Inggit berdandan secantik mungkin, mini dress model rok A-line berwarna nude yang pas di tubuhnya membuat keseluruhan pada diri Inggit sangat menarik. Tak lupa ia poleskan sedikit lipmatte warna senada.
Untuk acara diner malam ini, sengaja sebelumnya ia pergi ke salon untuk menata dan mengecat rambutnya, agar lebih fresh dilihat.
“Cantik!”
Setelah memastikan semua oke, segera inggit keluar dari rumah dan masuk ke dalam ojek mobil online yang sudah menunggu di depan pagar.
“Sesuai aplikasi ya, Mbak!”
“Hmm... “ Inggit fokus menatap jalanan, ia malas ramah pada orang yang baru saja bertemu.
Suasana malam ini lumayan ramai, sabtu malam menjadi hari yang paling di tunggu. Inggit melihat sebuah motor menyalip mobil yang ia naiki dengan kecepatan sedang, sepertinya mengejar waktu, karena beberapa kali pengendara itu melihat jam di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat saat masih SMA, di mana ia sering jalan kaki, karena jarang memiliki uang hanya untuk sekedar naik angkot ke sekolah.
Ibu Aisyah, pemilik panti hanya memberikan uang 50 ribu untuk satu minggu, itu sudah termasuk untuk jajan dan membeli kebutuhan Inggit lainnya.
Inggit selalu iri jika ada salah satu teman yang memamerkan sesuatu, misalnya tas, jam tangan, atau handphone baru. Inggit tidak bisa berganti barang karena alasan bosan seperti mereka, ia harus benar-benar irit agar bisa membeli apa yang ia inginkan.
Handphone pertama Inggit adalah pemberian dari Leon, teman sebangkunya yang kasihan melihat Inggit selalu ketinggalan informasi kelas. Leon tahu siapa Inggit dan bagaimana keadaannya, karena itulah ia berinisiatif memberikan handphone bekas miliknya. Untung saja Leon adalah anak orang kaya, handphone baru bisa dengan mudah ia membeli kembali.
Persahabatan Inggit dan Leon terkenal seantero sekolah, Leon adalah maskot SMA Kusuma Bangsa. Banyak yang iri melihat persahabatan mereka, salah satunya Aluna.
“Sudah sampai, Mbak!”
Ucapan sopir membuyarkan lamunan Inggit akan masa lalunya.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Inggit keluar dari mobil, lalu berjalan menuju restoran yang Dirga maksud.
Langkah Inggit terlihat anggun, ia sengaja mengayunkan kaki pelan seperti model, setengah menyentak kakinya. Ia senang ketika banyak mata yang menatapnya kagum, bahkan salah seorang pelayan menabrak meja karena terlalu fokus menatap Inggit.
Dirga melambaikan tangan saat melihat Inggit yang menoleh ke sana sini mencari dirinya.
Inggit pura-pura cuek saat bertemu Dirga, ia tidak mau Dirga senang melihatnya mudah luluh hanya karena makanan dan uang yang tadi dikirimkan.
“Halo, Sayang. Om senang akhirnya kamu mau bertemu om, setelah kita bertengkar untuk kesekian kalinya.” Dirga terkekeh, ia berdiri dan membantu Inggit menarik kursinya.
“Terima kasih,” ucap Inggit cuek.
“Kamu kenapa? Tidak senang dengan pemberianku?” tanya Dirga.
“Tidak apa-apa,” jawab Inggit cuek lagi. Dalam hati ia puas melihat wajah Dirga yang kebingungan melihat sikapnya.
Dirga terdiam, ia bingung berkata apa lagi. “ Kamu mau makan apa? Di sini ada steak kesukaanmu, saus terbaru mereka sangat enak, mau coba?” Dirga menawarkan menu terbaru pada Inggit, dan harus menelan kecewa karena Inggit lebih memilih menu yang lain.
Dirga menghela napas, “Sebenarnya apa maumu? Jujur om capek jika hubungan kita terus seperti ini.”
Inggit mengernyit, alarm di kepala Inggit mulai berbunyi. Jangan sampai ia tergoda dengan ajakan Dirga untuk menikah.
“Maksud om apa?” tanya Inggit pelan.
“Om lelah, Nggit, om ingin kita menikah, dan lepas dari dosa. Hanya kamu yang om cintai, kenapa selalu menolak? Hmm?” tanya Dirga, ia sedikit memelankan suaranya.
