Share

Bab ~ 5

“Tapi malam ini Mama harus istirahat dulu. Arsen tidak mengizinkan Mama untuk ke mana-mana malam ini.”

Mama Lena mendengus sebal. “Hissh, tuh,kan! Kamu pintar sekali membohongi Mama!”

Arsenio menghela nafas. “Bukan begitu, Mama. Mama kan baru saja pingsan. Lebih baik malam ini pulihkan dulu tenaga Mama, ya? lagi pula, Arsen harus bicara dulu dengan Zakia.”

Semula Mama Lena kecewa, tapi kalau dipikir-pikir ada benarnya juga ucapan anaknya.

“Baiklah. Mama akan istirahat malam ini.”

Arsenio tersenyum. “Baiklah, Ma. Arsen pergi dulu ke kamar, ya?”

Mama Lena hanya mengangguk. Arsenio segera bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kamar Mamanya dan menuju kamarnya. Setelah Arsenio pergi, Mama Lena langsung mengirim pesan pada Danika.

Setelah membersihkan tubuhnya yang lengket, Arsenio meneguk kopi hitam yang sudah disediakan oleh pelayan di rumahnya. Sambil mengecek ponselnya, dia menggerutu.

“Sudah jam segini, kenapa Zakia belum pulang juga? Sebenarnya pekerjaan apa yang dia lakukan di kantornya?”

1 jam berlalu, Zakia akhirnya muncul dari balik pintu dengan wajah yang lelah sekali. Arsenio langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri istrinya itu. Dia tersenyum pada Zakia, tapi senyumnya langsung redup ketika tak sengaja melihat rambut Zakia yang sedikit berantakan.

“Za, kenapa dengan rambutmu?”

“Hah?” Zakia sedikit gelagapan merapikan rambutnya. “Kepalaku tadi pusing. Jadi aku pijit-pijit kepala dan lupa merapikan rambutnya kembali.”

Arsenio hanya ber-oh saja. Di dekatinya Zakia yang hendak membuka baju kerjanya, dan memeluk wanita itu dari belakang. “Oh iya, nanti malam aku mau ngajakin kamu dinner di restoran favorit kita.”

Zakia membalikkan badannya dan mengalungkan tangannya pada leher Arsenio. “Maaf ya, sayang. Aku lelah sekali hari ini. Pekerjaan di kantor begitu banyak. Kita lakukan lain kali saja, ya?”

Zakia mengecup kecil bibir Arsenio dan pergi ke kamar mandi. Menyisakan Arsenio yang terbengong. Lagi-lagi dia hanya bisa menghela nafas.

................******............

...

“Woi, Ren! Ambil nih berkas! Pusing gue ngerjainnya!”

“Lo tuh asik pusiiiing saja. Lama-lama gue bosan dengar lagu lama lo itu!”

Danika hanya tertawa cekikikan. Dia akui, kalau dalam mengerjakan pekerjaan yang satu ini, Reni lebih jago dari dirinya.

“Hei, cin!”

Danika dan Reni mendongakkan kepalanya pada sumber suara. Mereka saling tatap ketika melihat lelaki yang sedikit melambai tersenyum pada mereka.

“Adul!” panggil mereka secara bersamaan.

“Eh! Sstt..sstt. jangan panggil Adul! Panggil Dila!” ucapnya dengan raut wajah tak suka.

“Iihh, mulai sinting nih orang! Lo dulu kekar dan gagah! Kenapa sekarang jadi begini?” celoteh Danika yang disambut tawa Reni.

“Ya, terserah gue, dong! Gimana? Sudah selesai pekerjaan kalian?” tanya Adul dengan sok profesional. Matanya melongo pada berkas yang ada di meja Reni.

Adul ini adalah teman sekolah Danika dan Reni. Sebelumnya dia bekerja di salah satu anak perusahaan Arsenio. Walau tingkah dan gayanya begitu, tapi kinerja otak dan keahliannya jangan di ragukan lagi. Jauh di atas Danika dan Reni.

“Belum! Eh, kenapa lo bisa ada di sini? Baru masuk lo?”

“Eh, sorry cin. Gue gantiin kepala staf kalian yang sedang cuti beranak!”

“Apa?” Danika dan Reni sama-sama terkejut.

“Jangan kaget, cin! Kalian bisa lah dapat sedikit kelonggaran sama gue, hihi.” Adul tertawa dengan menutup mulutnya. Membuat Danika dan Reni ilfil.

Tiba-tiba Danika melirik pada kuku Adul yang terawat. Waduh! Soal penampilan, dia yang sebagai wanita tulen saja kalah.

“Dul, kuku lo kok bisa warna merah gitu. Di apain?”

Adul geleng-geleng kepala. “Aduh, cin. Ini namanya di pakein kutek. Eh, hari ini gajian, kan? Kita pergi ke salon, yuk?”

Danika dan Reni saling pandang. “Salon?”

Setelah pulang kerja, mereka bertiga benar-benar pergi ke salon. Baru saja mereka takjub diberi tumpangan mobilnya si Adul ke salon, dan sekarang lebih takjub lagi setelah tahu kalau salon yang mereka datangi adalah milik Adul.

“Ck..ck.. sekaya apa lo, Dul? Gila! Sampai punya salon segala!” Reni terkagum-kagum pada Adul yang berdiri dengan sok anggun. Walau berbalut setelan jas, tetap saja tidak bisa dibohongi kalau gayanya begitu.

“Masuklah woi. Tenang saja! Pekerja gue ramah-ramah dan lembut orangnya.”

“Tapi Lo beneran sudah bilang kan kalau kita bayarnya free di dalam? Nanti diminta tagihan lagi! Lo kan tahu, gue sama Reni itu bayarannya banyak kalau sudah di awal bulan begini!”

“Ck, tenang saja! Sudah ya? Gue ada urusan penting sekarang. Bye!” Adul langsung meluncur pergi dengan mobilnya.

“Wah, beruntung juga kita punya teman kayak dia ya, Ka? Bisa terus-terusan kita minta gratisan sama dia, hahaha.”

“Haha, iya, Ren! Setuju gue sama lo!”

Mereka berdua lalu masuk. Gila! Mereka langsung disambut sama pegawai salon yang memang ramah. Mereka di kasih pilihan mau melakukan treatment apa di salon si Adul itu.

“Pijit enak kali ya, Ren? Sudah lama badan gue tidak di pijit!”

“Oh, benar juga! Gue juga ikutan pijit ah, Ka!”

“Mbak, ini ruangannya masing-masing atau gimana?” tanya Danika pada pegawai salonnya.

“Samain saja deh ruangan kita!” Reni merasa kurang nyaman kalau dia di ruangan sendirian.

“Oke, deh! Kami satu ruangan saja, Mbak.”

Pegawai itu mengangguk dan tersenyum ramah. Kemudian mengantar mereka menuju ruangan yang paling nyaman pokoknya.

Mereka lalu diberikan baju khusus pijat. Setelah selesai berganti baju, Danika dan Reni berbaring di masing-masing ranjang. Dua pegawai si Adul pun segera memulai treatment-treatment yang membuat mata mereka ingin terpejam.

‘Gila! Enak banget nih pijitan mereka,’ gumam Danika dalam hati. Dia saja sampai tidak sadar ketiduran dan mengeluarkan air liur.

“Ya ampun, Mbak!” tiba-tiba saja pegawai salon itu memekik. Danika gelagapan dan langsung duduk.

“Ada apa, Mbak?”

“Astagoi, Mbak!”

Danika mengernyit. “Astagoi?”

“Iya, Mbak! Astagoi!” ucap pegawai salon itu lagi sambil melirik-lirik sesuatu yang ada di tubuh Danika.

Danika menepuk keningnya ketika baru tahu dan paham apa yang di maksud Mbak pegawai itu. “Astaga, Mbak! Astaga. Bukan astagoi! Huufft, bikin kaget saja Mbak ini.”

“Iya, Mbak maaf! Saya selalu salah menyebut kata-kata itu, hehe.”

Danika melirik sekilas Reni yang tengah di pijat. Reni bahkan tidak bangun, padahal suara dia dan Mbak pegawai ini lumayan kuat.

“Memangnya ada apa Mbak? Kok tiba-tiba bilang astaga sama saya?”

“Mbak apa tidak risih kalau punya ‘hutan’ yang begitu lebat?”

Danika mengernyit. “Hah? Hutan? Hutan apa? Saya mana punya hutan!”

“Ini ya? Saya kasih clue..,”

“Mbak, kenapa malah mau main tebak-tebakan sih sama saya?” Danika sedikit mulai frustasi.

“Pokoknya Mbak harus fokus dengan clue yang saya kasih!”

Danika menghela nafas dan menepuk keningnya “Astaga, Mbak!”

“Hutan ini ibaratkan sebuah bulu. Bulu ini tumbuh di bawah lengan. Nah, apa nama sesuatu yang di bawah lengan itu?”

Danika menggaruk-garuk kepala. “Bulu yang tumbuh di bawah lengan? Itu bukannya bulu ketiak, ya?”

“Nah, Pandai!” prok-prok. Mbak itu bertepuk tangan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Danika meringis menyaksikan ini semua.

“Kita waxing ya bulu ketiaknya, Mbak?”

“Aduh! Itu clue apa lagi, Mbak?”

“Ya ampun, Nika! Di waxing itu dicabut bulunya. Masa lo gitu saja tidak tahu, sih!” Reni menyahut degan suara khas orang bangun tidur.

“Huuss, berisik! Gue tuh tidak tahu hal begituan!”

‘Nih anak! Perasaan tadi dia ngorok. Tahu-tahu sudah ikut nimbrung saja!’

“Mbak, waxing saja, Mbak! Biar estetik tuh ketiaknya!” ucap Reni lagi.

‘Mampus deh gue! Apa lagi itu estetik-estetik?’

Mbak pegawai itu mulai mengoleskan sesuatu di ketiak Danika yang sudah pasrah. Dan dengan tiba-tiba menariknya dengan begitu saja, membuat Danika menjerit.

“Mbak, apa-apaan ini? Mbak mau buat ketiak saya botak ya?”

“Kan, memang itu tujuannya, Mbak” ucap Mbak pegawai itu santai dan tersenyum.

Danika meringis. Mau bagaimana juga, waxing itu meninggalkan rasa perih pada ketiaknya.

‘Hah, bulu ketiakku yang berharga’

........................*****........................

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status