Di bagian lain pasar, Emma berhenti di depan kios dengan simbol air di papan namanya. Sebagai pemanggil air, ia membutuhkan sarung tangan yang bisa memaksimalkan kekuatan serangnya."Selamat pagi, Nona," sapa seorang wanita paruh baya dengan rambut biru keperakan. "Mencari sarung tangan untuk sihir air?"Emma tersenyum. "Bagaimana Anda tahu?""Aura sihirmu," wanita itu menunjuk ke udara di sekitar Emma. "Bergelombang seperti air. Aku punya beberapa pilihan untukmu."Wanita itu mengeluarkan tiga pasang sarung tangan berbeda. "Yang hijau ini untuk pemula, yang biru untuk penyihir berpengalaman, dan yang ungu—" ia menunjuk sarung tangan dengan ukiran seperti gelombang air, "—untuk mereka yang benar-benar menguasai sihir air."Emma mengambil sarung tangan biru, merasakan sensasi dingin yang menyegarkan. "Apa keistimewaannya?""Sarung tangan Tidal Force ini meningkatkan ATK sihir airmu hingga 30%," jelas wanita itu. "Saat kau merapal mantra air, sarung tangan ini akan menarik kelembaban da
Senja mulai turun di Kota Falice. Kristal-kristal di langit-langit gua perlahan berubah warna menjadi kemerahan, menciptakan ilusi matahari terbenam yang indah. Pasar masih ramai, tetapi kini dipenuhi oleh mereka yang mencari makan malam atau hiburan malam.Di sebuah kafe kecil bernama "Crystalline Brew" yang terletak di sudut pasar, kelompok Kiran berkumpul kembali. Aroma kopi dan roti hangat menguar dari dapur, bercampur dengan suara percakapan pengunjung lain dan dentingan gelas."Jadi, bagaimana hasilnya?" tanya Kiran, menyesap minuman hangat berwarna keemasan dari cangkirnya.Jasper tersenyum puas, mengeluarkan sarung tangan ungu dan armor senada dari tasnya. "Sukses besar. Sarung tangan Crimson Ember dan armor Dragon Scale, keduanya kelas ungu—rare." Ia meletakkan keduanya di meja dengan hati-hati. "Keuntungan menjadi petarung arena selama bertahun-tahun.""Berapa harganya?" tanya Emma penasaran."1.500 koin emas untuk keduanya," jawab Jasper santai. "Tapi pedagangnya memberikan
Fajar belum menyingsing di Kota Falice ketika kelompok Kiran berkumpul di depan pintu masuk Tambang Tartaf. Kristal-kristal di langit-langit gua masih redup, menciptakan suasana temaram yang misterius. Udara terasa lebih dingin dan lembab, membuat napas mereka menguap seperti kabut tipis."Semua sudah siap?" tanya Kiran, mengeratkan tali tas ranselnya.Emma mengangguk, mengecek kembali kantong ramuan di pinggangnya. "Sepuluh pot mana, lima ramuan penyembuh, dan tiga ramuan penangkal racun.""Aku juga siap," Chen menambahkan, menunjukkan tongkat sihirnya yang kini dilapisi dengan ukiran pelindung.Jasper mengenakan sarung tangan Crimson Ember barunya, merasakan kehangatan yang mengalir ke jemarinya. "Peta sudah kau periksa, Kiran?"Kiran mengeluarkan peta pemberian Zephyrus, membentangkannya di bawah cahaya obor. "Menurut peta, kita harus menemukan pintu tersembunyi di balik tumpukan batu di sebelah timur tambang."Pigenor, dengan kejelian matanya, menelusuri dinding tambang. "Di sana,
Lorong setelah relung para Imp semakin menurun tajam. Dinding batunya berubah warna menjadi hitam kebiruan dengan urat-urat kristal yang sesekali berpendar ketika terkena cahaya api dari tangan Jasper. Suara tetesan air bergema di sepanjang lorong, menciptakan melodi alam yang misterius."Apa yang sebenarnya kita hadapi di bawah sana?" tanya Emma, suaranya sedikit bergetar. "Imp-imp itu menyebut tentang Penjaga Api Abadi."Kiran menggeleng. "Aku tidak tahu pasti. Zephyrus hanya memperingatkan bahwa kita membutuhkan kekuatan api sejati untuk melewatinya.""Untung kita punya dua pemanggil api," Chen melirik ke arah Kiran dan Jasper.Pigenor, yang berjalan dengan langkah ringan khas Elf, tiba-tiba berhenti. "Ada sesuatu di depan," bisiknya. "Aku bisa merasakan getarannya melalui batu."Mereka melanjutkan dengan lebih waspada. Setelah beberapa belokan, lorong tiba-tiba berakhir pada sebuah jurang lebar. Melintasi jurang itu, terbentang sebuah jembatan batu alami yang sangat sempit—hanya
Kilau ungu kemerahan Orchid Altaalaite yang melayang di atas api abadi menciptakan pantulan cahaya indah di permukaan danau hitam. Untuk sesaat, kelompok Kiran terpana oleh keindahan permata legendaris itu—kristal yang konon merupakan "Air Mata Bumi" dalam legenda Elf."Indah sekali," bisik Emma, matanya tidak lepas dari permata yang berkilauan. "Aku belum pernah melihat permata seindah itu."Kiran mengangguk pelan. "Dengan permata itu, Pedang Bintang akan menjadi senjata yang mampu melawan Warlock Kaisar Oberon."Namun kekaguman mereka tidak berlangsung lama. Permukaan danau yang tadinya tenang tiba-tiba beriak. Dari dalam air hitam pekat, muncul tiga sosok tinggi besar dengan kulit merah tua dan tanduk melengkung di kepala mereka. Mata mereka bercahaya keemasan, dan tubuh mereka diselimuti aura api yang berkobar."Afrit," bisik Pigenor, menarik busurnya dengan waspada.Belum hilang keterkejutan mereka, dua sosok lain muncul dari balik pulau. Tubuh mereka lebih besar dari Afrit, den
Kabut tebal menyelimuti permukaan danau hitam, memberikan perlindungan bagi Kiran yang bergantung pada tali yang dipegang Burs dan Kon. Kedua Imp itu mengepakkan sayap sekuat tenaga, napas mereka terengah-engah karena beban berat yang mereka bawa."Sedikit lagi," bisik Kiran, melihat pulau kecil di tengah danau semakin dekat. Cahaya ungu kemerahan dari Orchid Altaalaite berpendar lebih terang, seolah memanggil-manggil namanya.Namun ketika mereka hanya berjarak beberapa meter dari tepi pulau, permukaan danau tiba-tiba bergolak hebat. Air hitam pekat itu berputar, membentuk pusaran besar di depan mereka."Apa itu?!" teriak Kon panik, sayapnya mengepak lebih cepat.Dari dalam pusaran air, muncul sesuatu yang membuat darah Kiran seketika membeku. Seekor ular raksasa terbuat dari api biru keputihan—sama seperti api abadi yang menjaga Orchid Altaalaite—menjulang tinggi di hadapan mereka. Tubuhnya berpilin-pilin di udara, dengan mata merah menyala dan lidah api yang menjulur-julur."Penjaga
Pertarungan di tepi danau semakin memanas. Emma, dengan sarung tangan Tidal Force berpendar kebiruan, mengerahkan seluruh kekuatannya. Keringat membasahi dahinya sementara ia terus menghindari serangan es dari Marid."Kita tidak bisa terus bertahan!" teriak Emma, napasnya terengah-engah. "Kita harus menyerang bersama-sama!"Chen mengangguk, mempertahankan perisai pelindung yang semakin retak. "Pada hitungan ketiga, aku akan menurunkan perisai. Kita serang bersamaan!"Jasper, dengan sarung tangan Crimson Ember menyala terang, mempersiapkan mantranya. Pigenor menarik busurnya, anak panah cahaya sudah siap diluncurkan."Satu... dua... TIGA!" teriak Chen, menurunkan perisainya.Dalam sekejap, empat serangan berbeda melesat ke arah para penjaga. Emma mengarahkan kedua tangannya ke depan, matanya berkilat penuh tekad."Aqua Gladius Multiplicare!" teriaknya. Puluhan pedang air tercipta dari kelembaban udara, berkilauan dalam cahaya redup gua, melesat dengan kecepatan tinggi menuju dua Marid
Cahaya kemerahan dari kristal-kristal di langit-langit gua menyinari wajah-wajah lelah namun bahagia kelompok Kiran saat mereka keluar dari lorong-lorong gelap Tambang Tartaf. Orchid Altaalaite, tersimpan aman dalam kantong khusus yang terbuat dari kain sutra hitam, terasa hangat di sisi tubuh Kiran."Kita berhasil," ucap Emma, senyum lebar menghiasi wajahnya yang kotor oleh debu dan keringat. "Setelah semua yang kita lalui, akhirnya kita mendapatkannya."Jasper mengangguk, matanya menatap jauh ke arah kristal-kristal yang berpendar di langit-langit gua raksasa. "Perjalanan panjang dari Gunung Rotos, pertarungan di arena, hingga menghadapi para penjaga... semua perjuangan itu tidak sia-sia.""Nethon dan Malven pasti bangga," bisik Chen, suaranya sedikit bergetar saat menyebut nama teman-teman mereka yang telah tiada. "Kita satu langkah lebih dekat untuk membalaskan mereka."Pigenor, yang biasanya tenang, tersenyum tipis. "Dalam tradisi Elf, keberhasilan mendapatkan artefak legendaris
"Kiran bisa diajak bicara," Chen bersikeras. "Dan jika kau benar-benar menyesal...""Tidak semudah itu, Chen," Lila memotong lembut. "Beberapa kesalahan tidak bisa dimaafkan begitu saja."Keheningan kembali menyelimuti kereta. Chen ingin membantah, ingin mengatakan bahwa pengampunan selalu mungkin, tapi ia tahu Lila benar. Pengkhianatan adalah luka yang sulit disembuhkan, bahkan oleh waktu.Setelah hampir satu jam perjalanan melalui hutan, kereta mulai melambat. Di kejauhan, siluet Tembok Sihir menjulang tinggi, berkilau kebiruan dalam kegelapan. Benteng raksasa itu membelah daratan seperti bekas luka pada kulit bumi, memisahkan Kekaisaran Qingchang dari Kerajaan Zolia."Kita hampir sampai," Lila berbisik, matanya waspada mengamati jalan di depan. "Pos penjagaan perbatasan ada di belokan berikutnya."Chen menelan ludah, jantungnya berdebar kencang. "Apa rencanamu?""Aku akan menggunakan otoritasku untuk melewati pos," jawab Lila."Jika ditanya, aku sedang dalam misi rahasia ke Zolia.
Roda kereta berderit pelan melawan jalanan berbatu Kota Begonia. Dua ekor kuda hitam melangkah dengan irama stabil, napas mereka mengepul dalam udara malam yang dingin.Cahaya bulan sabit nyaris tak mampu menembus awan kelabu yang menggantung rendah, menjadikan malam itu lebih gelap dari biasanya.Kereta itu bergerak perlahan, hampir tanpa suara selain detak sepatu kuda dan gemeretak roda kayu. Lambang Kekaisaran terukir di sisi kereta, berkilau samar dalam keremangan.Seorang kusir berjubah tebal duduk di depan, wajahnya tersembunyi di balik tudung yang ditarik rendah.Jalanan kota tampak kosong. Jam malam telah diberlakukan sejak matahari terbenam, memaksa penduduk mengunci diri di rumah-rumah mereka yang rapuh.Hanya sesekali terlihat bayangan prajurit patroli dengan obor di tangan, memeriksa sudut-sudut gelap dengan tatapan waspada.Kereta berbelok ke jalan utama yang mengarah ke gerbang kota. Di sana, sebuah pos penjagaan berdiri dengan obor-obor menyala terang. Enam prajurit ber
Lila!Si Pengkhianat yang menyebabkan penangkapannya. Pengkhianat yang memisahkannya dari teman-temannya. Pengkhianat yang bekerja sama dengan Kekaisaran untuk menjebak Kiran dan kelompoknya di perbatasan.Darah Chen mendidih.Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia ingin berteriak, ingin melemparkan mantra paling mematikan yang ia tahu. Tapi ia menahan diri, menunggu dengan sabar seperti predator mengintai mangsanya.Lila berjalan melalui barisan pasien, sesekali berhenti untuk berbicara dengan para penyihir terluka. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang tampak tulus, tapi Chen tahu lebih baik. Ia telah melihat topeng itu sebelumnya, telah mempercayainya, dan telah membayar harganya yang mahal.Saat Lila mendekat ke arahnya, Chen berbalik dan berjalan cepat menuju ruang obat di belakang balai. Ia tidak bisa menghadapinya sekarang, tidak di depan semua orang. Ia membutuhkan waktu, tempat, dan kesempatan yang tepat.Kesempatan itu datang saat senja mulai turun.Ch
Mentari muncul dengan enggan di atas Kota Begonia, cahayanya yang pucat merayap perlahan melewati puing-puing bangunan yang rusak.Chen berdiri di ambang jendela sempit Balai Pengobatan Perbatasan Qingchang, mengamati kota kelahirannya yang kini hampir tak dikenali. Udara pagi terasa dingin dan lembab, membawa aroma obat-obatan, darah, dan keputusasaan yang telah menjadi teman setianya selama berminggu-minggu.Begonia dulu adalah permata kecil di tepi perbatasan, dengan pasar-pasar ramai dan taman bunga yang indah.Kini, separuh kota telah berubah menjadi lautan puing. Rumah-rumah penduduk biasa diperbaiki seadanya dengan kayu dan kain, menciptakan labirin jalan-jalan sempit yang suram. Atap-atap miring dan dinding retak menjadi pemandangan umum di distrik bawah, tempat rakyat biasa berjuang untuk bertahan hidup.Namun, di kejauhan, di balik tembok tinggi yang memisahkan distrik kumuh dari bagian kota lainnya, menara-menara megah dengan atap keemasan berdiri angkuh.Distrik bangsawan
"Serahkan dirimu," Rustam memerintah. "Hadapi pengadilan klan.""Kita semua tahu pengadilan itu hanya formalitas," Jasper menjawab. "Kalian sudah memutuskan hukumanku.""Kau membunuh putraku!" Rustam berteriak, kesedihannya berubah menjadi kemarahan murni. "Kau pantas mati!"Dengan geraman marah, Rustam berubah menjadi serigala besar dengan bulu keperakan. Ia melompat ke arah Jasper, diikuti oleh beberapa anggota klan lainnya.Jasper tidak punya pilihan. Dengan satu gerakan cepat, ia melepaskan kekuatan barunya.Api biru keemasan menyembur dari kedua tangannya, membentuk dinding api yang mengelilinginya. Para serigala berhenti mendadak, mundur dari panas yang membakar."Aku tidak ingin membunuh siapapun lagi," Jasper berteriak di atas suara api yang berderak."Biarkan aku pergi, dan aku tidak akan pernah kembali.""Tidak akan!" Faris mengangkat tongkatnya, menggumamkan mantra kuno. Angin kencang bertiup, berusaha memadamkan api Jasper.Jasper merasakan kekuatan Faris mendorong apinya,
Reyna - gadis itu mundur, menggelengkan kepalanya."Kau... kau membunuh mereka. Kau membunuh Zahir.""Aku tidak bermaksud," Jasper mencoba menjelaskan, suaranya penuh keputusasaan. "Kekuatan ini baru. Aku tidak bisa mengendalikannya.""Kau seorang penyihir," bisik Reyna, masih mundur. "Kau berbohong pada kami semua.""Reyna, kumohon," Jasper melangkah maju, tapi gadis itu berbalik dan berlari, menghilang di antara pepohonan.Jasper tahu ia tidak punya banyak waktu. Reyna akan kembali ke perkampungan dan memberitahu semuanya. Ia harus sampai ke rumah Saraya, mengambil barang-barangnya, dan pergi sebelum seluruh klan mengejarnya.Dengan kecepatan barunya, Jasper berlari melalui hutan, melewati pohon-pohon dan semak belukar dalam gerakan kabur. Ia sampai di tepi perkampungan dalam waktu singkat, berhati-hati menyelinap di antara rumah-rumah untuk menghindari perhatian.Rumah Saraya tampak tenang saat ia masuk. Wanita itu sedang menyiapkan makanan di dapur, dan menoleh dengan terkejut saa
Jasper mengendap di balik semak belukar tebal, mengamati cekungan di hadapannya. Zahir dan lima pemburu lain berkumpul di sana, masih dalam wujud serigala mereka.Mereka tampak lelah setelah semalaman berburu tanpa hasil. Beberapa telah kembali ke wujud manusia, termasuk dua teman Zahir yang membantu menjebaknya.Tanduk perak Wendigo tergenggam erat di tangan Jasper. Bukti kemenangannya, bukti bahwa ia berhasil bertahan hidup dari rencana keji mereka.Kemarahan menyala dalam dadanya, bersama dengan energi baru yang mengalir dalam pembuluh darahnya."Kita sudah mencari sepanjang malam," salah satu pemburu yang telah kembali ke wujud manusia berkata."Tidak ada tanda-tanda Wendigo."Zahir, masih dalam wujud serigala hitamnya, menggeram rendah. Ia berputar dalam lingkaran kecil, tampak gelisah dan frustrasi."Mungkin kita harus kembali," pemburu lain menyarankan. "Patriark akan kecewa, tapi selalu ada perburuan berikutnya."Zahir berubah kembali ke wujud manusianya dalam gerakan mulus. T
Jasper tidak berhenti.Ia terus mengalirkan energi ke dalam apinya, membuat tornado itu semakin besar dan panas. Wendigo berputar dalam kesakitan, mencoba memadamkan api, tapi sia-sia.Api keemasan Jasper terlalu kuat, terlalu lapar.Dalam hitungan menit, tubuh Wendigo mulai runtuh menjadi abu. Tanduk peraknya jatuh ke tanah dengan dentingan keras, diikuti oleh sesuatu yang berkilau merah dari dalam tubuhnya yang terbakar.Saat api padam, yang tersisa hanyalah tumpukan abu dan dua benda: tanduk perak yang menjadi target Perburuan Malam, dan sebuah kristal merah sebesar ibu jari yang berkilau seperti bara api.Jasper merangkak mendekati sisa-sisa Wendigo, mengabaikan rasa sakit di kakinya.Ia mengambil tanduk perak itu, merasakan beratnya yang tidak wajar untuk ukurannya. Tapi perhatiannya lebih tertarik pada kristal merah yang berdenyut seperti jantung."Monster core," bisiknya, mengenali benda itu dari pelajarannya di Institut Sihir Magentum. "Inti api."Inti monster adalah kristalis
Sepasang mata putih tanpa pupil menatap Jasper dari kegelapan terowongan.Cahaya dari bola api kecil di tangannya menyinari sosok tinggi kurus yang perlahan melangkah maju. Kulitnya pucat seperti tulang yang lama terkubur, dengan tekstur kasar bagai kulit pohon mati. Tanduk perak mencuat dari kepalanya, berkilau dingin di bawah cahaya api.Wendigo Perak. Makhluk legenda yang menjadi target Perburuan Malam."Jadi kau nyata," bisik Jasper, mundur hingga punggungnya menyentuh dinding lubang.Makhluk itu menggeram, suaranya seperti angin musim dingin yang menyapu tulang-tulang kering. Ia membuka mulutnya, menampakkan deretan gigi setajam jarum yang tersusun dalam tiga baris.Lengannya yang panjang dan kurus berakhir dengan cakar melengkung yang tampak mampu mengoyak baja.Jasper menggenggam belati Reyna erat-erat, meski tahu senjata sekecil itu tidak akan banyak membantu. Kakinya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya bahwa ia tidak dalam kondisi untuk bertarung, apalagi melarikan