Tari kembali kerumah setelah membereskan urusan gadis kembarnya. Aleeya sudah mulai tenang dengan kehidupan barunya, begitu juga dengan Alisa. Mereka berjanji tak akan berpacaran lagi. Karena hanya mendatangkan kerugian.Malam itu, Tari baru saja menutup Al-Qur’an setelah shalat tahajud saat ponselnya bergetar. Nama Alif terpampang di layar. Hatinya langsung mencelos. Jarang sekali anak sulungnya menelepon sepagi ini.“Assalamu’alaikum, Nak,” ucap Tari lembut.Namun tak ada suara dari seberang sana, hanya isakan kecil. Tari langsung panik.“Alif? Ada apa, Nak? Kamu kenapa?”Suara Alif akhirnya terdengar. Serak. Hancur.“Bun… Nayla… keguguran...”Detik itu juga, dunia Tari runtuh. Ia terduduk. Bibirnya gemetar menyebut nama Allah, menahan tangis yang menggulung di dadanya. Setelah kematian anak pertama Alif beberapa bulan lalu, kini si sulung kembali mendapatkan musibah. Dan ini sangat berat sekali rasanya.“Ya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”“Bunda… aku salah… semua salah
Tari kembali kerumah setelah membereskan urusan gadis kembarnya. Aleeya sudah mulai tenang dengan kehidupan barunya, begitu juga dengan Alisa. Mereka berjanji tak akan berpacaran lagi. Karena hanya mendatangkan kerugian.Malam itu, Tari baru saja menutup Al-Qur’an setelah shalat tahajud saat ponselnya bergetar. Nama Alif terpampang di layar. Hatinya langsung mencelos. Jarang sekali anak sulungnya menelepon sepagi ini.“Assalamu’alaikum, Nak,” ucap Tari lembut.Namun tak ada suara dari seberang sana, hanya isakan kecil. Tari langsung panik.“Alif? Ada apa, Nak? Kamu kenapa?”Suara Alif akhirnya terdengar. Serak. Hancur.“Bun… Nayla… keguguran...”Detik itu juga, dunia Tari runtuh. Ia terduduk. Bibirnya gemetar menyebut nama Allah, menahan tangis yang menggulung di dadanya. Setelah kematian anak pertama Alif beberapa bulan lalu, kini si sulung kembali mendapatkan musibah. Dan ini sangat berat sekali rasanya.“Ya Allah… Innalillahi wa inna ilaihi raji’un…”“Bunda… aku salah… semua salah
Hujan gerimis menyambut langkah Tari saat ia sampai di Taman Kenanga. Matanya menerawang ke arah bangku tua yang berdiri di tengah taman. Di sana, seorang wanita dengan mantel biru duduk sambil memegang payung transparan. Wajahnya tertutup sebagian oleh kerudung dan masker.Tari mendekat dengan langkah hati-hati. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut, tapi karena firasat bahwa sesuatu yang besar akan terbongkar.“Dian?” tanya Tari pelan, berdiri di hadapan wanita itu.Wanita itu menoleh. Ia melepaskan masker dan menurunkan payungnya perlahan. Wajahnya cantik, bersih, tapi ada sorot kelelahan yang kentara.“Iya. Saya Dian.”Tari duduk, menyimpan jarak. “Apa maksud suratmu? Kamu bilang mengenal Mas Nadhif dari masa lalu…”Dian menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah foto dari dompet kecilnya. Foto hitam-putih tua, gambar dua remaja sedang duduk di pinggir pantai. Salah satunya... Nadhif. Masih muda, dengan senyum khas yang selalu membuat hati Tari tenang. Di sampingnya
SEASON 3 bab 28Hujan gerimis menyambut langkah Tari saat ia sampai di Taman Kenanga. Matanya menerawang ke arah bangku tua yang berdiri di tengah taman. Di sana, seorang wanita dengan mantel biru duduk sambil memegang payung transparan. Wajahnya tertutup sebagian oleh kerudung dan masker.Tari mendekat dengan langkah hati-hati. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena takut, tapi karena firasat bahwa sesuatu yang besar akan terbongkar.“Dian?” tanya Tari pelan, berdiri di hadapan wanita itu.Wanita itu menoleh. Ia melepaskan masker dan menurunkan payungnya perlahan. Wajahnya cantik, bersih, tapi ada sorot kelelahan yang kentara.“Iya. Saya Dian.”Tari duduk, menyimpan jarak. “Apa maksud suratmu? Kamu bilang mengenal Mas Nadhif dari masa lalu…”Dian menarik napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah foto dari dompet kecilnya. Foto hitam-putih tua, gambar dua remaja sedang duduk di pinggir pantai. Salah satunya... Nadhif. Masih muda, dengan senyum khas yang selalu membuat hati Tari tenan
Ruang tamu itu mendadak dingin. Bukan karena cuaca, tapi karena kehadiran seseorang yang selama ini hanya ada dalam bisik-bisik penuh kebencian dan dendam. Dara berdiri di ambang pintu, angkuh, tapi wajahnya tampak lelah, seperti seseorang yang menanggung beban terlalu lama. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun menggenggam jemarinya, tampak polos dan bingung melihat semua mata tertuju padanya.Tari menatap Dara, kaget. Aleeya dan Alisa berdiri melindungi ibu mereka secara naluriah.“Anak itu…” ucap Tari, suaranya bergetar.“Anak Nadhif,” potong Dara cepat. “Kandung.”Tari langsung terduduk. Air matanya hampir pecah, tapi bukan karena percaya. Justru karena rasa sakit yang muncul dari kebohongan yang baru saja diucapkan.Aleeya mengepalkan tangan. “Jangan main-main, Bu.”“Aku nggak main-main.” Dara mendongak. “Aku mencintai Nadhif. Bahkan sebelum dia kenal Tari. Kami pernah dekat. Dan anak ini… buktinya.”Suasana menegang. Namun tiba-tiba, Nayara melangkah m
Pagi itu, rumah Tari terasa hening. Matahari menerobos tirai, menyinari meja makan yang belum dibereskan sejak semalam. Aleeya masih duduk termenung, memutar ulang video dari flashdisk yang baru mereka terima malam sebelumnya. Berkali-kali. Seolah berharap ada bagian yang salah. Ada bagian yang bisa dia abaikan.Tapi tidak.Kalimat Dara terngiang jelas di telinganya, menusuk seperti belati."Sama seperti aku menghancurkan Tari."Aleeya menutup laptopnya dengan kasar. Nafasnya sesak. Emosinya mengaduk-aduk. Ia tahu kini bukan saatnya diam. Tapi untuk menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang mereka anggap sahabat ayahnya justru menjadi perusak keluarga, rasanya terlalu pahit untuk diterima.“Aleeya?” suara Tari terdengar dari arah tangga.Aleeya buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh, berusaha tersenyum. “Bunda bangun?”Tari mengangguk lemah. Sejak pulang dari rumah sakit, Tari memang lebih banyak istirahat. Tapi pagi ini, ada semacam kegelisahan dalam matanya. Seperti seseorang y