“Inggit gak bisa, Om.” Mata Inggit berkaca-kaca, dirinya sungguh dilema dengan keadaannya sekarang. Di satu sisi ia mencintai Dirga, sisi lainnya ada penolakan dalam dirinya untuk melanjutkan ke jenjang lebih serius.
“Kenapa? Beri tahu om apa alasannya?” tanya Dirga.
Sebelum Inggit membuka mulut, pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.
“Makanlah, setelah itu baru kita bicara.”
Seperti kerbau di cucuk hidungnya, Inggit menuruti perintah Dirga.
Sesekali Dirga melirik Inggit, wajahnya yang ayu telah membutakan matanya. Kulit putih bersih, hidung yang mancung, semakin cantik setelah Inggit poles dengan make up yang natural, sempurna. Inilah karya Tuhan yang paling sempurna di mata Dirga, pahatan di wajahnya sangat pas dan sedap dipandang.
Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang melihat mereka dengan geram, ia mengepalkan jarinya sampai buku-buku tangannya memutih. Ingin rasanya menghajar saat itu juga, tetapi ia sadar di mana saat ini ia berada. Dengan geram ia pergi meninggalkan tempatnya setelah melihat Dirga mengusap pipi Inggit.
“Katakan, apa alasanmu menolak menikah dengan om?”
“Kenapa om selalu mengatakan itu?” tanya Inggit balik.
“Mengatakan apa?” tanya Dirga tidak mengerti.
“Selalu mengajak untuk menikah, kenapa tidak seperti ini saja?” tanya Inggit sedikit sendu.
“Nggit, umur om sudah banyak, om tidak mau berkubang di dalam dosa, om ingin ada yang menemani, dan yang om inginkan adalah kamu, Nggit.”
Dirga meraih jemari Inggit di atas meja, sedikit ia meremas dan menyunggingkan senyum, meyakinkan Inggit bahwa semua baik-baik saja.
“Inggit takut, Om.”
“Takut kenapa? Katakan alasannya, siapa tahu om bisa bantu kamu.”
“Inggit trauma,” ucap Inggit akhirnya.
Dahi Dirga mengernyit, selama ini ke mana saja dirinya? Kenapa tidak tahu masalah ini?
“Trauma?” tanya Dirga.
“Iya.”
Dirga melepas genggamannya, lalu mengusap wajahnya kasar. Ini di luar pikirannya, Dirga kira Inggit tidak mau menikah karena belum siap atau karena pemberiannya selama ini kurang, ternyata Inggit memiliki trauma. Kenapa ia baru tahu sekarang?
“Ceritakan!” perintah Dirga tegas.
Keluarlah semua unek-unek Inggit yang selama ini ia pendam sendirian. Tentang bapaknya yang pemabuk dan kasar, ibunya yang hanya diam dan tidak bisa membantah. Bahkan sampai akhirnya dirinya berada di panti asuhan dengan segala keterbatasan.
Meluncur pula dari mulut Inggit bahwa ia adalah korban pemerkosaan oleh kepala sekolahnya sendiri, yang menjadikan dirinya seperti sekarang. Mencari uang dari belaian laki-laki, terutama seperti Dirga. Pria berumur yang memiliki banyak uang dan duda.
Inggit tidak siap dilabrak istri sah, karena itulah ia tidak mau berhubungan dengan laki-laki beristri.
“Maafkan om, Nggit. Om tidak tahu masa lalumu seburuk itu.”
Dirga menggenggam jemari Inggit dan sedikit meremasnya. Ia terenyuh dengan perjuangan Inggit bisa hidup sampai sekarang.
“Tak apa, Inggit ingin om berhenti mengatakan itu, Inggit nyaman kita seperti sekarang, Om.”
“Baiklah, kita jalani saja dulu, akan om buktikan padamu, bahwa pernikahan tidak se-mengerikan seperti itu.”
“Inggit tidak janji bisa menerima om,” sahut Inggit.
Dirga menganggukkan kepala, dalam hati ia bertekad akan menyembuhkan trauma Inggit. Cintanya pada Inggit sudah mendarah daging, tidak bisa diganggu gugat.
---
Aluna mengernyit melihat data diri Dirga yang baru saja Hendra berikan.
“Kamu yakin Pak Dirga mempunyai wanita simpanan?” Tanya Aluna.
