Share

BAB 3

‘Selama ini kamu cuma jadi benalu!’ 

Ucapan ibu mertua masih terngiang-ngiang di kepala Dita meski sudah beberapa waktu ia pindah ke sebuah kontrakan di kampung sebelah. Tidak hanya memergoki suaminya berselingkuh, ia juga diusir dari rumah dengan begitu kejam. 

Tapi Dita tidak ingin berlarut dalam kesedihan lebih lama. 

Dengan uang tabungan yang tidak seberapa, Dita mencoba mencari peruntungannya sebagai seorang reseller untuk bertahan hidup.

Namun, meski Dita sudah pindah ke kampung sebelah, cibiran soal dirinya yang diusir mertua karena dicap sebagai istri yang nakal pun tetap berembus ke kampung ini. 

Tiba-tiba, suara pintu diketuk dengan kasar terdengar jelas dari luar, membuat lamunan Dita langsung buyar.

“Sebentar!” seru Dita sambil berlari kecil untuk membuka pintu karena siapapun yang mengetuknya, tampak sangat tidak sabaran.

“Heh! Dasar perempuan murahan!” 

Dita langsung tersentak mundur mendengar umpatan itu saat dirinya baru saja membuka pintu. 

“Kamu goda suami saya ya?! Suami saya sering liatin rumah kamu dan berhenti lama di depan pintu ini!” Wanita bertubuh gemuk dengan daster kembang itu mengomeli Dita tanpa jeda. 

Dita terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tatapan kebingungan terpantul di matanya. 

"Maaf, tapi saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya tinggal di sini aja, Bu." Dita mencoba untuk membela diri.

Namun, ibu-ibu itu tidak mendengarkan penjelasan Dita. Dengan penuh emosi, dia terus saja mengoceh. "Jangan berpura-pura nggak tahu! Wajahmu itu memang dibuat untuk merayu suami orang! Kamu pikir ini lucu, ya?!"

Dita mencoba menahan air mata yang akan tumpah. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak adil. 

"Tapi saya benar-benar tidak tahu apa pun tentang suami Ibu!" seru Dita dengan suara lantang, mencoba membela diri. 

Perdebatan itu mau tidak mau menarik perhatian tetangga lainnya.

"Saya sudah tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya," kata Dita, mencoba menenangkan situasi.

Namun, kata-kata Dita tampaknya hanya memperkeruh suasana. Ibu-ibu itu semakin berapi-api, dan tetangga lainnya malah ikut mendekat. 

"Jangan berpura-pura polos, Dita! Kami punya bukti bahwa kamu memang orang seperti itu! Dari mana kamu bisa punya duit, kalau bukan karena kamu seorang perempuan malam, hah?!"

Dita merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu apa bukti yang dimaksud, namun keadaan semakin sulit untuk dia hadapi. 

"Saya bersumpah, saya tidak pernah menggoda suami orang lain! Ini semua bohong!" ucap Dita dengan nada keras, mencoba menunjukkan ketegasannya.

Namun, tidak ada yang mau mendengar keputusasaannya. Suasana semakin ricuh karena warga yang tadinya hanya menonton, malah ikut memanaskan suasana. 

"Dia menggoda suami-suami kita! Suami saya jarang pulang, dan saya yakin ini ada hubungannya dengan perempuan tidak tahu diri ini!" ucap ibu-ibu itu lagi, entah sudah berapa kali mengatakan kalimat yang sama, seolah tidak ada bosannya. 

Salah seorang tetangga, wanita setengah baya dengan rambut pendek berwarna hitam, berkomentar, "Aneh juga dia tidak terlihat bekerja, tapi selalu punya uang. Pasti dia mendapatkannya dengan menjadi simpanan laki orang!"

Tuduhan tersebut menghantam Dita begitu keras sehingga membuatnya tak sanggup menahan air mata. Dita merasa tak bisa percaya tuduhan itu semakin menyakitkan. 

"Saya tidak pernah menjadi simpanan siapa pun! Saya punya pekerjaan sendiri dan uang saya halal!" teriak Dita, tetapi suaranya lemah terhanyut oleh tuduhan dan fitnah yang terus menderu.

Keributan itu menarik perhatian seseorang yang melintas. Pria itu, seorang pemuda berpakaian santai dengan tas ransel melekat erat di pundaknya, berhenti sejenak melihat keributan di depan kontrakan Dita. Ekspresi kebingungan melintas di wajahnya saat ia mendekati kerumunan. 

"Ada apa ini?"

Salah satu ibu-ibu berdaster menjawab dengan wajah tajam. "Ini, si janda murahan ini, menggoda suami-suami kami!"

Laki-laki asing itu menatap Dita, yang terlihat sangat kacau. Dita hanya bisa tertunduk karena sudah tidak bisa lagi berkata-kata.

"Bukankah seharusnya kita mencari solusi yang lebih baik daripada saling tuduh seperti ini? Mengapa tidak kita bicarakan dengan ketua RT untuk menyelesaikan masalah ini?" 

Wajah beberapa ibu-ibu yang terlibat dalam keributan itu sedikit mereda mendengar saran si laki-laki asing.  

“Bagaimana kalau kita semua pergi ke rumah ketua RT sekarang? Kita bisa memberikan klarifikasi dan mencari solusi yang adil untuk semua pihak. Saya akan mengantar,” katanya sambil mengamati satu per satu orang di sana yang tampak menimbang saran darinya. “Dan perkenalkan, nama saya Dika.”

Dita, yang masih mencoba menyembunyikan kesedihan di balik sorot mata, menatap Dika dengan ungkapan terima kasih. Ia mengangguk setuju, merasa lega bahwa ada seseorang yang bersedia membantu menyelamatkan namanya dari tuduhan yang tak benar.

Bersama-sama, mereka meninggalkan kompleks kontrakan menuju rumah ketua RT. 

Berkumpul di ruang tamu rumah ketua RT, suasana tegang masih terasa memenuhi udara. Dita, duduk di antara Dika yang membantunya dan ketua RT yang tampak serius, mencoba menjelaskan situasinya dengan tegas dan jelas.

Ibu-ibu berdaster yang menuduh Dita masih bersikukuh dengan argumennya, meski tidak memiliki bukti yang mendukung. 

"Tanpa bukti yang jelas, kita tidak bisa mengambil tindakan apa pun, Dita pun bukan seorang janda. Dia masih memiliki suami, tapi statusnya masih menggantung," ujar ketua RT dengan suara tenang.

“Saya kenal sama Bu Salim mertuanya Dita ini! Dia mandul dan wanita liar! Bu Salim sendiri yang cerita sama saya! Semua ibu-ibu juga tahu kan?” 

Dengan suara gemetar karena emosi yang terpendam, Dita menjelaskan pekerjaannya sebagai reseller kecil yang memungkinkannya untuk bekerja di rumah dan menahan amarah karena fitnahan mertuanya.

"Saya hanya membuka laptop dan mengerjakan pesanan dari pembeli. Saya tak perlu keluar rumah. Meskipun tak banyak, tapi saya tetap memiliki penghasilan," ucap Dita, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak bergantung pada siapa pun, apalagi menjadi simpanan.

“Saya sarankan untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik," saran ketua RT. 

Ketua RT kemudian meminta ibu-ibu berdaster itu untuk memberikan permintaan maaf kepada Dita. Namun, wajah mereka tetap kecut, tak bersedia mengakui kesalahannya. Ibu-ibu itu meninggalkan rumah ketua RT dengan wajah kesal dan napas yang masih terengah-engah.

“Terima kasih banyak, Mas Dika, sudah membantu saya,” kata Dita saat mereka sudah keluar dari rumah ketua RT.

Meskipun masalah sudah selesai, tapi Dita masih merasa tidak tenang. 

Dan hal itu tidak luput dari perhatian Dika yang sedari tadi melihat bagaimana Dita tampak gelisah dan tidak nyaman ketika ibu-ibu itu menyudutkannya.

“Kamu baik-baik saja?” 

Dita mendongak, menatap pria yang baru pertama kali dilihatnya di lingkungan ini dengan ekspresi terkejut.

Satu pertanyaan sederhana itu membuat hati Dita terasa ngilu. Setelah semua masalah yang ia hadapi, tidak pernah ada yang bertanya apakah ia baik-baik saja. 

Hal itu membuat perasaan Dita tidak karuan. Tidak ingin mempermalukan diri sendiri, Dita hanya mengangguk dan langsung pamit sebelum air matanya tumpah di hadapan pria asing ini. 

Dita tiba di rumah dengan napas terengah. Ia terduduk di lantai setelah menutup pintu. 

Tangisnya tumpah. Rasanya, Dita tidak sanggup lagi menjalani kehidupan yang begitu rumit.

Di tengah kekalutan itu, Dita mulai membayangkan hidup di kota besar yang sibuk, tempat di mana ia bisa berusaha membangun hidup baru tanpa bayang-bayang tuduhan yang menyakitkan. 

“Tapi duit dari mana …” lirih Dita di sela isak tangisnya. 

Dita merenung dalam keheningan, merasakan getaran dari keputusan yang harus diambil. Haruskah dia pergi? 

Tiba-tiba suara pintu yang kembali diketuk dengan cepat, kembali terdengar. 

“Tuhan, apa lagi ini…”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status