Share

Bab 4

Inggit berdandan secantik mungkin, mini dress model rok A-line berwarna nude yang pas di tubuhnya membuat keseluruhan pada diri Inggit sangat menarik. Tak lupa ia poleskan sedikit lipmatte warna senada.

Untuk acara diner malam ini, sengaja sebelumnya ia pergi ke salon untuk menata dan mengecat rambutnya, agar lebih fresh dilihat.

“Cantik!”

Setelah memastikan semua oke, segera inggit keluar dari rumah dan masuk ke dalam ojek mobil online yang sudah menunggu di depan pagar.

“Sesuai aplikasi ya, Mbak!”

“Hmm... “ Inggit fokus menatap jalanan, ia malas ramah pada orang yang baru saja bertemu.

Suasana malam ini lumayan ramai, sabtu malam menjadi hari yang paling di tunggu. Inggit melihat sebuah motor menyalip mobil yang ia naiki dengan kecepatan sedang, sepertinya mengejar waktu, karena beberapa kali pengendara itu melihat jam di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat saat masih SMA, di mana ia sering jalan kaki, karena jarang memiliki uang hanya untuk sekedar naik angkot ke sekolah.

Ibu Aisyah, pemilik panti hanya memberikan uang 50 ribu untuk satu minggu, itu sudah termasuk untuk jajan dan membeli kebutuhan Inggit lainnya.

Inggit selalu iri jika ada salah satu teman yang memamerkan sesuatu, misalnya tas, jam tangan, atau handphone baru. Inggit tidak bisa berganti barang karena alasan bosan seperti mereka, ia harus benar-benar irit agar bisa membeli apa yang ia inginkan.

Handphone pertama Inggit adalah pemberian dari Leon, teman sebangkunya yang kasihan melihat Inggit selalu ketinggalan informasi kelas. Leon tahu siapa Inggit dan bagaimana keadaannya, karena itulah ia berinisiatif memberikan handphone bekas miliknya. Untung saja Leon adalah anak orang kaya, handphone baru bisa dengan mudah ia membeli kembali.

Persahabatan Inggit dan Leon terkenal seantero sekolah, Leon adalah maskot SMA Kusuma Bangsa. Banyak yang iri melihat persahabatan mereka, salah satunya Aluna.

“Sudah sampai, Mbak!”

Ucapan sopir membuyarkan lamunan Inggit akan masa lalunya.

Tanpa mengucap sepatah kata pun, Inggit keluar dari mobil, lalu berjalan menuju restoran yang Dirga maksud.

Langkah Inggit terlihat anggun, ia sengaja mengayunkan kaki pelan seperti model, setengah menyentak kakinya. Ia senang ketika banyak mata yang menatapnya kagum, bahkan salah seorang pelayan menabrak meja karena terlalu fokus menatap Inggit.

Dirga melambaikan tangan saat melihat Inggit yang menoleh ke sana sini mencari dirinya.

Inggit pura-pura cuek saat bertemu Dirga, ia tidak mau Dirga senang melihatnya mudah luluh hanya karena makanan dan uang yang tadi dikirimkan.

“Halo, Sayang. Om senang akhirnya kamu mau bertemu om, setelah kita bertengkar untuk kesekian kalinya.” Dirga terkekeh, ia berdiri dan membantu Inggit menarik kursinya.

“Terima kasih,” ucap Inggit cuek.

“Kamu kenapa? Tidak senang dengan pemberianku?” tanya Dirga.

“Tidak apa-apa,” jawab Inggit cuek lagi. Dalam hati ia puas melihat wajah Dirga yang kebingungan melihat sikapnya.

Dirga terdiam, ia bingung berkata apa lagi. “ Kamu mau makan apa? Di sini ada steak kesukaanmu, saus terbaru mereka sangat enak, mau coba?” Dirga menawarkan menu terbaru pada Inggit, dan harus menelan kecewa karena Inggit lebih memilih menu yang lain.

Dirga menghela napas, “Sebenarnya apa maumu? Jujur om capek jika hubungan kita terus seperti ini.”