“Yakin sekali, Bos. Karena ada beberapa saksi mata yang memberitahu saya tentang hal itu,” jawab Hendra cepat, ia merogoh saku jasnya lalu memberikan beberapa lembar foto, ia serahkan pada Aluna.
“Ini foto Pak Dirga yang sempat diambil diam-diam kemarin.”
“Sepertinya aku kenal dengan perempuan ini.” Aluna mengetuk meja dengan kuku, matanya tak lepas menatap Dirga yang mencium pipi perempuan yang hanya terlihat punggungnya.
“Gak ada yang terlihat dari depan?” tanya Aluna lagi.
“Belum, Bos. Akan saya usahakan lagi.”
“Oke,” jawab Aluna pelan.
“Apa yang akan kita lakukan, Bos?” tanya Hendra.
“Nanti aku pikirkan setelah kamu berhasil mencari tahu wajah perempuan ini.”
“Baik.”
“Oh iya, kamu sudah menemukan data dari perempuan yang kuminta kemarin?” tanya Aluna, sorot matanya tajam pada Hendra.
“Belum, Bos. Maaf, saya kesulitan mencari data perempuan itu.” Hendra terlihat salah tingkah lalu merasa bersalah.
“Goblok! Seharusnya kamu cepat jalan cari perempuan itu! Masak gitu aja lambat banget sih?” hardik Aluna kasar. Ia tidak suka kegagalan dan kelambatan.
“Maaf, Bos. Akan saya cari sekarang.”
Hendra segera keluar dari ruangan Aluna setelah perempuan itu menganggukkan kepala.
Setelah kepergian Hendra, Aluna terdiam. Ia merenung mencoba mencari solusi dari masalahnya.
Pertama ia sudah berjaga-jaga jika data yang bocor itu tersebar, ia tidak mau semua orang tahu kedok perusahaan miliknya itu.
Tiba-tiba suara panggilan dari ponsel Aluna berbunyi, membuyarkan angan-angannya yang sudah melayang ke mana-mana.
“Halo,” sapa Aluna setelah ia menggeser tombol hijau.
“Bagaimana? Kamu sudah dapat penggantinya?” tanya seseorang di seberang sana dengan ketus.
“Maaf, Mami. Aluna belum ada pandangan,” jawab Aluna takut.
“Goblok! Gimana sih kamu? Nyari pengganti aja gak becus, mami gak mau tahu, lusa harus sudah ada, Bos Besar sudah menunggu! Kalau tidak segera menemukan, kamu tahu kan artinya apa?”
“I-iya, Mi. Aluna paham!” jawab Aluna takut-takut.
Panggilan berakhir, Aluna meremas kepalanya dengan gemas. Belum selesai satu masalah, datang lagi masalah baru. Salahnya sendiri dulu pernah masuk ke dalam lembah hitam, ingin keluar sulit sekali.
Aluna tidak menyangka harus secepat ini, ia pikir Mami memberinya keringanan setelah ia berhasil menyogok. Nyatanya tidak semudah itu, Mami masih saja mengejarnya bahkan sampai sekarang.
Tiba-tiba saja ia kepikiran Inggit, teman semasa SMAnya itu, teman yang selalu ia bully karena kepintaran dan tentu saja karena Inggit begitu dekat dengan Leon, pujaannya.
Sebuah ide tercetus di kepalanya, dengan cara ini ia bisa membuat Inggit kembali menderita. Aluna tidak suka Inggit bahagia, entah kenapa sejak dulu ia begitu membenci Inggit.
