Pesta gala terus berlanjut, lampu-lampu kristal memantulkan kilauan anggur, gaun mahal, dan percakapan bisnis yang riuh di sudut-sudut ballroom. Arga berdiri di samping meja koktail, gelas sampanye di tangannya masih utuh sejak tadi—hanya sebagai properti, bukan sesuatu yang ia nikmati.Ia merasa waktunya sudah cukup.Perbincangan dengan investor sudah selesai, presentasi sudah diterima baik. Semua keperluan strategis untuk perusahaan beres malam ini.Tanpa suara, Arga meletakkan gelas sampanye di atas nampan pramusaji yang lewat. Tangannya merogoh ponsel di saku jas, membuka pesan singkat.Dari rumah.Dari dunia nyatanya.Dari Amara.Sebuah foto. Meja makan sederhana. Dua piring kecil. Dua sendok. Sebuah piring kosong untuknya yang belum kembali.Arga memejamkan mata sesaat. Dadanya sesak dengan perasaan bersalah yang memburu dari dalam.Ia membuka mata, kemudian berbalik mencari sosok Alena di antara kerumunan. Ia menemukannya sedang berbincang dengan dua wanita sosialita d
Mobil hitam berkilau itu meluncur perlahan ke depan sebuah ballroom mewah di kawasan SCBD, tempat pesta gala digelar malam itu. Cahaya lampu berkilauan dari kristal megah di langit-langit lobi menyambut tamu-tamu kehormatan yang satu per satu berdatangan.Karpet merah terbentang, kamera media lokal dan internasional berjejer di kedua sisinya, siap mengabadikan setiap gerakan, setiap senyum palsu, setiap kilasan yang akan menjadi headline esok hari.Arga menghentikan mobil dengan presisi di titik drop-off. Petugas valet sudah siaga. Dengan gerakan cekatan, mereka membuka pintu mobil.Arga turun lebih dulu, postur tingginya segera menarik perhatian. Setelan jas hitamnya jatuh sempurna membungkus tubuh atletisnya, kemeja putih bersih kontras dengan kulitnya yang sedikit kecokelatan. Wajahnya dingin, rahang mengeras, pandangan mata tajam mengiris keramaian di hadapannya.Tak lama, Alena muncul dari sisi lain mobil.Gaun emerald green yang membalut tubuhnya tampak berkilau di bawah ca
Di lobi penthouse, Rendy sudah berdiri menunggu. Seragam sopir berwarna hitam pekat membungkus tubuh atletisnya dengan sempurna. Setelan itu sederhana, tapi ketika dipadukan dengan wajah tegas, rahang kokoh, dan postur tegapnya, Rendy terlihat lebih seperti pengawal pribadi daripada sekadar sopir biasa.Begitu Alena keluar dari pintu lift, langkah Rendy tertuju otomatis ke arahnya.Alena tampak memukau pagi itu. Blazer putih bersih membalut tubuh rampingnya, celana panjang hitam berpotongan tegas mempertegas kesan profesional. Rambut hitamnya dikuncir kuda rendah, riasan wajah tipis tapi elegan.Rendy segera menghampiri, mengambil tas kerja Alena sebelum wanita itu sempat meraihnya. Gerakannya mulus, tanpa basa-basi berlebihan, tapi penuh pengabdian yang terukur.“Pagi, Bu Alena,” sapa Rendy sambil menundukkan kepala sedikit, nada suaranya tenang, tak berlebihan.Alena mengangguk singkat, tapi sudut bibirnya terangkat sedikit—sebuah senyuman kecil yang jarang ia berikan.Mereka
Suasana kantor CitraKredit siang itu terasa sedikit lebih lengang dari biasanya.Mungkin karena aura aneh yang perlahan menyelimuti koridor setelah berita pernikahan Arga Bagaskara dan Alena Wibisono tersebar luas.Arga baru saja menyelesaikan rapat singkat dengan divisi kredit mikro, dan kini kembali ke ruangannya. Kemejanya sedikit tergulung di lengan, jas disampirkan di sandaran kursi, dasi dilonggarkan. Penat belum benar-benar pergi dari wajahnya, tapi matanya tetap fokus menatap layar laptop.Pintu ruangannya diketuk.“Masuk,” ucap Arga tanpa mengalihkan pandangan.Pintu terbuka perlahan dan seorang wanita berpenampilan rapi melangkah masuk. Blazer putih gading membungkus tubuh rampingnya, rambut hitam tergerai elegan di bahu. Senyuman tipis menghiasi wajah cantiknya yang keras dan jutek dan sekarang ada kilat berbeda di matanya.Cassandra Wibisono.Arga mengangkat alis, sedikit terkejut. “Cassandra?”Cassandra melangkah lebih dalam, menutup pintu di belakangnya.“Urusan
Di sebuah lounge hotel, Cassandra Wibisono duduk santai dengan kacamata hitam besar menutupi setengah wajahnya. Gaun hitam sederhana melekat pas di tubuhnya, mempertegas aura dingin dan tajam yang memancar darinya.Udara Jakarta siang itu terasa berat, mendung bergelayut di langit, seolah menyimpan hujan yang enggan turun.Di hadapan Cassandra sekarang, seorang pria muda duduk santai, mengenakan hoodie abu-abu pudar, celana jins, dan sneakers lusuh. Rendy Ramadhan Kusuma.Di antara mereka, dua cangkir kopi yang nyaris tak tersentuh.Cassandra menyilangkan kaki, lalu melepaskan kacamata hitamnya perlahan, memperlihatkan tatapan tajam dan penuh perhitungan.“Kamu yakin bisa dipercaya, Rendy?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Tapi kata-katanya menusuk, tidak memberi ruang untuk keraguan.Rendy menyeringai kecil, merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Bukannya kamu sudah tahu jawaban itu dari semalam?”Senyum Cassandra melengkung dingin, mengingat betul ‘transaksi’ mereka s
FLASHBACK ONUdara di kamar pengantin terasa pekat, berat, seperti dipenuhi ribuan kata-kata tak terucapkan yang menggantung di antara dinding marmer dan jendela kaca setinggi langit-langit.Lilin aromaterapi sudah hampir padam, menguarkan sisa wangi vanilla yang terasa hambar, bahkan memuakkan bagi Alena yang kini berdiri terpaku di tengah kamar.Tubuhnya masih terbungkus jubah satin putih tipis. Rambut panjangnya tergerai, sebagian sudah kusut karena tangan-tangan gelisah yang tak tahu harus melakukan apa.Pintu kamar mandi baru saja terayun perlahan. Dari baliknya, Arga muncul, bukan dalam piyama seperti yang semestinya, melainkan masih dengan kemeja putih dan celana hitam dari pesta tadi. Lengan kemejanya tergulung asal, dasi sudah tidak ada, rambutnya tampak berantakan, basah oleh percikan air.Matanya kosong.Wajahnya datar.Tanpa sepatah kata pun, Arga berjalan melintasi kamar, tidak mendekat pada Alena, tidak menatapnya. Langsung ke meja kecil tempat ia melemparkan jas