Share

Bab 7 Sebungkus Permen Mint

Malam harinya seperti biasa Kasih membuka jendela kamarnya dan duduk didekatnya sambil memandang indahnya langit malam. Kemudian ia mengambil buku diary-nya dan tersepu malu. Kemudian Kasih beranjak dari tempat ternyamanya untuk mengambil tas sekolahnya dan duduk kembali ke tempat awal. Kasih pun mengambil bungkus permen mint bertuliskan “I miss you” Kasih kembali tersenyum malu-malu. Ia masih tidak habis pikir bagaimana seorang Abadi yang batu bisa berbuat seromantis ini. Gila ini kepala Abadi kebentur apaan yak kok bisa se sweet tadi. Ya meskipun rada cuek gitu tapi dia kan udah bantuin ngompres pergelangan tangan gue. Please Kasih lu jangan sampe kegeeren dulu, takutnya besok Abadi nya berubah. Kasih pun membuka buku diary miliknya dan menempelkan bungkus permen mint yang diberikan Abadi. Bodo amat di bilang lebay yang penting gue suka, kata mama kan gue harus mengikuti apa kata hati gue. Jadi mulai sekarang gue memutuskan untuk melakukan apapun yang gue suka selagi nggak merugikan orang lain.

Di sisi lain Abadi baru saja sampai rumah dan segera menuju kamarnya. Sesampainya di kamar Abadi memutuskan untuk segera membersihkan diri dan mandi. Setelah selesai Abadi berbaring di ranjang tempat tidur sambil menatap lait-lait kamarnya. Tiba-tiba Abadi tersenyum kecil, ia membayangkan banyak peristiwa yang terjadi selama di sekoah tadi. Entah kenapa seorang Kasih yang keberadaannya selalu mengganggunya kini justru menjadi sebuah keharusan untuknya. Rasanya Kasih sudah menjadi pelengkap kehidupannya selama sekolah berlangsung. Sedang enak-enaknya Abadi memikirkan peristiwa yang ia lewati dengan Kasih, namun tiba-tiba mamanya datang dan membuyarkan semuanya.

“Adi, kamu kemana aja kok baru pulang?”

“Kenapa? Mau Adi nggak pulang sekalian?”

“Kamu ngomongnya jangan gitu dong sama mama.”

“Peduli apa mama sama Abadi.”

“Orang tua mana sih yang nggak peduli sama anaknya sendiri.”

“Orang tua kayak mama.”

“Adi.” Rena pun membentak Abadi karena perlakuan Abadi yang sudah berlebihan.

“Apa? Seumur hidup aku, aku nggak pernah merasakan kepedulian mama. Yang mama peduliin cuma ambisi mama dengan nilai-nilai sekolah aku.”

“Karena itu penting untuk masa depan kamu Di.”

“Yang penting buat mama belum tentu penting buat aku.”

“Kamu bergaul sama siapa sih? Kenapa kamu jadi kurang ajar gini sama mama.”

“Mama tenang aja aku nggak punya teman.”

“Oke Adi, hari ini mama nggak mau berantem sama kamu. Mama cuma mau mengingatkan kamu, kamu udah kelas 3 Di. Dan mulai besok juga kamu ada ujian sekolah kan? Mama nggak mau nilai kamu turun ya.”

Abadi pun tersenyum sinis sambil menatap mamanya.

“Yang mama pertahankan selama ini bukan aku tapi Dave. Karena Dave bisa memberikan apa yang mama inginkan yang selama ini nggak bisa mama dapatkan dari aku.”

“Iya mama memang butuh Dave. Mama nggak mau reputasi keluarga yang sudah mama bangun hancur begitu saja.”

“Mama tenang aja, besok yang ada di rumah ini cuma Dave bukan Abadi.”

Setelah berdebat panjang dengan mamanya, Abadi mengambil tasnya dan memutuskan untuk meninggalkan rumah.

“Mama nggak peduli kamu mau kemana yang penting mama mau besok Dave yang pulang.”

Abadi yang mendengar perkataan mamanya pun semakin marah dan membanting pintu rumahnya. Entah kemana malam ini Abadi pergi.

 Sebenarnya hubungan Abadi dan mamanya memang tidak dekat semenjak Abadi masih kecil. Namun dulu ada papanya yang selalu membela Abadi. Sedangkan sekarang Abadi berjuang seorang diri. Sedari kecil Abadi sudah mengetahui bahwa mamanya sangat terobsesi dengan nilai sekolahnya. Bahkan mamanya pun selalu menyuruhnya mengikuti les tambahan sepulang sekolah. Obsesi mamanya pun semakin menjadi setelah papa Abadi meninggal. Karena tidak ada lagi orang yang bisa menentang keinginannya. Dan hal itu pula yang menjadi Abadi semakin memberontak.

 Keesokan paginya ada seseorang yang mirip Abadi memasuki rumah Rena, Mama Abadi. Rena saat itu sedang menyiapkan sarapan di ruang makan. Setelah mengetahui keberadaan seseorang yang mirip Abadi tanpa berpikir panjang Rena segera menyambutnya dengan senyuman hangat. Senyuman yang bahkan tidak pernah dilihat Abadi seumur hidupnya.

 “Dave, akhirnya kamu datang juga. Mandi gih setelah itu sarapan bareng mama.”

Dave pun hanya menjawabnya dengan senyuman manis dan segera memasuki kamar Abadi. Anehnya apa yang dilakukan Dave di kamar Abadi? Dan siapa Dave? Bagaimana bisa Dave mirip seratus persen dengan Abadi. Hanya gaya berpakaian dan karakternya yang sangat bertolak belakang.

***

 Beberapa hari kemudian Kasih sedang menunggu seseorang di parkiran sekolah. Sebenarnya ia sedikit khawatir sudah 5 hari ia tidak melihat Abadi diseluruh penjuru sekolah. Sudah 5 hari pula Kasih selalu menunggu kedatangan Abadi di parkiran sekolah. Lima hari kemarin Kasih menunggu Abadi sejak pukul 06.30 WIB karena ia tahu kebiasaan Abadi yang selalu berangkat siang ke sekolah namun kali ini ia sengaja menunggu Abadi sejak pukul 06.00 WIB. Dari kejauhan Kasih melihat siluet yang sangat ia kenali. Ya siapa lagi kalau bukan Abadi. Kasih pun menyiapkan diri dengan menyisir rambutnya menggunakan jari-jari tangannya dan mengecek riasan wajahnya dengan cermin kecil yang selalu ia bawa. Kalau ketemu Abadi gue harus ngomong apa ya, hai apa kabar? Duh udah basi. Em atau gue langsung marah aja, yak al habis ngasih gue permen mint yang ada tulisannya I miss you dia langsung hilang nggak ada kabar. Eh tapi nanti kalau gue marah-marah dikira gue kegeeran. Ogah ah sok jual mahal dikit dong, gue kan cewek. Sednag asyiknya Kasih bermolog hingga tanpa disadari Abadi sudah berjalan mendekat. Saat Abadi berjalan tepat dihadapannya Kasih hendak melambaikan tangannya namun segera diurungkan karena Abadi melewatkan keberadaannya entah itu disengaja atau tidak. Lah si Abadi kok kayak nggak kenal gue gitu. Ih ngeselin banget sih. Tahu gitu nggak gue tungguin. Mana kaki gue pegel banget. Kata Kasih dalam hati sambil menunduk, hingga tiba-tiba ia melihat sepasang sepatu berhenti dihadapannya. Entah siapa pemiliknya. Kasih pun tanpa ragu mendongak dan betapa terkejutnya Kasih, ia melihat Abadi berada tepat dihadapannya.

 “Hai Latte Girl.” Sapa Abadi sambil tersenyum manis kepada Kasih dan kemudian pergi meninggalkan Kasih.

Kasih pun yang masih terkejut dengan perlakuan Abadi kembali dikejutkan dengan kebradaan Sedia dibelakangnya.

 “Woi Kasih.”

 “Apaan sih lu ngagetin gue aja.”

 “Nah elu sendiri ngapain di parkiran? Bawa motor lu?”

 “Enggak.”

 “Kas napa muka lu merah gitu. Sakit ya? Atau lu demam?” tanya Sedia sambil meletakkan punggung tangannya di dahi Kasih.

 “Gue nggak apa-apa. Ke kelas yuk.” Kata Kasih dan segera melangkah pergi.

Sesampainya di kelas, Kasih pun segera melempar dirinya ke tempat duduknya. Haah si Abadi kesambet apaan lagi sih? Kok pagi-pagi udah bikin jantung gue senam gini. Mana senyumannya manis banget lagi. Andai si Abadi kayak gitu tiap hari.

 “Woi Kasih, gila punya temen cantik gini malah ditinggalin.” Kata Sedia sambil berjalan menuju tempat duduknya yang tepat didepan Kasih.

 “Lah dari mana aja lu?”

 “Elu yang jalan kayak MRT. Cepet banget gila.”

“Btw anak-anak yang lain kenapa pada sibuk mondar-mandir sih? Emang ada tugas apaan?

“Lagi ngerjain tugas dari Bu Susi yang disuruh bikin makalah?”

“Lah serius? Kok gue nggak pernah dengar yak?”

“Elu molor terus.” Jawab Senja.

“Yah terus gimana dong nasib gue?”

“Santai tugasnya kan kerja kelompok Kas.”

“Gue kelompok siapa dong.”

“Lah pake nanya? Ya kelompok gue sama Senja lah. Mau sama siapa lagi lu.”

“Terus lu pada kapan ngerjain makalahnya? Kok gue nggak dikabarin sih?”

“5 hari yang lalu, gue ngerjain di rumahnya Sedia.”

“Kok gue nggak diajak?”

“Lupa.” Jawaban singkat Senja yang membuat Kasih semakin kesal.

“Jelasin ke gue napa lu pada bisa lupa sama gue.”

“Jadi gini ceritanya...” Sedia pun bersiap untuk bercerita.

#Flashback

 Sepulang sekolah setela Sedia dan Senja yang berusaha membangunkan Kasih mereka justru ditinggal oleh Kasih. Mereka pun memutuskan untuk pergi ke rumah Sedia dan mengerjakan tugas kelompok.

“Lah malah ninggalin.” Kata Sedia.

 “Udah biarin. Balik yuk.”

 “Kasih gimana?”

 “Kasih nggak bakal lupa jalan pulang ke rumahnya Di.”

 “Iya juga sih hehe.”

 “Di gue ke rumah elu ya, sekalian ngerjain tugas yang tadi.”

 “Lu mau ketemu Abang gue kan?”

 “Apaan sih lu orang gue mau ngerjain tugas.”

 “Modus lu payah nih. Gampang ditebak.”

 “Bodo amat. Gimana boleh nggak?”

 “Yaudah ayo.”

Sesampainya di rumah Sedia pun, Sedia mengajak Senja untuk ke kamarnya.

 “Yah ngerjain tugas di kamar lu nih?”

 “Ya nggak lah. Tar lu nggak bisa lihat kegantengan abang gue hahaha.” Kata Sedia samb tertawa.

 “Terus ngapain di sini Di?”

 “Ganti baju Senja, biar lu juga ngerjain tugasnya nyaman.”

Senja pun menuruti perkataan Sedia. Setelah itu mereka segera menuju ruang tamu untuk mengerjakan tugas.

 “Nja, lu ngerasa ada yang ketinggalan nggak sih?”

 “Apaan? Nggak ada.”

 “Ih gue ngerasa ada yang aneh gitu.”

Senja pun berusaha keras berpikir dan mengingat-ingat siapa tahu ada barangnya yang tertinggal di sekolah.

 “Nggak ada Di.”

 “Yaudah deh gue amblin cemilan dulu.”

Sedia pun bergegas menuju dapur untuk megambil stok ceilan miliknya. Di sisi lain Senja juga merasa ada yang janggal. Entah apa yang ia lupakan. Ya Tuhan kalau pun ada yang kelupaan semoga bukan barang yang enting. Tiba-tiba Senja melihat Magenta dengan pakaian santai menuju ke dapur. Ia pun semakn gugup ketika mata miliknya dan Magenta tanpa sengaa salng menatap. Meskipun sangat cepat namun ia tak bisa mengendalikan degup jantungnya yang semakin cepat. Aaa kenapa Kak Genta makin ganteng ya kalo pake baju rumahan gitu. Dan kenapa jantung gue marathon gini. Sedia pun datang dan meletakkan camilannya di meja.

 “Nja lu kenapa? Kok keringatan gitu.”

 “Hah? Nggak gue nggak apa-apa kok.”

 “Hahaha lu gugup ya ketemu abang gue?”

Seja pun hanya bisa menjawabnya dengan tersenyum pasrah.

 “Saran gue sih lu jangan terlalu atif deketin abang gue.”

 “Emang kenapa?”

 “Dia orangnya suka risih gitu”

Perhatian Senja semakin teralihkan dengan keberadaan Magenta yang semakin mendekatinya sambil membawa 2 minuman kaleng.

 “Nih.” Kata Magenta sambil memberikan minuman kaleng kepada Sedia dan kemudian duduk santai dihadapan Senja.

Aduh kenapa Kak Genta malah duduk di depan gue sih? Kenapa nggak pergi aja? Kemana kek,kan konsentrasi gue jadi buyar. Gimana gue bisa fokus bikin makalah kalo dihadapan gue disediain pemandangan langka yang nggak bisa gue lihat setiap hari.

Magenta pun membuat dirinya semakin nyaman dengan rebahan di sofa sambil membaca buku.

 “Tumben nggak lengkap?” tanya Magenta.

Kenapa hemat banget sih ngomongnya.

 “Hah? Emang iya?” Tanya Sedia.

 “Si Kasih kemana?”

 “Oh iya pantesan kayak ada yang kurang.”

Senja pun kaget kenapa ia bisa lupa dengan temannya.

 “Temen sendiri masak lupa.”

 “Namanya orang lupa Bang.”

Perhatian Magenta teralihkan dengan keadaan Senja yang membuatnya tidak nyaman.

 “Senja lu kenapa? Sakit?” Tanya Magenta.

 “Nggak Kak.” Jawab Senja dengan gugup.

 “Kok keringat dingin gitu?”

Sedia yang melihat kondisi Senja pun sangat terheran-heran. Bagaimana bisa siswa sepintar Senja gugup menghadapi kakaknya.

 “Muka lu galak sih. Temen gue jadi takut.” Kata Sedia menggantikan Senja.

 “Emang iya?” Tanya Magenta yang tanpa sadar mendekatkan wajahnya kearah Senja.

Sedia pun yang kaget segera menoyor dah abangnya.

 “Nggak usah deket-deket kali. Tar suka.”

Magenta yang mendengarkan ucapan adiknya pun kembali ke posisi awalnya dan melanjutkan kegiatannya membaca buku.

 “Kalo sakit pulang aja? Jangan nyusahin orang.” Kata Magenta kepada Senja tanpa melihat Senja dan tetap fokus dengan buku yang ia baca.

Senja yang diperlakukan seperti itu pun semakin terkejut dan tidak tahu harus menjawab seperti apa. Sedia yang sadar denan keadaan tersebut berusaha mencairkan suasana.

 “Ke kamar sana Bang! Ngapain di sini, ganggu orang mau beajar aja.”

 “Serah gue rumah rumah gue kenapa jadi lu yang protes.”

 “Ya elu merusak pemandangan mata gue. Pergi sono.”

 “Bawel banget sih. Teman lu aja nggak protes.”

 “Pergi Bang, atau gue seret lu ke kamar ya.”

 “Senja gue nggak apa-apa kan di sini? Gue diem deh nggak bakal ngomong sama sekali.”

Senja pun menerima penawaran Magenta. Untuk pertama kali dalam hidupnya Magenta meminta sesuatu kepadanya.

 “Iya Kak.”

Sedia yang mendengar jawaban Senja pun semakin kesal. Aaa bodo banget sih si Senja kalao abang gue di sini dia nggak bakal fokus ngerjain tugas. Huuft suasana macam apa ini?

 Kasih yang mendengarkan cerita Sedia pun tertawa terbahak-bahak.

“Hahahaha wah harusnya gue ada di situ. Gue pengen tahu gimana muka si Senja kalo lagi gugup.”

“Seumur hidup gue baru kali ini gue lihat Senja keringat dingin gitu.” Kata Sedia.

“Diam lu pada. Gimana nggak gugup kalo orang yang selama ini lu suka ada dihadapan lu?”

“Btw guys, nama gue ada di makalah kan?”

“Ada, santai aja lu. Lagian salah gue sama Senja juga bisa lupa sama lu.” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status