jeremy dengan tatapan seringai. "Siapa yang menyuruh dia ada di sini?" tanya Jeremy dingin. Anna mengerti siapa yang dimaksud dengan pria tersebut. Mendengar itu, Gerald beringsut dari kursi lalu memeluk Anna, seakan ia membutuhkan perlindungan. Oh Gerald yang malang. "Aku, kenapa?" tantang Anna tanpa merasa takut dengan pria bertubuh tegap di depannya. "Berani-beraninya kau mengajak dia hah?" Kilatan kemarahan terpancar dari binar milik Jeremy, entah kenapa ia terlihat sangat marah hanya karena perihal Gerald yang makan di meja makan. Anna mencoba untuk tidak terpancing, "Ya apa salahnya. Sekarang dia juga anakku kan? Jadi kalau kau tak mau di sini, terserah kau saja. Tapi aku mau bersama Gerald." Karena tidak ingin melihat Gerald semakin takut dengan kemarahan Jeremy, Anna mengajak Gerald untuk ke kamarnya saja, "Gerald kita makan di kamar mommy saja ya, mendadak aura di sini jadi panas." ujar Anna dengan menyindir Jeremy. Anna cepat-cepat menggendong Gerald sambil membawa makanan Gerald untuk ia bawa ke dalam kamarnya. Meninggalkan Jeremy yang masih berkobar emosi. Di sisi lain, semua pelayan hanya diam melihat tuannya marah, hal ini sudah biasa mereka lihat. Tetapi ada yang membuat mereka sedikit kaget dan terheran-heran, karena baru kali ini ada seseorang yang berani menjawab Jeremy selain Robert. Anna termasuk orang pertama yang tidak takut dengan aura jahat Jeremy! "Dasar wanita sialan!" Jeremy membanting tas kantor miliknya. Ditatapnya Anna yang menjauh dengan "putranya" itu."Cih aku saja jijik melihat wajahmu," batin Jeremy ,namun ia tak langsung menangkis wanita itu yang kini menggerayai wajahnya. Jeremy hanya ingin tau seberapa berani ia kepadanya, dan lihat saja apa yang akan Jeremy lakukan. "Oh ya, dengar-dengar kau sudah menikah? Bagaimana dengan istri barumu? Aku tebak kamu tidak bahagia kan bersamanya? Kamu tidak merasa puas dengannya 'kan?" Ia terus mengoceh, sedangkan Jeremy mencoba meredam emosinya sebelum menghempaskan wanita itu dari hadapannya. "Di sini panas, apakah ac-nya rusak? Boleh tidak jika aku membuka kemeja saja, aku sangat gerah Jer," Tanpa rasa malu di hadapan Jermey ia membuka kemejanya hingga menyisahkan bra berwarna merah menyala dengan bawahannya yang masih lengkap. "Nah begini lebih baik." Meski disuguhkan tubuh Maureen, Jeremy sama sekali tidak terangsang. Yang ada di kepalanya hanya bentuk tubuh Anna, bahkan ia terus membandingkan tubuh Maureen dengan body sexy Anna. Maureen semakin berani, sekarang wanita itu d
Jeremy meringis kecil mengingat apa yang Frans katakan tadi. Ia sendiri bingung antara, apakah dirinya benar menyukai Anna atau tidak, kebimbangan itu membuat kepalanya pusing sendiri. "Kau bodoh atau bagaimana sih Jer?" tanya Frans yang tidak percaya bila Jeremy masih bimbang dengan perasaannya. Jeremy menggeleng polos, seperti anak anjing yang baru melihat dunia. Brak! Reflek pria itu menggebrak kuat mejanya, "Sudah kupastikan, bahwa kau bodoh!" "Sialan! Aku datang ke mari memintamu pendapat, aku tidak tau dengan diriku sendiri," "Shit!" Frans memijat pelan keningnya. Heran dengan kebodohan Jeremy, pantas saja ia selalu dipermainkan oleh wanita. "Menurutmu kau bagaimana? Kau merasa aneh tidak dengan sikapmu?" "Entahlah," jawabnya yang mengundang Frans ingin memukul wajahnya. "Oh bagaimana kalau aku memukul kepalamu di dinding agar sedikit lebih mudah mencerna?" "Boleh, asalkan aku dulu yang melemparmu dari lantai dua belas!" "Ya sudah fikir saja sendiri, bagaiman