Inggit mengernyit, alarm di kepala Inggit mulai berbunyi. Jangan sampai ia tergoda dengan ajakan Dirga untuk menikah.

“Maksud om apa?” tanya Inggit pelan.

“Om lelah, Nggit, om ingin kita menikah, dan lepas dari dosa. Hanya kamu yang om cintai, kenapa selalu menolak? Hmm?” tanya Dirga, ia sedikit memelankan suaranya.

“Inggit gak bisa, Om.” Mata Inggit berkaca-kaca, dirinya sungguh dilema dengan keadaannya sekarang. Di satu sisi ia mencintai Dirga, sisi lainnya ada penolakan dalam dirinya untuk melanjutkan ke jenjang lebih serius.

“Kenapa? Beri tahu om apa alasannya?” tanya Dirga.

Sebelum Inggit membuka mulut, pelayan datang mengantarkan pesanan mereka.

“Makanlah, setelah itu baru kita bicara.”

Seperti kerbau di cucuk hidungnya, Inggit menuruti perintah Dirga.

Sesekali Dirga melirik Inggit, wajahnya yang ayu telah membutakan matanya. Kulit putih bersih, hidung yang mancung, semakin cantik setelah Inggit poles dengan make up yang natural, sempurna. Inilah karya Tuhan yang paling sempurna di mata Dirga, pahatan di wajahnya sangat pas dan sedap dipandang.

Tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang melihat mereka dengan geram, ia mengepalkan jarinya sampai buku-buku tangannya memutih. Ingin rasanya menghajar saat itu juga, tetapi ia sadar di mana saat ini ia berada. Dengan geram ia pergi meninggalkan tempatnya setelah melihat Dirga mengusap pipi Inggit.

“Katakan, apa alasanmu menolak menikah dengan om?”

“Kenapa om selalu mengatakan itu?” tanya Inggit balik.

“Mengatakan apa?” tanya Dirga tidak mengerti.

“Selalu mengajak untuk menikah, kenapa tidak seperti ini saja?” tanya Inggit sedikit sendu.

“Nggit, umur om sudah banyak, om tidak mau berkubang di dalam dosa, om ingin ada yang menemani, dan yang om inginkan adalah kamu, Nggit.”

Dirga meraih jemari Inggit di atas meja, sedikit ia meremas dan menyunggingkan senyum, meyakinkan Inggit bahwa semua baik-baik saja.

“Inggit takut, Om.”

“Takut kenapa? Katakan alasannya, siapa tahu om bisa bantu kamu.”

“Inggit trauma,” ucap Inggit akhirnya.

Dahi Dirga mengernyit, selama ini ke mana saja dirinya? Kenapa tidak tahu masalah ini?

“Trauma?” tanya Dirga.

“Iya.”

Dirga melepas genggamannya, lalu mengusap wajahnya kasar. Ini di luar pikirannya, Dirga kira Inggit tidak mau menikah karena belum siap atau karena pemberiannya selama ini kurang, ternyata Inggit memiliki trauma. Kenapa ia baru tahu sekarang?

“Ceritakan!” perintah Dirga tegas.

Keluarlah semua unek-unek Inggit yang selama ini ia pendam sendirian. Tentang bapaknya yang pemabuk dan kasar, ibunya yang hanya diam dan tidak bisa membantah. Bahkan sampai akhirnya dirinya berada di panti asuhan dengan segala keterbatasan.

Meluncur pula dari mulut Inggit bahwa ia adalah korban pemerkosaan oleh kepala sekolahnya sendiri, yang menjadikan dirinya seperti sekarang. Mencari uang dari belaian laki-laki, terutama seperti Dirga. Pria berumur yang memiliki banyak uang dan duda.

Inggit tidak siap dilabrak istri sah, karena itulah ia tidak mau berhubungan dengan laki-laki beristri.

“Maafkan om, Nggit. Om tidak tahu masa lalumu seburuk itu.”

Dirga menggenggam jemari Inggit dan sedikit meremasnya. Ia terenyuh dengan perjuangan Inggit bisa hidup sampai sekarang.

“Tak apa, Inggit ingin om berhenti mengatakan itu, Inggit nyaman kita seperti sekarang, Om.”