Brugh!Aluna menabrak seseorang hingga dirinya terjatuh, isi tasnya berhamburan ke lantai. Sebelumnya ia tidak melihat jalan, karena sibuk mencari kunci mobil.“Kalau jalan hati-hati dong!” tegur Aluna dengan kesal pada seseorang yang ia tabrak.“Harusnya kamu yang hati-hati, siapa yang duluan menabrak?” balas seseorang yang ditabrak Aluna.Aluna mendongak menatap seseorang yang ia tabrak, seketika ia membelalak, tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah isi tasnya kembali masuk ke dalam tas, ia berdiri.Entah ini musibah atau keberuntungan untuk dirinya. Dirga! Seseorang yang Aluna tabrak adalah Dirga. Di saat ia bingung mencari cara berdekatan dengan Dirga, kini Tuhan menakdirkan mereka bertemu.Baru saja Aluna bertemu klien di privat room yang disediakan oleh pihak hotel, karena sudah selesai, Aluna berencana langsung kembali ke kantor, ada beberapa hal yang ingin ia pastikan.Dirga melotot melihat siapa yang ia tabrak, Aluna. Pesaing bisnisnya.“Senang bisa bertemu Anda di sini
Aluna berjalan anggun menuju ruangan Dirga, berbeda dengan kemarin, kali ini ia memiliki ide lain, yaitu menghasut Dirga.Aluna tahu perbuatannya salah, tapi rasa cemburu sudah membutakan hati dan pikirannya. Tujuannya kali ini menghancurkan Dirga, dan juga menyakiti hati Inggit.Perusahaan miliknya selama masih aman, ia biarkan berjalan seperti biasa, karena menurutnya, selama terus berada di dekat Dirga, tidak mungkin laki-laki itu tega menghancurkan bisnisnya.Beberapa pasang mata menatap Aluna dengan pandangan kagum, bahkan beberapa mata jelalatan melihat bagian tubuh tertentu miliknya yang sengaja ia pamerkan.Aluna melotot saat salah seorang karyawan yang sengaja menyenggol lengannya. Sedangkan karyawan itu hanya nyengir tidak merasa bersalah.Kini Aluna sudah di depan ruangan Dirga, dengan santai ia membuka tanpa mengetuk pintu. Pemandangan di dalam sana membuat kepala Alu
Ceklek!Mata Inggit terbelalak melihat siapa yang datang ke rumahnya.“Leon... “ Suara Inggit tertahan karena tak percaya melihat sahabatnya yang sudah lama tidak ada kabar, berada di depannya saat ini.Mata Inggit berbinar bahagia, baginya Leon adalah keluarga kedua setelah Bu Aisyah.Tanpa berkata apa pun, Leon merentangkan kedua tangan, wajahnya menyiratkan kerinduan. Senyumnya merekah bahagia. Laki-laki berperawakan tinggi semampai dan berbadan atletis ini terus menampakkan giginya yang berderet rapi.Inggit menutup mulutnya tak percaya, dengan cepat ia masuk ke dalam pelukan Leon,“Aku kangen,” bisik Inggit.Leon mengelus rambut Inggit, kemudian turun mengelus punggungnya.“Aku tahu.”“Ke mana aja, Lo?” tanya Inggit mendongakkan kepala. Mata ted
“Siapa laki-laki itu, Nggit?” tanya Dirga pelan, dari nada suaranya, Dirga sedang menahan emosi.Inggit yang baru saja mandi, terkejut melihat Dirga sudah duduk di atas ranjang kamarnya. Seperti biasa Dirga selalu datang dan masuk begitu saja tanpa kabar dan suara.“Maksud Om yang tadi?” tanya Inggit pura-pura lupa. Dengan cuek ia mengeringkan rambutnya di depan cermin.“Tentu saja, siapa lagi!” balas Dirga kesal.“Oh, dia temenku.”“Bohong! Benar yang dikatakan Aluna?”“Apa?” Inggit mengernyit, apalagi yang dikatakan Aluna pada Dirga?“Kamu masih menjajakan dirimu pada laki-laki lain?” tanya Dirga sarkas.“Jaga mulut om Dirga! Inggit tidak seperti itu, bukankah justru Om yang tidak setia? Sudah memiliki Inggit, tapi masih tergoda dengan Aluna.”Dirga mulai gelisah, ia tidak mengira Inggit berani membalas ucapannya.“Mana mungkin om bisa diam, Nggit. Aluna sangat agresif menggoda,” sanggah Dirga, ia tidak mau serta merta disalahkan. “Om laki-laki normal,” imbuh Dirga.“Itu dia, Inggit
