Melati selaku istri yang selalu Ravael tolak, ternyata wanita yang diam-diam Ravael cintai sejak lama. Namun, Ravael baru mengetahuinya setelah dirinya menjatuhkan talak untuk ke tiga kalinya, sementara Melati langsung membuka cadarnya. Ravael pikir, hanya itu kesalahan fatalnya. Namun ternyata, Dimas sahabatnya sendiri, begitu mencintai Melati. Dimas memperlakukan Melati layaknya seorang ratu, dan bahkan akan menikahi Melati dalam waktu dekat! Salahkah jika kini, Ravael melakukan segala cara, agar mendapatkan maaf dari Melati, hingga mereka bisa kembali menjadi suami istri?
Lihat lebih banyak“Melati, ... dengarkan aku baik-baik. Cari tempat yang banyak sinyalnya karena di kampung kamu terkenal susah sinyal!”
“Iya, Mas Rava. Ini saya sudah di depan rumah dekat sawah. Di sini banyak sinyal. Suara saya sudah jelas, kan?” “Baik, tetap di situ. Sekali lagi, dengarkan aku baik-baik.” “Iya, Mas. Baik.” “Melati, ... aku mau menerima perjodohan kita. Aku mau menikahi kamu, bahkan membiayai pengobatan bapak kamu sampai beres. Namun, kamu harus mengizinkan aku menikahi kekasihku. Bapak kamu harus segera operasi, tapi BPJS yang kalian buat belum bisa dipakai, kan?” Selain meminta Melati mengizinkannya menikahi sang kekasih. Ravael juga tak mengizinkan Melati bertemu dengannya, bahkan meski sekadar melihat pria itu. “Kamu juga harus tetap merahasiakan pernikahan kita. Selain kamu yang tidak usah ikut ke Jakarta. Kalau orang tua kita tanya alasannya, bilang saja kamu mau jaga bapak kamu, sementara aku mengizinkan kamu!” “Terus, ... sebenarnya status saya apa, Mas?” tanya Melati di tengah air matanya yang berjatuhan membasahi pipi. Hatinya terasa sangat sakit, seolah di dalam sana ada banyak benda tajam yang sibuk menyayat. “Kamu mau bapak kamu sembuh, tidak? Operasi ginjal itu taruhannya nyawa dan jangka penyembuhannya lama. Walau sudah operasi, pasti ada saja kontrol dan pengobatan lain!” Dada Melati bergemuruh hebat mendengar setiap ucapan Ravael. Mereka memang sudah dijodohkan sejak kecil, tetapi tak sekalipun mereka bertemu. Sebab selain Melati tinggal di kampung, Ravael selalu di Jakarta. Kalaupun orang tua Ravael datang berkunjung ke rumah yang ada di kampung, Ravael tak pernah ikut. Walau berat karena syarat dari Ravael terlalu merugikannya, Melati tak memiliki pilihan lain. Sebab ketimbang memikirkan jangka panjang dari pernikahannya dan Ravael, nasib sang bapak jauh harus lebih diutamakan. Setelah kesepakatan dibuat, semuanya dijalani sesuai keinginan Ravael. Ravael mentransfer sejumlah uang ke Melati. Pengobatan sekaligus operasi kepada bapak Melati sudah langsung dijadwalkan. Melati mengurus semua itu sendiri. Karena selain Melati sudah tidak memiliki ibu, Melati yang baru genap berusia delapan belas tahun juga merupakan anak semata wayang. Dua hari setelah kesepakatan, Ravael dan orang tuanya datang ke kampung Melati tinggal. Ijab kabul langsung digelar dan Melati hanya diam di kamar. Setelah ijab kabul usai, Ravael sudah langsung pamit dan berdalih ada dinas keluar kota yang tidak bisa ditunda. Sekadar menemui Melati, Ravael sama sekali tidak melakukannya. Semuanya apalagi pak Sulaiman menganggap kesibukan Ravael sebagai hal yang patut dipuji. Bagi mereka, Ravael merupakan pria yang sangat bertanggung jawab dan Melati beruntung mendapatkannya. Padahal alasan Ravael buru-buru pergi dari sana karena Ravael akan langsung ke Jakarta dan menikahi kekasihnya dengan pesta mewah. Kepergian Ravael tak sengaja melihat Melati. Melati berjalan kaki untuk membeli gula di warung dan lokasinya agak jauh dari rumahnya. Namun karena belum pernah melihat wujud Melati, Ravael tak tahu jika wanita sangat cantik berkulit putih bersih itu merupakan wanita yang baru saja ia nikahi. “Masa di kampung yang jalannya masih penuh lobang bahkan licin, ada wanita secantik bidadari? Mirip blasteran Turki. Kulitnya putih sebening itu. Bentar deh, ... di bulak sepi gini, ada wanita cantik jalan kaki. Kok malah jadi horor ngeri, ya?” Karena kecantikan Melati yang bagi Ravael tak masuk akal, pria itu berpikir bahwa Melati tidak nyata. Ravael justru yakin, Melati itu demit cantik penunggu sekitar sana. Ravael yang sempat mengemudikan mobilnya dengan pelan hanya karena kesibukannya mengawasi Melati yang membuatnya terpesona, refleks menambah kecepatan laju mobilnya. “Pyaaaarrrrrr!” Air di genangan jalan mengenai Melati. Tubuh sebelah kanan Melati kuyup oleh air bercampur lumpur. Rasa nelangsa sungguh tak kuasa Melati tepis. Terlebih Melati tahu, yang mengemudikan mobil dan sampai mengguyurnya menggunakan genangan air bercampur lumpur, suaminya sendiri. Karena meski belum bertatap muka atau sekadar melihat dari kejauhan dengan Ravael. Melati paham mobil Ravael. Mobil Lexus warna hitam yang tampak gagah sekaligus mewah itu milik pria yang menikahinya, tetapi tak sudi melihat apalagi mengenalnya. “Memangnya di matanya, aku ini hina banget, apa gimana? Dinikahi, tetapi tak diinginkan. Jangankan mengenal dan menyayangi seperti suami di luar sana. Sekadar melihatku saja, dia tidak sudi,” batin Melati. Air matanya berlinang membasahi pipi. Namun karena hampir sebagian wajahnya terkena genangan air bercampur lumpur, air mata itu tak tampak. Sore semakin gelap akibat mendung sisa hujan kemarin yang masih menguasai langit. Melati bergegas melanjutkan langkah sebab tamu di rumahnya, harus segera ia suguhi minum. *** Tiga tahun berlalu, semuanya masih seperti kemauan Ravael. Tak sekalipun Ravael datang menemui Melati. Pesan WA menjadi satu-satunya perantara komunikasi mereka. Karena sekejam-kejamnya Ravael, pria itu masih mentransfer sejumlah uang meski jumlahnya tidak seberapa. Mas Ravael : Bulan ini aku enggak bisa transfer dan entah sampai kapan. Istriku terkena kanker serviks. Sudah stadium tiga dan aku sedang butuh banyak biaya. M : Saya turut berduka, Mas. Semoga penyakit istri Mas segera diangkat, dan baik istri Mas maupun Mas sendiri diberi kekuatan untuk menjalani cobaan ini. M : Jika Mas membutuhkan bantuan, meski saya hanya bisa memberikan bantuan tenaga dan doa, jangan sungkan untuk mengabarinya. Mas Ravael : Ya. Terima kasih banyak. M : Sekalian, Mas. Mohon maaf, punten. Saya mau izin pergi kerja. Bukan ke luar negeri. Masih di dalam negeri. Mas Ravael : Terserah. M : Terima kasih banyak, Mas 🙏 “Daripada bertahan di kampung yang hasil kerjanya enggak seberapa, terus apa-apa serba jadi omongan tetangga.” Di dalam kamarnya yang sangat sederhana, Melati termenung. Apa pun keadaannya. Meski statusnya sebagai istri pertama Ravael, tak lebih mulia dari wanita simpanan. Melati masih sangat menghargai Ravael. Tak pernah sekalipun ia mengeluh, meski uang bulanan yang Ravael kirim kepadanya tidak pernah lebih dari tiga ratus