“Baiklah, kita jalani saja dulu, akan om buktikan padamu, bahwa pernikahan tidak se-mengerikan seperti itu.”

“Inggit tidak janji bisa menerima om,” sahut Inggit.

Dirga menganggukkan kepala, dalam hati ia bertekad akan menyembuhkan trauma Inggit. Cintanya pada Inggit sudah mendarah daging, tidak bisa diganggu gugat.

---

Aluna mengernyit melihat data diri Dirga yang baru saja Hendra berikan.

“Kamu yakin Pak Dirga mempunyai wanita simpanan?” Tanya Aluna.

“Yakin sekali, Bos. Karena ada beberapa saksi mata yang memberitahu saya tentang hal itu,” jawab Hendra cepat, ia merogoh saku jasnya lalu memberikan beberapa lembar foto, ia serahkan pada Aluna.

“Ini foto Pak Dirga yang sempat diambil diam-diam kemarin.”

“Sepertinya aku kenal dengan perempuan ini.” Aluna mengetuk meja dengan kuku, matanya tak lepas menatap Dirga yang mencium pipi perempuan yang hanya terlihat punggungnya.

“Gak ada yang terlihat dari depan?” tanya Aluna lagi.

“Belum, Bos. Akan saya usahakan lagi.”

“Oke,” jawab Aluna pelan.

“Apa yang akan kita lakukan, Bos?” tanya Hendra.

“Nanti aku pikirkan setelah kamu berhasil mencari tahu wajah perempuan ini.”

“Baik.”

“Oh iya, kamu sudah menemukan data dari perempuan yang kuminta kemarin?” tanya Aluna, sorot matanya tajam pada Hendra.

“Belum, Bos. Maaf, saya kesulitan mencari data perempuan itu.” Hendra terlihat salah tingkah lalu merasa bersalah.

“Goblok! Seharusnya kamu cepat jalan cari perempuan itu! Masak gitu aja lambat banget sih?” hardik Aluna kasar. Ia tidak suka kegagalan dan kelambatan.

“Maaf, Bos. Akan saya cari sekarang.”

Hendra segera keluar dari ruangan Aluna setelah perempuan itu menganggukkan kepala.

Setelah kepergian Hendra, Aluna terdiam. Ia merenung mencoba mencari solusi dari masalahnya.

Pertama ia sudah berjaga-jaga jika data yang bocor itu tersebar, ia tidak mau semua orang tahu kedok perusahaan miliknya itu.

Tiba-tiba suara panggilan dari ponsel Aluna berbunyi, membuyarkan angan-angannya yang sudah melayang ke mana-mana.

“Halo,” sapa Aluna setelah ia menggeser tombol hijau.

“Bagaimana? Kamu sudah dapat penggantinya?” tanya seseorang di seberang sana dengan ketus.

“Maaf, Mami. Aluna belum ada pandangan,” jawab Aluna takut.

“Goblok! Gimana sih kamu? Nyari pengganti aja gak becus, mami gak mau tahu, lusa harus sudah ada, Bos Besar sudah menunggu! Kalau tidak segera menemukan, kamu tahu kan artinya apa?”

“I-iya, Mi. Aluna paham!” jawab Aluna takut-takut.

Panggilan berakhir, Aluna meremas kepalanya dengan gemas. Belum selesai satu masalah, datang lagi masalah baru. Salahnya sendiri dulu pernah masuk ke dalam lembah hitam, ingin keluar sulit sekali.

Aluna tidak menyangka harus secepat ini, ia pikir Mami memberinya keringanan setelah ia berhasil menyogok. Nyatanya tidak semudah itu, Mami masih saja mengejarnya bahkan sampai sekarang.

Tiba-tiba saja ia kepikiran Inggit, teman semasa SMAnya itu, teman yang selalu ia bully karena kepintaran dan tentu saja karena Inggit begitu dekat dengan Leon, pujaannya.

Sebuah ide tercetus di kepalanya, dengan cara ini ia bisa membuat Inggit kembali menderita. Aluna tidak suka Inggit bahagia, entah kenapa sejak dulu ia begitu membenci Inggit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status