“Mohon perhatiannya, acara akan dimulai. Sebelumnya, mari kita sambut donatur untuk acara hari ini.” Suara pembawa acara menggema memenuhi ruangan. Seketika Inggit menatap podium, ia sangat penasaran Siapakah gerangan yang rela mengeluarkan banyak uang untuk acara reuni ini.“Tepuk tangan yang meriah untuk... Aluna Seza Arlington, alumni IPS 5.”Seketika tubuh Inggit membeku, Aluna? Aluna yang sudah merayu Dirga?Mata Inggit tak lepas dari podium, ia ingin memastikan apakah itu Aluna yang ia kenal atau bukan.Detak jantungnya tak karuan saat melihat sosok Aluna yang ia kenal naik ke atas podium dan memberi sambutan.Kaki Inggit gemetaran, seolah kakinya tak lagi berpijak, tubuhnya oleng. Untung saja Leon sigap menyangga tubuhnya.“Ada apa, Nggit?” tanya Leon panik. Ia membimbing Inggit untuk duduk di kursi yang berada di belakang.“Dia... Aluna?” tanya Inggit terbata, bukan bertanya, ia memastikan apa yang dilihatnya benar-benar Aluna, perempuan yang sudah menggoda Dirga.“Iya, ada ap
“Ternyata di luar sana kau b*nal, Nggit!” hardik Dirga.“Ma-maksud om apa?” tanya Inggit terbata-bata.Beberapa menit yang lalu, Inggit sudah bersiap tidur, walaupun masih pukul 8 malam. Inggit kelelahan menangis semenjak pulang dari reuni s*alan tadi. Menyesal rasanya datang ke acara reuni yang membuatnya kini memiliki citra yang buruk.Banyak pesan yang masuk ke ponsel miliknya, tentu saja isinya menghujat dirinya dengan sebutan sugar baby, bahkan pelacur.Mental Inggit lemah, tidak sanggup menghadapi cemoohan dan hinaan yang ditujukan pada dirinya. Inggit merasa kerdil saat ini, impiannya menjadi wanita kaya tanpa harus bekerja keras harus berakhir hati ini. Dengan cara memalukan.Inggit semakin terkejut saat tiba-tiba saja Dirga datang dan mengatainya b*nal. Tahu dari siapa tentang semua itu?“Pura-pura tidak tahu kamu?” teriak Dirga, ia berjalan mendekati Inggit, lalu dengan cepat ia menarik rambut Inggit yang tergerai panjang.“Auh, sakit, Om,” rintih Inggit kesakitan. Ia memega
“S*alan!” teriak Dirga kesal, pagi ini ia baru saja pulang dari apartemen Aluna. Ia terkejut mendapati pjntu pagar telah terbuka, begitu juga dengan pintu rumah. Ditambah pintu gudang sudah rusak parah, Inggit tidak ada di dalam. Membuat daftar kekesalannya bertambah.“Siapa yang membantu gadis itu keluar?” Dirga terdiam, mencoba memikirkan kemungkinan yang terjadi.“Leon... “ Nama anaknya pelan ia sebut, Dirga ingat jika anaknya itu sama seperti dirinya, mencintai Inggit.Dirga yakin sekali jika Leon lah yang menyelamatkan Inggit.“Anak kurang aj*r! Beraninya dia melawan aku,” geram Dirga. Ia marah, anak semata wayang yang dulu selalu bisa ia kendalikan, kini mulai membangkang.Dirga belum sanggup kehilangan Inggit, gadis itu harus kembali padanya apa pun yang terjadi.Dirga berpikir, sepertinya ia harus mulai bersikap keras pada Inggit, pun dengan Leon. Jika gertakannya beberapa waktu yang lalu tidak mempan, ia harus berbuat kasar.Seperti inilah sifat Dirga yang asli, keras, tegas,
Inggit termenung, ia duduk sendirian di kursi yang berada di balkon. Matanya menatap lurus ke depan, tidak ada fokus di sana.Inggit lelah, rapuh, dan butuh sandaran. Batinnya bergejolak ingin lepas dari semua masalah yang mendera hidupnya. Sayang, Tuhan lebih menyayangi dirinya, Tuhan ingin melihat usaha Inggit. Tuhan ingin melihat sejauh mana Inggit berlari memecahkan masalah hidupnya.Hatinya terasa kosong, jiwanya seolah pergi berkelana entah ke mana.Dirga, laki-laki yang diharapkan bisa memberikan perubahan pada hidupnya, kini memperlakukan dirinya seperti binatang.Dirga tahu Inggit takut gelap, mengapa tega mengurungnya di gudang? Dirga tahu masa lalu Inggit, kenapa masih tidak percaya?“Makan, Nggit!” Leon datang membawakan sepiring nasi padang. Sebelum pulang dari kantor ia menyempatkan mampir membeli makanan untuk Inggit.Inggit bergeming, ia hanya melirik sekilas tanpa berminat menerima uluran piring dari Leon.Leon menghela napas, ia tahu Inggit kembali berada di titik te