Enjoy reading đ
Matahari bersinar terik siang itu, Gendis baru saja keluar dari ruangan dosen pembimbingnya. Hari ini bab terakhir skripsinya sudah dia selesaikan, Gendis mendapatkan jadwal sidang skripsi dua minggu lagi. Setidaknya Gendis bisa bernapas lega, satu tahap sudah di lalui nya. Memesan semangkuk mie ayam di kantin kampus, Gendis menduduki meja nomer tiga itu sendirian. Perutnya sudah sedari tadi berbunyi, untung saja saat di dalam ruangan tadi dosen pembimbingnya tidak mendengar. "Mie ayam komplit buat Neng Gendis," ujar pemilik kantin yang sudah mengenal Gendis. "Neng Gendis sama Neng Rika sudah jarang makan di kantin Ceuceu," ujarnya. "Iya Ceu, jadwal padat ... belum lagi kan aku masih kerja," jawab Gendis. "Makasih, Ceu." Gendis mengaduk mangkuk mie ayam pesanannya. "Sama-sama, Neng Gendis ... oh ya Neng, dengar-dengar kabar nggak enak tentang Neng Rika," kata Ceuceu khas dengan logat sundanya. "Tentang apa?" "Saurna Neng Rika teh nujuh hamil. Ceunah mah nu ngehamilan na teh
"Belakangan kok Ibu sering liat kamu bawa barang-barang baru?" tanya Wati pagi itu, dia meletakkan nasi goeng diatas meja makan. Gendis yang baru saja menyesap cangkir teh miliknya pun terbatuk-batuk. "Pelan-pelan kalo minum, kayak lagi diomongin tetangga aja pake keselek." Wati kembali meletakkan piring berisi dadar telur yang diiris menjadi empat bagian. "Gaji kamu juga ngasih ke Ibu kemarin lebihnya banyak sekali," kata Wati lagi menarik kursi makan di depan Gendis. "Yang hemat, Dis ... kita patut bersyukur nggak ada hutang, bukan berarti kamu harus boros. Kamu bilang mau sekolahin Bayu tinggi-tinggi, biar bisa mengangkat derajat kita ... makan dulu." Wati menyerahkan piring berisi nasi goreng, dadar telur dan kerupuk untuk Gendis. "Makasih, Bu." Gendis menerima piring itu masih menunduk, takut menatap mata sang Ibu. "Kamu belum jawab pertanyaan Ibu, kamu nggak aneh-aneh, kan? Tetangga bilang kamu sering di antar pulang sama l
Gendis memandangi langit-langit kamarnya, Rika sudah terlelap dari setengah jam yang lalu. Masih terngiang kata-kata Rika tentang Sakti, teman dari lelaki yang menghamili sahabatnya itu. Di dalam pikiran Gendis sudah terlalu banyak pertanyaan mengenai Sakti tapi apa dia masih akan menemui lelaki itu ketika sudah mengetahui semuanya dari Rika. Pukul 11 malam, pesan masuk di gawainya nama Sakti tertera di sana. Gendis menghela napas panjang, langkah apa yang aka dia ambil untuk dirinya dan Sakti. Baru saja dia merasakan bunga-bunga asmara dengan lelaki itu, dan sekarang berguguran begitu saja. "Besok aku jemput di minimarket, ya. Temenin aku ke suatu tempat," bunyi pesan Sakti. ***** "Lo ngapain sih?" tanya Andi sore itu. "Bentar-bentar lirik jam bentar-bentar liat ke luar. Entar lagi pulang Dis, nggak sabar banget mau ketemu Mas Jambang," goda Andi. "Ndi, nanti kalo dia datang terus aku masih ada di sini, bilang aja aku nggak ada atau sudah pulang, ya," pinta Gendis. "Kenapa? mar
Gendis melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit, terkadang dia berlari kecil menoleh ke kanan ke kiri mencari ruangan yabg di sebutkan seseorang yang memberitahukan kejadian sore itu. Arya mengikutinya dari belakang, lelaki itu yang dia mintai tolong untuk mengantarkannya.Langkah Gendis terhenti ketika akhirnya dia menemukan ruangan yang sedang melakukan operasi. Sudah ada ayah dan ibu Rika di sana, dan dua orang polisi yang sedang menanyai beberapa orang yang mungkin menjadi saksi kecelakaan gadis itu."Tante," sapa Gendis pada wanita paruh baya yang duduk sambil menutup wajahnya dengan tangan."Gendis.""Gimana Rika, Tante?" Gendis berjongkok di depan Maria, ibu Rika."Sedang operasi di dalam, tulang kaki dan iganya ada yang patah.""Ya Tuhan." Gendis terdiam, kaki dan tulang iga Rika patah, lalu bagaimana dengan kandungannya, pikir Gendis."Rika juga mengalami keguguran," ujar Maria pelan.Gendis tercekat, matanya berkaca-kaca. Janin kecil itu, janin yang di pertahankan oleh
"Sarapannya, Mas." Tari masuk tanpa mengetuk pintu kamar Sakti. Gadis itu berjalan santai meletakkan nampan berisi satu piring nasi goreng dengan telur ceplok serta secangkir teh hangat. "Ada roti panggang selai coklat, kalo Mas mau bisa aku ambilin," ujarnya tanpa menoleh ke arah Sakti yang sedang memakai kaosnya. "Makasih, Tar." Tari menoleh lalu tersenyum, "sama-sama, Mas. Tari keluar dulu." "Hhmm." Sakti mengangguk. "Tar," panggil Sakti. "Ya, Mas." "Makasih juga udah bantuin gue semalam." Sakti tersenyum. "Itulah gunanya adik, Mas." Sakti mengangguk angguk lagi. "Adik ... adik ya. Umur lo berapa?" "Masuk 20 tahun, Mas." "Oh ... Nggak jauh dari Gendis," ucap Sakti nyaris tak terdengar. "Sudah mulai kuliah?" "Bulan depan," jawab Tari. "Oh, bagus lah ... yang bener kuliah, jangan kecewain orang tua gue." Kali ini wajah Sakti berubah serius dengan satu alisnya ikut naik. "Iya, Mas ... siap. Oh ya, Mas ... semalam Tari dengar, Mas Sakti babak belur karena masalah cinta?" T
Cari siapa?" tanya suara wanita dari dalam rumah. Pintu pun terbuka perlahan, nampak wanita yang umurnya tidak terlalu jauh dari ibunya keluar dari dalam dengan alis yang mengerut. "Cari siapa?" tanyanya lagi. "Selamat sore, benar rumah Gendis?" tanya Sakti memastikan, karena saat di anak tangga pertama rumah susun tadi dia bertanya pada seseorang dimana letak rumah yang didiami oleh Gendis dan keluarganya. "Benar, tapi Gendis sedang kerja, pulangnya mungkin malam, karena masuk shift siang," kata Wati memperhatikan penampilan Sakti dari bawah hingga ke atas. "Anak ini siapa?" tanyanya. "Siapa, Bu?" Suara bariton terdengar dari dalam melangkah menuju pintu rumah. "Saya teman Gendis, Pak ... Bu," jawab Sakti mengulurkan tangannya. "Sakti," ujarnya lagi. "Oh," ujar Hendro dan Wati bersamaan. 'Ada perlu apa?" tanya Hendro masih memperhatikan Sakti dengan seksama. Sejak kapan Gendis berteman dengan lelaki ini, setahu Hendro hanya Arya dan Andi. Lelaki yang berada di hadapannya ini
Berjalan beriringan sampai di depan gang rumah susun, saling diam melirik pun tidak, asyik dengan pikiran masing-masing. Makan malam yang diwarnai obrolan seru dari seorang supir bemo yang menceritakan awal mula perantauannya ke ibu kota. Sakti benar-benar tidak membayangkan bagaimana perjuangan suami isteri itu menghidupi keluarganya. Sementara Gendis dengan pikiran atau lebih tepatnya menahan amarah pada lelaki di sampingnya itu. Bagaimana mungkin lelaki itu selama dua hari berturut-turut bertandang ke rumahnya. Teman lama katanya, darimana kebohongan itu tercipta. Sakti menggulir layar gawainya, mencari aplikasi taksi online yang akan mengantarkannya kembali ke apartemen malam itu. "Makasih makan malamnya," ujar Sakti. "Makasih sama ibu, dia yang ngajak kamu makan malam," sahut Gendis menatap hilir mudik kendaraan di depan mereka. "Sayur asem nya enak ... ternyata rasanya nggak asem tapi manis," kata Sakti lagi. "Ya iyalah, kalo manis namanya sayur manis," jawab Gendis masih m
Sakti melepaskan pagutannya, kening mereka masih menyatu bahkan bibir Gendis masih basah karena ulah Sakti. Baru saja Sakti ingin menautkan kembali bibirnya, Gendis menarik diri. Melepaskan tangan Sakti yang berada di tengkuk lehernya. "Aku minta maaf," ujar Sakti menahan tubuh Gendis. "Aku minta maaf karena nggak cerita dari awal ke kamu. Aku minta maaf karena aku sudah buat kamu kecewa." Gendis melepaskan tangan Sakti dari lengannya. "Please Gendis, maafin aku," bisik Sakti dari belakang tubuh Gendis. Bisa di ciumnya harum tubuh Gendis, bisa di ciumnya semerbak wangi shampoo yang Gendis pakai, bisa dirasakannya tubuh Gendis menegang karena sentuhan lembut tangannya di lengan gadis itu. "Aku punya masa lalu, kelam kata orang, bebas terlalu bebas. Tapi apa untuk orang seperti aku nggak ada kesempatan untuk berubah? berubah jadi lebih baik lagi. Apa nggak di bolehin aku insaf, tobat atau apalah itu. Salah, ya?" "Aku tau kamu kecewa, aku tau kamu takut kejadian Rika bisa aja menimpa