Share

BAB 5

Clara mencengkeram kuat-kuat sprei dan bantalnya, kalau boleh jujur, selama dua tahun menjadi pelayan Arga, tidak selalu Clara mencapai klimaks-nya ketika disentuh Arga seperti ini. Bukan karena Arga tidak pandai foreplay guna memanaskan dirinya, tetapi karena perasaan bersalah dan berdosa yang Clara miliki pada isteri dari laki-laki yang tengah menindih tubuhnya malam ini yang membuat Clara begitu tertekan dan hanya setengah hati dan tidak menikmati pergumulan mereka.

Beberapa menit berlalu, Clara dapat merasakan tubuh Arga menegang, deru nafas Arga makin memburu. Dia sudah hampir sampai, bukan? Agaknya pelayanan Clara malam ini begitu memuaskan sosok itu, terbukti dengan ekspresi sensual yang Arga tunjukkan.

Clara memejamkan matanya erat-erat, dan tidak perlu waktu lama ia merasakan cairan hangat itu menyembur dan memenuhi rahimnya. Arga memekik keras, mengeram panjang dengan nafas tersenggal-senggal, mendekatkan bibirnya di telinga Clara dan berbisik dengan begitu lembut.

“Makasih banyak, Sayang!” Arga berbisik lirih, mengecup puncak kepala Clara dan menjatuhkan diri di samping Clara.

Clara tidak menjawab, ia bahkan tidak membuka matanya. Memilih berdiam diri dalam kubangan peluh dan dosa yang baru saja dia lakukan bersama suami orang. Sementara Arga, tengah menetralkan nafas. Terbaring dengan tubuh sama bersimbah peluh.

Clara membuka mata, menoleh dan menatap laki-laki yang baru saja menyentuh tubuhnya . Laki-laki itu benar-benar sudah membawa Clara masuk begitu jauh dalam kubang dosa yang tidak berkesudahan.

“Kita mau sampai kapan seperti ini, Ga?” desis Clara yang benar-benar sudah jemu dengan keadaannya yang seperti ini.

Arga membuka matanya, menoleh dan menatap Clara dengan seksama. Netra mereka beradu, senyum itu merekah, tangan Arga menyentuh dan mengelus dengan lembut pipi Clara, sebuah tindakan yang dulu begitu Clara sukai, ya ... dulu. Sekarang? Tidak lagi!

“Tunggu sampai dia bosan dan menceraikan aku, Sayang.”

Clara menghela nafas panjang. Selalu ini jawaban yang dia dapatkan dari pertanyaannya perihal status hubungan mereka. Sampai kapan jawaban itu yang akan selalu Arga berikan untuk Clara? Hampir dua tahun dia terombang-ambing tanpa kepastian seperti ini.

Arga sama sekali tidak memberi Clara pilihan apapun. Seandainya memang dia diizinkan memilih, Clara ini memilih pergi dari hidup laki-laki yang sudah menyeretnya dalam kerumitan yang begitu pelik. Clara ingin menghapus semua kenangan dan dosa yang dia buat bersama sosok ini. Clara ingin memulai hidup barunya.

“Sudah hampir dua tahun,” desah Clara lirih.

Senyum Arga sontak lenyap, ia bisa melihat sorot itu nampak begitu terluka dan tertekan. Arga tahu betul apa alasannya. Dan jujur untuk saat ini dia tidak bisa berbuat banyak kecuali menantikan sang isteri jemu dan lantas menggugat cerai dirinya.

Hanya itu yang kini tengah Arga nantikan. Kenapa bukan Arga yang mengunggat? Semua tidak semudah itu jika saja sang papa tidak mengancam Arga, orang yang menjadi dalang di balik perjodohan Arga dengan Indira.

“Percaya aku, dia akan menyerah dan aku akan menikahimu, Ra.”

‘Bukan itu yang aku mau, Ga! Aku tidak mau menikah denganmu!’ Clara merintih di dalam hati, entah mengapa dia lebih ingin pergi meninggalkan sosok ini daripada harus menikahinya, tidak peduli Clara sudah koyak dan bertahun-tahun dijadikan partner tempat tidur laki-laki ini, Clara benar-benar tidak peduli, yang dia pedulikan hanyalah dia ingin pergi dan membuka lembaran baru hidupnya lagi.

***

“Isterimu pasti nungguin, Ga.”

Sebuah kalimat yang sekali lagi merupakan sebuah bahasa pengusiran yang begitu halus. Tubuh Clara masih begitu polos, namun sudah tertutup selimut. Satu selimut dengan Arga yang juga masih sama polosnya.

“Apa peduliku?” ujar Arga malah balik bertanya, membuat Clara menatap lekat-lekat Arga yang nampak begitu santai dan tenang.

Clara tersenyum kecut, “Kau tidak ingin meniduri isterimu?” sekali lagi sebuah kalimat pengusiran halus keluar dari mulut Clara.

Arga tertawa sumbang, hanya sebentar. Tampak dia menghela nafas panjang, menatap langit-langit kamar apartemen yang ia beli khusus untuk Clara. Khusus untuk mereka terus menerus berbuat dosa dan mengulanginya setiap waktu.

“Aku belum pernah menidurinya, bukankah aku sudah katakan itu berkali-kali?”

Kini tawa Clara yang pecah, menikah hampir dua tahun dan Arga bilang bahwa dia belum pernah meniduri isterinya sendiri? Lelucon macam apa yang Arga katakan ini?

Bullshit!” komentar Clara pedas.

“Terserah, kamu mau percaya atau tidak yang jelas itu kenyataannya, Sayang.”

Clara kembali tertawa, hanya sebentar. Ia ikut menatap langit-langit kamar itu, langit-langit kamar yang selama ini menjadi saksi bisu perbuatan dosa apa saja yang sudah mereka lakukan selama ini. Perbuatan dosa yang entah mengapa tidak terendus sampai sekarang.

“Kau menikah hampir dua tahun dan bilang bahwa kau belum pernah meniduri isterimu? Mana bisa aku percaya?”

Tentu Clara tidak akan percaya begitu saja. Melihat bagaimana Arga menidurinya setiap laki-laki itu menginginkan dirinya, dan Arga kekeuh bilang belum pernah menyentuh isterinya? Dari mana Clara bisa percaya?

“Terserah, Sayang. Yang jelas dia masih perawan. Kecuali kalau dia di luar rumah tidur bersama laki-laki lain.” Arga kembali memejamkan matanya, menikmati sisa-sisa nikmat yang malam ini sudah selesai teguk.

“Apa alasannya?”

Mata yang terpejam itu kembali terbuka, menoleh dan menatap Clara dengan tatapan kesal. Ya ... Clara bisa merasakan tatapan itu. Tatapan tidak suka atas pertanyaan yang keluar dari mulut Clara barusan.

“Aku tidak salah dengar?” Arga hampir memekik, “Kau dengan santainya bertanya sesuatu yang sudah kamu ketahui pasti apa alasannya?”

Apakah cinta lagi yang dia gunakan sebagai alasan mengurung Clara dalam hubungan tidak pasti seperti ini? Clara sudah jemu dan malas sekali mendengar cinta yang selalu Arga gunakan sebagai senjata.

“Alasan kenapa aku belum pernah menyentuhnya adalah karena aku tidak mencintai dia, Ra.” Arga kembali menjelaskan. “Aku cuma cinta kamu, Ra. Sudah berkali-kali aku katakan dan tekankan kepadamu bahwa aku hanya mencintaimu!”

Benar, kan?

Selalu cinta yang Arga gunakan untuk menahan Clara untuk tetap bertahan. Membuat Clara tidak bisa kemana-mana, tidak bisa melepaskan diri dari Arga.

“Tolong jangan pernah tanyakan lagi apa alasannya, Ra. Aku mencintaimu, sampai kapanpun aku tetap akan mencintaimu.”

***

Indira sama sekali tidak bisa memejamkan matanya, sudah cukup larut. Setelah mengobrol panjang lebar bersama asisten rumah tangganya, dia memutuskan untuk naik ke kamar. Membaringkan tubuh di kasur yang begitu dingin itu seorang diri.

Terkadang dia heran, seranjang bersama Arga tidak lantas membuat laki-laki itu kemudian melampiaskan nafsunya pada Indira. Padahal Indira sudah banyak membeli gaun tidur tipis dan begitu menggoda untuk memancing Arga agar mau menyentuh dirinya sebagai wujud ibadah mereka setelah mereka menikah.

Namun hasilnya nihil!

Hampir dua tahun menikah dan masih perawan? Sunggh ini ironi!

Jujur Indira lelah di desak kedua belah pihak keluarga kenapa dia tidak kunjung hamil. Bagaimana mau hamil kalau sang suami bahkan belum pernah menyentuhnya sama sekali? Dia masih perawan dan tidak ada sperma masuk ke dalam rahimnya, jadi bagaimana bisa hamil?

Terlebih dia lahir dari sepasang dokter, mertuanya juga sama. Semua dokter spesialis, membuat Indira selalu sakit kepala tiap-tiap bertemu dengan mereka.

Selalu pertanyaan yang sama yang dia dapatkan, dan bila pertanyaan itu dia dapatkan ketika dia tengah bersama Arga, laki-laki itu akan dengan sangat santai dan luwes merangkul pinggang Indira, tertawa santai dan berkata bahwa mungkin belum rejekinya mereka diberi kepercayaan.

Padahal jawaban dari itu semua adalah karena Arga belum pernah menyentuh sang isteri, sama sekali belum!

“Sebenarnya siapa dia? Kenapa sulit sekali mencari tahu siapa pemilik hatimu, Mas? Atau jangan-jangan ....”

Sebuah pikiran buruk terbesit di dalam pikiran Indira.

“Jangan-jangan ....”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status