Tidak segampang itu ternyata menahan diri untuk tidak berbicara dengan Anna, ia akui dirinya mulai ketergantungan oleh sosok Anna. Seperti barang haram, Anna bisa membuat Jeremy candu semudah itu. Ia buru-buru keluar dan pergi ke kamar anaknya, dengan sangat pelan pria itu membuka kamarnya. Tiba-tiba Jeremy terdiam, ia melihat sang istri tidur memeluk Gerald. Sungguh pemandangan yang cukup membuat pria berdarah diringin itu menghangat, sedikit demi sedikit bongkahan es pada hatinya meleleh. Cinta yang Anna berikan sangat lah tulus, wanita itu yang membuat kehidupannya yang semula gelap menjadi terang. Apalagi Gerald, ia terurus dengan sangat baik. Bolehkah jika sekarang Jeremy benar-benar takut kehilangannya? Wanita yang tidak gila dengan harta, wanita yang sederhana dengan penampilannya, wanita yang sangat sopan dengan tutur bahasanya, wanita yang penuh cinta setiap harinya, relakah bila wanita sesempurna itu hilang dari kehidupannya? Jeremy berjalan mendekat lalu mencium k
Anna melihat bibir Jeremy yang mengerucut kesal, "Kau marah?" goda Anna seraya mencolek dagu suaminya. Jeremy melirik sebentar lalu balik membelakangi Anna. Mereka baru saja sampai, tadi tanpa sepengetahuan Anna suaminya itu menjemputnya di sebuah restoran saat bersama Gisela tadi. Setelah mengurus berkas Gerald, Anna dan Gisela memutuskan untuk mampir makan siang di restauran jepang milik teman kuliahnya dulu, di salah satu mall yang kebetulan mereka datangi. Menurut rumor yang beredar saat mereka masih duduk di bangku perkuliahan, pemilik restaurant tersebut yang bernama Tama ini menyukai Anna, tetapi Anna tidak tau itu benar atau tidak. Dan tadi saat Anna berada di restaurant Tama, tiba-tiba Jeremy menyusulnya. Suaminya itu merasa kesal sebab tatapan Tama yang selalu mengawasi Anna. Jeremy melihat secara langsung kala Tama mencuri-curi pandang kepada sang istri. Ia tau itu bukan tatapan biasa, entah Jeremy sedang cemburu atau tidak yang pasti ia tidak suka dengan tatapan
"Kenapa Jer?" sahut Anna, namun ia tak menoleh sedikit pun, fokusnya masih pada kembang api yang tengah bersautan di atas sana. "Oh Anna, aku sedang berbicara kepadamu sekarang. Persetan dengan kembang api itu, aku bisa membelikanmu tiga kali lipat nanti, tapi kali ini lihatlah aku," kata Jeremy merengek. Anna langsung menoleh, menangkup pipi pria dihadapannya. Jangan lupakan tinggi Jeremy yang lebih dari Anna, membuat wanita itu harus menjinjit terlebih dahulu. Membutuhkan effort yang cukup lumayan. "Kenapa sayang?" Kali ini bukan pipi Anna yang memerah, melainkan pipi Jeremy. Kata sayang dari mulut Anna itu adalah sebuah hal keramat yang menjadi candu untuk Jeremy. Mulutnya seakan membisu terbius tatapan Anna yang memabukkan. Tanpa basa-basi ia mengeluarkan sebuah kotak beludru dari saku coatnya. Anna yang awalnya tersenyum manis berubah bingung, ia mengendurkan tangannya yang berada di kedua pipi Jeremy. "Jer ...." cicitnya. Jeremy membuka kotak beludru tersebut lalu m
"Kenapa aku selalu suka melihatmu tersipu seperti ini Ann?" Ah sial! Anna tidak bisa mengontrol hatinya, padahal sejak tadi ia berusaha untuk biasa saja namun Jeremy terus-terus menggombalinya. "Jer sudahlah lebih baik kau makan saja, kau tidak bisa melihat wajahku memerah karena ulahmu hah?" Anna tidak peduli lebih baik ia berbicara jujur saja. "Astaga, kau bisa jujur juga ternyata Ann," ungkap Jeremy. "Sudahlah, makanan di depanku jauh lebih lezat keliatannya," "Baiklah, mari makan Ann," "Tapi ini tidak terlalu banyak Jer?" kata Anna melihat berbagai macam menu tersaji di depannya. Jeremy dengan santai mengambil sushi lalu melahapnya, dan Anna menyadari cara makan Jeremy yang begitu rapi meski menggunakan sumpit. Mungkin seorang pembisnis seperti Jeremy dituntut untuk makan dengan tata cara tertentu karena mereka pasti sering menghadiri rapat-rapat tertentu sehingga dituntut untuk terus elegan. Tidak seperti Anna yang terserah saja bagaimana, asal sopan. "Tidak, aku se