"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku.
"Pak-"
"Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."
Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?
"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut.
"Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.
Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.
Pak Arsen melepaskan pelukannya dari tubuhku, setelah permainan itu usai. Dia duduk di kursi kerjanya masih dengan mata yang tertuju padaku. Lagi, aku sangat malu setelah kami menyelesaikan permainan gila itu. Tubuh telanjangku dia tatapi sangat lama, seakan matanya tak ingin meninggalkan keindahan tubuh itu sedetik pun.Dengan gerakan lamban aku bangun dari atas meja kerjanya dan Pak Arsen menahanku segera."Jangan. Tetaplah berbaring di sana," ucapnya, yang langsung membuat tubuhku membeku.Aku menurutinya dan terus berbaring di sana. Udara dingin yang diembuskan pendingin ruangan itu menyapa seluruh kulit dan membuatku sedikit merinding. Diam. Cukup lama aku terdiam di pandangannya yang terus menyusuri sekujur tubuh."Indah ..." pujinya, suaranya sangat rendah dan berat, seakan hasrat di dalam dirinya kembali naik. "Tubuhmu sangat indah, Nara."Ini bukan kali pertama dia berkata seperti itu, tapi masih sukses membuat pipiku memanas.
Di rumah hanya ada Nindy. Katanya, Ferdy sedang keluar mengurus usaha barunya bersama mertua. Aku tersenyum ironi mengingat lagi perktaan Ferdy tempo hari. 'Mama akan memberi modal usaha kalau aku mengijinkannya menikah lagi.' Dan sekarang aku sadar bahwa ijinku sebenarnya tidak lah mereka butuhkan."Kamu dari mana sejak kemarin?" tanya Nindy, dia berdiri di ambang pintu kamarku dengan tangan yang dilipat di depan dada, seakan tengah memarahi anak gadisnya yang pulang tidak tepat waktu."Bukan urusanmu," sahutku malas. Aku tak punya urusan sama dia. Bahkan menganggapnya ada di rumah ini pun, bagiku masih terlalu sulit."Kenapa bukan urusanku? Kita ini istrinya Mas Ferdy, wajar aku nanya kamu. Gimana kalau nanti Mas Ferdy marah-marah sama kamu? Setidaknya aku bisa bantu menenangkan dia, kan?" lanjutnya lagi.Serius? Dia mau bantu tenangkan Ferdy kalau tahu aku berselingkuh sejak tadi malam? Bahkan jika aku mati di tangan Ferdy pun, tak sudi menerima bant
"Apa?!" Suara Ferdy meninggi. "Nindy, jangan sembarangan kalo ngomong.""Aku nggak bohong, Mas. Aku nggak mungkin salah nyium baunya. Kenapa jadi marah sama aku?" sela Nindy. Dia tak terima disalahkan oleh Ferdy.Kini Ferdy menatapku dengan tatapan jijik yang menghakimi, seakan hanya aku lah manusia yang sangat buruk di sini. Benar aku salah. Aku tidak mengelak apalagi membenarkan diriku. Ketakutan di dalam diri tentunya tak bisa terelakkan."Siapa laki-laki itu, Nara!" sentak Ferdy di depan wajahku. Pundakku sampai terangkat oleh sentakan yang sangat tiba-tiba di saat aku belum mempersiapkan mental.Plak!Kurasakan pipi memanas oleh pertemuan dengan telapak tangan Ferdy. Sakit ... tamparannya perih, panas, dan sangat sakit di pipiku. Di bagian dalam mulut juga kurasakan sangat perih sesaat sebelum rasa aneh mulai tertangkap lidah. Rasa seperti besi berkarat dari cairan yang kuyakini pasti lah darah."Jawab, Nara! Dengan siapa ka
Kemarahan Ferdy semakin terpancing oleh perkataanku. Dia menampar wajahku keras dibarengi Nindy juga menjambak rambutku. Sangat sakit tapi aku hanya diam tak bereaksi. Kurasa bibirku sudah pecah oleh tamparan yang ditambah Nindy, dia memberi tamparan empat kali dan tertegun melihatku mematung."Kamu nggak mau minta maaf?" sentak Ferdy, bisa kulihat kemarahannya bercampur rasa iba. Tapi, tak juga dia cegah istrinya menamparku sekali lagi."Istri kamu memang gila, Mas. Aku nggak ngerti kenapa ada orang kayak dia. Pantas aja mandul, udah selingkuh juga nggak malu pulang ke rumah ini. Minta maaf pun nggak mau." Dia mundur setelah mengatakan itu, tapi matanya tampak takut membalas tatapanku yang tertuju padanya."Kamu pikir dirimu suci? Perebut suami orang!" sentakku. Amarah di dalam diri menggila sampai tak sadar aku melesat ke depan Nindy dan membalas satu tamparan di wajahnya.Itu belum cukup. Aku akan membalas sebanyak pukulan yang dia dan Ferdy be
Aku tertegun di depan pintu apartemen milik Pak Arsen. Niatku untuk melampiaskan kemarahan, luruh begitu saja kala menatap matanya yang gelap penuh amarah. Dia seperti iblis yang siap menerkam mangsanya menatap wajah penuh luka yang hanya diam tak berkutik."Sudah berapa kali kukatakan jangan pernah pergi tanpa ijinku? Apa kau bodoh? Kau tak punya telinga? Kau senang mendapatkan semua ini?" Dia menyentak tanganku masuk ke apartemennya."Duduk di sini!" perintahnya, berlalu ke arah dapur dan kembali dengan cawan besar berisi air hangat.Tangannya sigap membersihkan wajahku yang kuyakini memerah oleh tamparan Ferdy dan Nindy. Hangat dari handuk basah itu terasa perih beradu dengan kulitku. Tak kuhiraukan, hanya membiarkan Pak Arsen melakukannya."Dia menceraikanku," bisikku, hatiku sakit saat kusadari tengah memohin iba dari lelaki ini."Lantas?" Hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.Setidakberguna itu kah hidupku, sampai
Aku tak mengerti akan ucapan Pak Arsen, tapi bisa kupahami kalau dia ingin kami melakukannya di sini. Tangannya bergerak lembut menyentuh pipiku dan diraba sangat pelan. Darahku seperti mendidih, berdesir mengikuti sentuhan yang kini berhenti di dagu."Nara," panggilnya dalam. Suara itu berat dan serak membuat bulu-buluku kembali berdiri.Berbeda. Ini bukan efek dari nikmat seperti yang dia lakukan pada bagian intimku tadi. Tepatnya, aku merasa merinding yang menakutkan. Takut akan matanya yang menggelap seperti predator yang akan memangsaku."Lihat, baru saja kau menikmati cumbuanku dan sekarang kau menjadi takut padaku."Dia bangkit dari sisi ranjang untuk melepaskan sabuk yang mengikat celananya. Awalnya kupikir Pak Arsen akan segera menindihku seperti yang biasanya, tapi kali ini berbeda. Dia lebih fokus melepaskan sabuk itu dari pinggang celananya.Tanpa mempedulikan tatapanku yang ketakutan, Pak Arsen kembali duduk di sisi ranjang
"Ra, Pak Arsen manggil kamu itu."Yunita berkata setelah berbicara di dalam telepon. Aku yang sedang sibuk dengan pekerjaan, refleks mengalihkan wajah padanya."Pak Arsen?" ulangku memastikan dan Yuni mengangguk."Katanya minta kopi yang sama kayak kemarin."Lagi? Aku tahu itu cuma alasan. Kopi yang aku antar kemarin saja tidak pernah dia minum."Oh, oke."Sambil menyeduh kopi pesanan Arsen, Yuni mengamatiku dari tempatnya. Tatapannya yang terlihat aneh sungguh membuatku ingin membuang muka rasanya. Aku takut dia curiga melihatku yang belakangan ini selalu dipanggil ke ruangan itu."Nara, sebenarnya ada apa?" tanya Yuni.Mungkin dia khawatir dengan perceraianku?"A-apa? Nggak usah dipikirin, Yun. Aku baik kok, perceraian nggak bikin aku jatuh," jawabku, memberikan senyum pada Yunita. Aku tak suka membahas Ferdy yang akan membuat hariku rusak."Bukan. Aku tau kamu santai banget kayak nggak a
Tangan Arsen menjalar di pipiku sedang sorot matanya tak lekang menatap langsung dua manikku. Aku jadi malu, menurunkan pandangan ke atas pangkuan. Dia mendengus pelan dan bisa kubayangkan sudut bibirnya terangkat menertawakanku."Ada apa, Nara? Kenapa tubuhmu menegang? Tak bisa santai sedikit?" Ada nada bercanda di balik suaranya, seakan tak punya rasa takut seperti yang kupikirkan sejak tadi."Jangan di sini," bisikku parau. Namun, hanya hatiku yang tahu bahwa ada perasaan ingin disentuh olehnya."Kenapa? Bukannya kita sudah sepakat aku akan memuaskanmu di ranjang?"Apa di sini ada ranjang? Apa dia tidak bisa membedakan antara ranjang dan sofa? Ingin sekali aku berteriak di telinganya berkata kalau kami sedang di kantor dan bisa dilihat orang lain."Nanti ada yang datang." Namun hanya kalimat itu yang mampu keluar dari bibirku, dan tentunya dengan suara yang hampir berbisik.Sekali lagi kudengar dia mendengus, seakan itu