ribu. Sisanya karena Melati harus tetap menanggung pengobatan sang bapak yang makin ringkih, Melati bekerja sebagai kasir di alfa yang ada di kecamatan dirinya tinggal. Sesekali jika belum jam kerja terlebih jika di hari libur, Melati juga tak segan bekerja ke sawah. Potret kehidupan yang Melati jalani masih sangat sederhana. Melati tetap tinggal di rumah semi permanen milik orang tuanya dan keadaannya tak kalah ringkih dari kesehatan sang bapak. Padahal karena dinikahi Ravael, Melati dicap sebagai simpanan pria kaya. Namun kehidupannya tak lebih miris dari warga sekitar, hingga ia yang selalu menjadi bahan gosip hangat, kerap selalu menjadi sumber canda sekaligus gelak tawa. ***“Cintaku habis di Melati. Maaf kalau aku ... mengatakan ini kepadamu, Dim.” Susah payah Ravael menahan tangis sekaligus kesedihannya. Namun pada akhirnya, air matanya tetap mengurai cerita.“Aku tidak bermaksud buat jadi duri dalam rumah tangga kalian. Apalagi kamu begitu memuliakan Melati. Hubungan kalian pun makin hari makin–”Dimas yang berdiri di sebelah Melati sengaja berkata, “Melati lagi hamil lagi. Kami kebobolan.”Seperti yang Dimas yakini, pengakuanya barusan sukses membungkam Ravael. Sahabatnya itu tampak sangat terkejut, tak percaya, sedih, tapi juga bahagia. Senyum bercampur dengan air mata, buyar di wajahnya.Dimas tahu, cinta Ravael habis di Melati selaku mantan istri yang ternyata telah mencuri hati sahabatnya itu. “Aku tahu, cinta kamu sudah habis di istriku. Aku beneran tahu, Rav.” Bukan hanya Ravael yang menangis karena ucapan Dimas barusan. Karena Dimas yang mengatakannya juga berderai air mata hanya karena mengatakannya.“Entah sampai kapan penyesalan itu akan te
Suasana nyaris terbilang hening, jika suara anak-anak tak sesekali terdengar. Langkah Melati tertuju ke ruang keluarga, suami dan anak-anak mereka berada. Di sana, Dimas dan kedua anak mereka tengah fokus memasang puzzle milik Chiki.“Serius banget? Kirain mama ditinggal, soalnya kedengerannya sepi banget," ucap Melati sembari membawa nampan berisi potongan buah semangka dan juga melon.Hanya Abimana yang tidak begitu merespons Melati. Bocah yang mulutnya disumpal empeng warna biru muda itu tampak sangat tertarik ke puzzle di meja. Lain halnya dengan Dimas yang langsung menyambut kedatangan istrinya dengan senyum hangat. Senyum Dimas terus terukir sempurna, meski Abimana yang bertubuh gemoy dan tengah ia pangku, benar-benar tak mau diam.“Aku mau semangka!” ucap Chiki sangat antusias. Ia sampai menghampiri mama sambungnya, kemudian mengambil sebuah garpu untuk memakan potongan buah.“Dek Abi serius banget sih?” Melati tidak bisa untuk tidak menertawakan kehebohan putranya. “Pa, lihat
Air mata Dimas berjatuhan membasahi pipi, mengiringi langkahnya yang kali ini terasa sangat berat. Andai tidak dikuatkan oleh Melati sang istri, mungkin Dimas sudah berakhir meraung-raung sesuka hati. Sebab meski kabar kematian nyonya Filma, sudah Dimas dengar tiga hari setelah dirinya siuman. Mengunjungi peristirahatan terakhir mamanya, teramat membuat Dimas tak berdaya.Ketika Dimas tak kuasa menahan air matanya sambil mendekap nisan mamanya. Di sebelah kirinya, pemandangan berbeda dilakukan oleh istrinya. Di sana, istrinya mendekap nisan pak Sulaiman penuh ketenangan. Air mata Melati memang berlinang, tetapi Melati tampak sangat tegar. Meski dari ketegaran Melati, Dimas merasa bahwa apa yang istrinya lakukan, justru teramat menyakitkan.Meski harus sempat membuatnya merangkak, Dimas berhasil mendekat kemudian mendekap Melati. Tanpa kata, ia melanjutkan tangisnya kemudian membenamkan wajah di punggung istrinya.“Roda kehidupan terus berjalan. Anak-anak butuh kita. Aku butuh Sayang,
Hari ke tujuh Dimas koma. Sekitar hampir pukul dua belas malam. Melati masih terduduk di ruang tunggu. Ia memakai kain khusus untuk menutupi tubuhnya karena tengah memompa ASI.Kini, di sana Melati tidak sendiri. Ia bersama enam orang selaku keluarga pasien ICU yang baru datang. Selain itu, Melati juga ditemani oleh ibu Irma. Di kasur lantai sebelah, wanita itu sudah lelap, memakai bantal dan juga selimut milik Melati.Keluarga Ravael masih menjadi satu-satunya pihak yang membantu Melati secara langsung. Sekarang saja, Chiki dan Abimana, dijaga oleh Ravael maupun pak Bagyo. Keduanya menginap di rumah Dimas, untuk merawatnya. Sementara ibu Irma sengaja keduanya tugaskan untuk menemani Melati, agar Melati tak merasa canggung, layak ya setiap ditemani Ravael.Sebenarnya beberapa sahabat nyonya Filma maupun Dimas, banyak yang mendekat. Banyak dari mereka yang mengirim ini itu, dan ada juga yang sampai berkunjung ke rumah sakit. Namun karena Melati tidak begitu paham apalagi kenal, Melati
Di tengah kerapuhan yang Melati rasakan, kedatangan pengacara keluarga suaminya ke rumah sakit, malah memupus harapan yang susah payah Melati susun.Surat wasiat, seolah sudah tahu bahwa cepat atau lambat, kepergiannya untuk selama-lamanya akan tiba, seorang Dimas sungguh meninggalkan surat wasiat untuk Melati.Semua aset milik Dimas, sudah dipindah nama menjadi milik Melati. Semua itu sudah disetujui oleh nyonya Filma. Sungguh mulianya mama dan anak itu. Melati yang mendengarnya nyaris pingsan karena dari cara suaminya menyiapkan semua kemudahan untuknya, justru menegaskan bahwa niat pria itu meninggalkannya, sudah sangat matang.“Biaya pendidikan untuk anak-anak juga sudah disiapkan—” Pak Hakim, selaku pengacara keluarga Dimas masih menjelaskan.Di bangku tunggu, Melati yang terduduk loyo, makin kesulitan mengendalikan tangisnya. Surat wasiat itu sengaja dikabarkan ke Melati karena berlangsungnya koma yang Dimas alami, sudah hampir empat hari.“Suamiku, di saat hatiku bahkan kehidup
“Aku mau suamiku. Berilah beliau jalan, biarkan kali ini aku yang mengabdi sekaligus membahagiakannya. Andai—” Melati tak kuasa melanjutkan ucapannya yang bahkan ia lakukan dalam hati.“Kamu istri terbaikku, ... sampai kapan pun, kamu wanita yang selalu membuatku bahagia. Walau sebelumnya aku pernah bersama mamanya Chika, tetap saja semuanya terasa berbeda.” Mendadak, Melati teringat ucapan dari suaminya.“Walau kamu bukan wanita pertama dalam hidupku, percayalah ... kamu tetap menjadi yang utama. Bahkan aku selalu berdoa.”“Bahwa jika memang setelah ini masih ada kehidupan untuk aku jalani. Aku maunya dipertemukan sekaligus berjodoh denganmu sejak awal!”“Aku melakukan semua cara untuk bisa mendapatkan kesempatan kemudian mewujudkan harapan itu. Salah satunya, ... aku yang menjadi orang yang lebih baik lagi, dari sebelum-sebelumnya. Selain, ... aku yang akan selalu mencintaimu. Bahkan itu ketika aku sedang berada di titik paling rendah.”Teringat semua ucapan sekaligus petuah dari su
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen