Share

Kebangkitan Pasca Bercerai
Kebangkitan Pasca Bercerai
Penulis: Nurudin Fereira

Part 1

KEBANGKITAN PASCA BERCERAI

"Kenapa kamu menalakku, Mas?"

"Maaf, Pus, aku tidak kuat punya istri gendut dan jelek sepertimu."

Mas Aldi menunduk, merasa bersalah. Namun, tetap saja. Kata-katanya terdengar begitu menyakitkan di telingaku.

"Pulanglah, Pus, aku sudah bukan suamimu."

Aku hanya bisa menitikan air mata. Walaupun di hati rasanya masih cinta. Tujuh bulan kami menikah, tapi mas Aldi tak pernah sedikitpun mau menyentuhku. Jangankan bermesraan, berbicara berdua saja hanya seperlunya.

Sekarang, aku sudah tahu jawabannya. Kenapa mas Aldi tidak sudi menyentuhku.

Kami memang menikah dari hasil perjodohan. Karena ibu mas Aldi tidak mampu membayar hutang, dan almarhumah ibuku juga sedang sakit-sakitan, akhirnya kami terpaksa dijodohkan. Untuk memenuruti permintaan almarhumah ibu, melihat anaknya menikah, juga untuk membayar hutang-hutang ibu mas Aldi yang belum sempat terbayar.

Awalnya mas Aldi mengira bahwa yang akan menikah dengan dirinya adalah adik perempuanku yang bernama Pita. Tubuhnya lebih ramping, cantik, dan kelihatan manis. Tidak sepertiku yang sudah terlanjur bengkak dan berjerawat. Kesalahan beli foundation, bukannya tambah mulus malah tambah parah.

Akhirnya pernikahan itu terjadi, mas Aldi tampak shock setelah melihat mempelai wanitanya adalah aku. Alhasil aku tidak pernah diperlakukan selayaknya seorang istri oleh mas Aldi.

Rasanya sakit, lebih sakit lagi melihat kebohongan yang mas Aldi pendam selama ini. Bahwa dia tidak mau menunaikan nafkah batin karena tidak berselera menyentuhku. Bukan karena belum siap menjadi seorang suami.

Rumah almarhumah ibu sudah dijual. Hasilnya aku bagi dua dengan Pita. Jatahku diserahkan kepada mas Aldi untuk modal usaha. Dan, usahanya bangkrut. Keren sekali. Kini aku dicampakkan oleh mas Aldi.

Sementara Pita sudah menikah dengan seorang pria pas-pasan. Karena dia satu-satunya saudara yang kupunya, terpaksa aku numpang bersama dia. Sebagai seorang janda perawan.

"Mbak Puspa makan, ya." Pita terlihat sangat prihatin melihat kondisiku. "Mbak Puspa kok jarang makan, sih?"

Aku sudah benci pada diriku sendiri setelah bercerai dengan mas Aldi. Jangankan nafsu makan, nafsu untuk hidup pun juga berkurang.

Merasa hidupku sudah tamat sampai di sini. Tidak perlu memulai bab baru. Karena bab pertama sudah dipindahkan ke bab terakhir.

Pita sebagai adik begitu khawatir. Perempuan yang sedang hamil muda itu sangat perhatian kepadaku selayaknya sedang mengurus mendiang sang ibu.

Sampai beberapa minggu, aku tetap terdiam murung. Malas makan dan malas ngapa-ngapain.

Sampai pada suatu ketika, Fano, suami Pita mulai jengah dengan kehadiranku.

Benar memang, walaupun jarang makan, kehadiranku memang sangat menjengkelkan. Bantu masak tidak, bersih-bersih tidak. Kerjaannya hanya melamun, karena meratapi nasib tragisku.

"Kakakmu itu daripada hidup gitu-gitu terus mendingan suruh bunuh diri aja kenapa."

Tak sengaja aku mendengar perbincangan mereka di dalam kamar.

Hatiku terasa sakit luar biasa.

"Mas, jangan kencang-kencang dong ngomongnya. Nggak enak kalau kedengaran mbak Puspa."

"Biarkan! Biarkan dia dengar sekalian. Aku udah muak lihat wajah kakakmu. Rasanya pengen muntah tahu nggak! Udah gendut, jerawatan, kerjaannya nglamun terus."

Aku hanya bisa menitikan air mata.

"Mbok ya tahu diri, numpang di rumah orang kok kayak gitu. Nyenengin yang punya rumah dikit kan bisa. Owh iya, deng, wajah jerawatan gitu mana bisa nyenengin orang."

Aku sudah tidak sanggup lagi, mendengar cacian dari adik ipar. Masuk ke dalam kamar, kemudian menenggelamkan wajah pada bantal sambil menangis terisak-isak. Cukup lama aku tahan sampai tidak bersuara dari luar.

Baru ketika Fano, berangkat bekerja aku mulai berkemas-kemas memasukan pakaian ke dalam tas, untuk pindah tempat tinggal entah kemana. Aku tahu sejak pertama tinggal di sini, Fano selalu menampilkan wajah tidak suka terhadapku.

Aku harus sadar diri dan segera pergi.

Sambil membawa ransel, aku keluar dari kamar. Menghampiri Pita yang sedang berada di dapur mencuci piring.

"Pita, Mbak mau ...." Bibirku bergetar, susah sekali untuk mengucapkan.

"Mau ke mana, Mbak, kok bawa tas?"

Tubuh bulatku memeluk Pita dengan erat. Adik tercintaku, dialah perhiasaan berhargaku. Kita tidak akan bisa lagi sama-sama berjuang seperti dulu. Karena dia sudah menjadi hak suaminya.

Aku menyeka peluh yang ada di pipi setelah melepas pelukan Pita. "Mbak mau melanjutkan petualangan hidup, Pit."

"Ke mana, Mbak?" Pita juga ikut menangis. "Tinggal di sini aja Mbak untuk sementara waktu. Kalau tidak tinggal di sini, Mbak mau tinggal sama siapa. Yang mbak punya kan cuma aku."

Aku kembali memeluk Pita kemudian menciumnya, gemas.

"Mbak punya kehidupan sendiri yang harus dijalani Pit. Nggak bisa sama kamu."

"Iya ih, terus Mbak mau tinggal di mana?!" Pita bergindik sebal, sambil mengencangkan tangisnya. Adik kecilku, tetaplah adik kecilku. Yang tidak pernah tega melihat sang kakak menderita.

Aku mencoba tersenyum sebisa mungkin, walau air mata ini terus mengalir. Tidak ingin Pita semakin sedih.

"Mbak jawab, dong! Mbak mau tinggal di mana?"

"Adalah pokoknya, nanti Mbak kabarin."

"Tinggal di sini nggak papa, lho, Mbak. Nanti Fano tak gampar kalau ngomong aneh-aneh. Biar bagaimanapun mbak Puspa itu adalah mbakku. Satu-satunya Mbak yang aku punya."

Aku kembali memeluk Pita, kali ini cukup lama. Kemudian berkata. "Enggak, Pit. Sudahlah, mbak bakalan baik-baik saja. Mbak pengen menikmati dunia baru yang lebih indah."

Akhirnya Pita mengikhlaskan aku pergi dari rumah sederhananya.

Sebenarnya aku tidak tahu harus ke mana. Berjalan kaki sejauh mungkin meninggalkan kenangan, meninggalkan pemukiman yang tak henti-hentinya menayangkan masa lalu.

Kulihat Fano menunggangi motornya. Lelaki itu sedikit bingung melihatku yang berjalan sambil membawa ransel. "Hey, Gendut, mau ke mana? Pindah?"

Aku hanya diam saja. Adik ipar nggak ada akhlak.

Fano memelankan laju motornya, mengimbangi langkahku. "Alhamdulilah, kalau kamu pindah, Ndut. Sepet gue ngliat lo di rumah."

Aku menghela napas.

"Mau tak anterin. Takut bannya bocor, lo kan gendut, jerawatan lagi, idih." Fano melesat pergi dengan motornya.

Aku hanya menggeleng pelan. Bukan caciannya yang ku permasalahkan, tapi kelakuannya. Pamit bekerja sudah dari pagi, sekarang masih berkeliaraan di jalan.

Kakiku sudah mulai pegal, berjalan terus tidak tahu arah tujuan. Perut lapar juga tak kupedulikan. Setelah cerai dari mas Aldi aku jarang makan. Makan paling cuma sesendok dua sendok saja.

Tampak dari kejauhan sana, mas Aldi sedang membonceng seorang perempuan. Aku terbelalak. Belum sempat mencari tempat untuk bersembunyi, motor itu sudah melaju kencang melewati genangan air hingga muncrat ke pekaianku.

Aku hanya menghela napas, melihat pakaianku yang basah terkena cipratan genangan air di pinggir jalan. Aku tahu pasti mas Aldi sengaja. Mantan suamiku itu pasti hafal bentuk dan rupaku dari kejauhan karena kita pernah tinggal bersama selama tujuh bulan.

Aku berkaca pada jendela sebuah rumah di balik pagar. Ingin melihat seberapa parah cipratan air yang menempel di pakaian ketat yang aku kenakan. Bukannya ketat, sih, emang tubuhku saja yang terlalu bengkak. Walaupun sekarang terasa longgar dikit.

Benar. Aku sedikit menganga lebar melihat pantulan diriku sendiri di kaca jendela rumah orang. Berat badanku sedikit menurun. Apa karena jarang makan, ya? Atau karena terlalu banyak pikiran?

Aku langsung mengerucutkan bibir, melihat pakianku yang kotor. Serta jerawat di wajahku yang semakin menggila, karena meletus dan tumbuh lagi. Andai aku orang kaya, aku akan facial ke salon ternama, dan mengusir jerawat-jerawat ini.

Aku kembali meneruskan perjalanan, entah ke mana. Semoga sampai ke Zimbawe sana dan bertemu orang-orang yang bisa menerimaku dengan baik.

Semua orang yang kutemui melemparkan tatapan aneh. Mungkin karena melihat pakaianku yang kotor.

Kangen dengan ibu, tapi beliau sudah tenang di alam sana. Kangen dengan Pita, tapi suaminya menyebalkan. Kangen dengan mas Aldi tapi dia benci dengan diriku.

Aiiihh, bayangkan saja aku menikah dengannya tapi tidak pernah disentuh sama sekali. Padahal aku selalu ada untuk dirinya. Bahkan memberikan modal usaha dari hasil warisan ibu. Dia bangkrut pun aku tetap mensupport.

Sekarang aku ditelantarkan, dan mirisnya lagi beberapa waktu yang lalu melihat mas Aldi berboncengan dengan perempuan cantik.

Bahkan dengan sengaja melewati genangan air untuk mengenai pakaianku. Dia tidak pernah sedikitpun menyayangiku.

"Aarghhhh!" Aku menangis lagi. Di sebuah jembatan.

Ini lebih baik. Lebih baik aku terjun ke sungai saja, daripada tidak tahu arah tujuan. Menyusul ibu. Semoga saja. Takutnya aku malah gentayangan dan tidak bisa kembali ke alam yang semestinya karena bunuh diri. Semoga Allah menerimaku.

Sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup.

Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Di bawah sungai sana ada batu besar. Kuperkirakan agar jatuh tepat sasaran batu itu. Biar tidak merasakan sakit apa-apa. Pita maafin, Mbak, ya.

Saat aku hendak melompat ke sungai, ada sebuah mobil hitam mengkilat yang berhenti.

Pria berjas hitam rapi buru-buru turun dan menghentikan niat burukku.

"Puspa, kamu ngapain?"

Aku menelan ludah mendengar ucapan pria tampan itu. Kenapa dia bisa tahu namaku?

"Kamu mau bunuh diri?" ucap pria berambut jambul itu khawatir.

Setelah kupandang lamat-lamat wajahnya, aku baru sadar kalau dia adalah Reno. Teman sekelasku di SMA dulu.

Aku menyeka air mata yang menetesi pipiku.

Reno menghela napas. "Ayo ikut aku, jangan bunuh diri di sini."

Dia menarikku memasuki mobil mewahnya dengan paksa. Tanpa merasa jijik menggenggam tanganku.

Padahal mas Aldi mantan suamiku tidak pernah melakukan itu.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status