Raut wajah Arbi langsung berubah serius. Lelaki itu bahkan terlihat menahan napas, membuat Rania penasaran.
Sayang, belum sempat pertanyaan Rania diijawab oleh Arbi, Satria dengan ekspresi kesalnya muncul menghampiri. Bocah itu memaksa mamanya untuk menemaninya tidur. Pagi harinya, Rania bersikap seperti biasa. Ia membuat sarapan ala kadarnya untuk sang suami yang tidak terbiasa makan berat. “Nanti aku pulang agak terlambat, sayang. Soalnya ada acara farewel party. Ada beberapa koki yang di rotasi ke hotel di Bali sama Surabaya.” “Iya, mas.” Alfi menghampiri Satria yang tengah menahan kantuk di kursi makan, “Anak papa kok masih ngantuk aja sih? Perasaan semalem tidurnya lebih awal dari biasanya deh.” Rania tersenyum sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. Karena liburan di villa terpotong, juga janji Alfi yang akan mengajaknya jalan-jalan batal karena urusan pekerjaan, Satria jadi menangis terus semalam. Anaknya itu terus-terusan mengigau sepanjang malam. Alfi terkekeh salah tingkah, lalu mengusap kepala Satria, seolah meminta maaf dan pengertian bocah itu. “Kamu sih maksa kita pulang lebih cepet dari Puncak. Kalau kita gak pulang kan, aku masih punya jatah libur dua hari.” Rania tersenyum dipaksakan, “Maaf ya, mas. Aku harus ketemu sama temenku.” Usai alasan akan membuat kue dengan dengan kakak ipar, Rania kini menggunakan alasan lain. Demi rencananya bertemu dengan Roland hari ini, ia menggunakan alasan akan bertemu teman lama yang kini kerja di luar pulau Jawa. Alfi menghampiri istrinya dan mencium keningnya, “Iya, sayang, aku cuma bercanda kok. Aku juga minta maaf ya karena harus kerja.” “Emmm, mas, di Hotel tempat kamu kerja ‘kan ada Play Groundnya. Gak papa ‘kan kalo aku minta kamu bawa Satria ke sana?” ragu-ragu, Rania meminta izin pada Alfi. Ia tidak mungkin mengajak Satria bertemu Roland. Ia tidak ingin anaknya sampai tahu keburukan sang ayah, “Aku... pergi agak lama sama temenku, jadinya kasian kalo Satria ikut. Aku takut dia juga bete kalo harus nemenin aku seharian.” Alfi tak menjawab. Lelaki itu terlihat sedang menatap tajam penuh pertimbangan ke arah Rania. Rania memegang kedua tangan Alfi, “Untuk kali ini aja. Kamu ‘kan bagian shift siang, jadinya kamu bisa nemenin Satria di rumah dulu, baru deh bawa dia ke Hotel. Nanti begitu aku selesai ketemu temenku, aku janji aku bakal jemput Satria ke sana.” “Temen kamu itu... perempuan ‘kan?” Rania mengangguk ragu, “Iya, perempuan. Kamu gak kenal sama dia, soalnya waktu kita nikah dia gak dateng. Aku juga gak punya fotonya, jadi gak bisa nunjukin ke kamu yang mana orangnya.” “Dia... belum menikah?” “Belum, mas. Kenapa?” Alfi menggeleng, “Enggak, sayang, aku cuma tanya. Hampir semua temen kamu ‘kan udah pada menikah, dan biasanya kalo pergi mereka pasti bawa anaknya.” “Oh itu. Tadinya aku mau titipin Satria di mbak Sani, tapi aku baru inget Satria sama Agil kurang begitu akur. Aku takut mbak Sani kewalahan.” Beruntung, Alfi langsung mengabulkan permintaan itu tidak lama. *** Kini, di jam makan siang, di sinilah Rania, duduk dengan tidak tenang di salah satu meja yang sudah Roland reservasi di daerah Tangerang. Demi perbincangan ini terjaga kerahasiaannya, ia memang meminta Roland untuk menemukan tempat yang sedikit jauh dan lebih aman. “Ran!” teriak Roland dari ujung meja lain. Ia tersenyum sambil melangkah cepat menuju mejanya. Rania berdiri dan mencium pipi kanan-kirinya sahabat suaminya itu dengan wajah datar. Biasanya ia akan tersenyum sumringah karena Roland berubah menjadi sahabatnya juga. Mereka memiliki frekuensi yang sama, sehingga langsung akrab dalam satu kali pertemuan saja. “Sori ya, tadi harus rapat dulu sebelum ke sini. Biasalah, awal tahun banyak banget yang jastip.” Rania menangguk mengerti pada jenis pekerjaan Roland yang bekerja di bidang Usaha Jasa Titip Barang ke Luar Negeri, “Iya, santai aja. Duduk, Land.” “Thank you.” Roland duduk dengan santai di sofa hadapan Rania. Roland langsung membuka buku menu dan mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji. Setelah itu ia dan Rania tak bicara lagi menunggu pesanan diantarkan ke meja. Setelah meneguk minuman soda pesanannya, Roland menatap serius ke arah Rania, “Ran, mau dimulai dari mana?” “Aku...” Rania mengatur nafasnya kesusahan. Ia juga mengelus baby bumpnya dengan tangan bergetar. “Aku mau liat bukti-buktinya dulu.” Roland mengangguk. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah amplop putih yang terekat sempurna. “Semuanya ada di sini, Ran. Buka saat kamu siap. Gak perlu sekarang.” Rania menatap amplop yang kini tersimpan di atas meja dengan rapi. Dengan tangan bergetar hebat, ia meraih amplop itu dan menatapnya. “Ran, gak perlu kamu buka sekarang.” Rania menatap Roland yang menatapnya sendu, “Aku penasaran, Land.” Roland tidak menjawab lagi. Ia langsung menunduk memainkan kuku-kukunya yang rapi. Bukannya langsung membuka perekat amplop, Rania malah sibuk menatap keseluruhan wajah Roland yang tampan blasteran Pakistan. Di wajahnya, tumbuh brewok tipis yang bisa menggoda banyak kaum Hawa. Hidungnya mancung melengkung. Mata bulat Elang itu tidaklah menyeramkan, malah meneduhkan. Beradu dengan dua alis yang tebal gagah. Penampilan Roland memang sekeren itu. Badannya tinggi kekar, dengan otot yang berhasil ia bentuk melalui proses pangjang nge-gym. Hal itu juga ditunjang dengan sikapnya yang manis dan baik. Meski lelaki, tetapi suaranya lembut. Ia juga terdengar tidak pernah dibenci siapa pun sangking baiknya. Lalu mengapa hal sesempurna itu harus tertutup dengan pengakuannya yang menyakitkan hati Rania kemarin pagi? “Land, aku buka ya?” Roland mengangguk. Nafas itu berderu kencang. Tak pernah Rania merasa setegang ini selain mempertaruhkan nyawanya lima tahun lalu saat melahirkan Satria. Ia yang sedang mengandung anak kedua merasa akan melahirkan sekarang saat jari-jari lentiknya membuka perekat amplop itu. Butiran hangat dari kedua matanya yang bulat indah turun cepat. Rania menatap intens semua foto-foto dan lampiran bukti menginap di hotel dari amplop itu. “Ran, maafin aku.” Roland yang kini duduk di samping Rania ikut menangis. Setumpuk foto dan bukti-bukti tiket pemesanan hotel itu terjatuh. Tangan lemah Rania tidak mampu lagi menahan setumpuk bukti yang genap menghancurkan rumah tangganya, masa depan indahnya. “Maafin, aku, Ran.” ucap Roland terus-terusan merasa bersalah. Maaf? Rania tidak tahu apakah ia akan memaafkan Roland apalagi Alfi yang sudah mengkhianati dan mengelabuinya. Bahkan, jauh lebih buruk dari itu-- ia justru tidak bisa memaafkan dirinya karena memberikan ayah sebejat itu untuk Satria dan janin yang dikandungnya. Kini, setelah melihat semua bukti ini, bisakah ia pulang bertemu Alfi dengan perasaan seremuk ini?“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin