Share

Part 9

"Cuma alasan aja, biar lo bisa pulang agak cepet." Reno mulai melajukan mobilnya keluar dari parkiran kafe.

Hingga beberapa menit kemudian, pria itu menghentikan mobilnya di sebuah hotel bintang lima.

Reno melirik jam tangannya. "Bentar lagi mereka pasti datang."

"Siapa, sih?" Perasaanku mulai tidak enak. Mengingat-ngingat satu nama.

"Nah, pas banget. Itu mereka."

Aku langsung menganga lebar melihat mobil mas Aldi memasuki hotel bersama seorang perempuan.  Terlihat dari kaca jendela mobil mereka yang terbuka.

Apakah perempuan yang bersama mas Aldi itu Pita?

"Itu Pita, ya!" Aku menggeram.

Plak!!

Reno langsung menggeplak dahiku, hingga beberapa jerawat meletus.

"Sensi mulu lo sama adiknya." Reno mendengkus, masih mengamati mobil mas Aldi yang hendak di parkirkan. Kami mangamati dari balik pagar gedung.

Tak lama kemudian, mas Aldi turun dengan seorang perempuan bertubuh tinggi semampai yang mengenakan dress mini berwarna merah. Mas Aldi melangkah sambil memegang pinggul wanita itu.

Hatiku langsung terasa terbakar oleh api cemburu. Melihat mantan suami yang dulu begitu dingin itu ternyata begitu manis di depan wanita lain.

"Begitulah tabiat mantan suami lo di luar," ucap Reno lagi.

Aku masih belum memalingkan pandanganku dari mereka berdua yang melangkah hingga masuk ke dalam lobby hotel.

"Kira-kira mau ngapain, hayo?" ledek Reno sambil terkekeh.

Aku mengerucutkan bibir. "Apa maksud kamu nunjukin itu ke aku."

"Hmm, intinya mau sedekat apapun hubungan Pita dan Aldi, jangan biarkan mereka bersatu."

"Apa sih tujuan kamu ngurusin  hidup orang?"

"Orang gendut itu pasti nyebelin, ya?" Reno menghela napas. "Ditolong bukannya terimakasih malah nyalahin. Lagian, nih, ya, Pita itu pembantu gue. Jadi, gue berhak nolongin dia."

Benar juga, sih.

"Gue nolong lo juga karena lo adalah kakak dari pembantu gue."

"Yaudah makasih."

"Belum saatnya lo bilang makasih." Reno kembali melanjutkan mobilnya.

"Lah, kenapa?"

"Nanti, setelah gue berhasil dapetin Pita dari Fano. Lo baru boleh bilang makasih." Reno tersenyum miring.

Aku meremas-remas kepala yang mulai memanas. Sebenarnya siapa, sih, yang jahat di sini?

"Adikku lagi hamil, jangan direbut-rebut, gih!"

"Siapa yang mau ngerebut?" Reno kini sedang fokus menyetir.

"Lah itu?"

"Fano yang mau ngrelain dia sama Aldi. Nah, tugas kita adalah menghentikan itu."

Ya ampun, betapa kasihannya adikku.

Ibu, kenapa anak-anakmu nasibnya begini semua?

Teringat perkataan Fano yang mengatakan bahwa Pita sudah beberapa kali meminta cerai. Fano juga menduga bahwa anak Pita adalah anaknya mas Aldi. Dan, Fano juga sudah hampir menyerah dengan kelakuan Pita.

Tapi Reno di sini? Dia sangat sok baik, dan sok peduli. Aku malah mencurigai dia punya niat jelek. Memanfaatkan situasi untuk mendapatkan Pita.

Tiba-tiba mobil yang dikendarai Reno terhenti. Pria tampan itu mendengkus. "Yah, mogok, Ndut."

Hadeh.

"Tolong dorongin bentar, dong," pintanya santai.

"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri.

"Iyalah siapa lagi?"

"Bodyguard kamu mana? Telpon dong."

"Hp gue lowbat."

Ampun!

"Cepetan dorong, bentar aja. Didorong baru nyala lagi ini."

"Aku nggak kuat lah."

"Badan segede gitu masak nggak kuat?"

"Nggak pernah dorong mobil."

"Mau diajak ke salon nggak? Sampai wajah lo mulus lagi?"

Aku menggigit bibir. Tawaran Reno terlalu menarik untuk ditolak. Terpaksa, akhirnya memilih mengalah saja. Demi beasiswa perawatan wajah di salon kecantikan.

Aku turun dari mobil dengan setengah kesal. Kemudian mendorong mobil Reno. Dia tidak ikut keluar.

Terpaksa aku mendorongnya sendiri. Sedikit berat, tapi perlahan mobilnya mulai berjalan.

"Terus, dorong, terus!" teriak Reno dari depan.

Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk mendorong mobil itu. Sampai beberapa meter, tapi tidak kunjung menyala.

"Terus, Ndut, dikit lagi."

Yah, capek. Tubuhku sudah dibanjiri oleh keringat. Aku menyeka peluh yang ada di dahi kemudian mendorongnya sambil meringis.

Sepertinya Reno sedang mengerjaiku. Sampai beberapa meter lagi akhirnya mobilnya menyala.

Aku membungkuk dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran di wajah.

Sialnya pria itu terus melajukan mobilnya sampai 200 meter. Kemudian berhenti diujung perempatan.

Aku mendengkus. Jauh amat, sih? Kaki ini mulai pegal-pegal untuk menyusul mobil itu. Harusnya nggak usah jauh-jauh juga, biar aku langsung naik dan tidak perlu berjalan jauh untuk menghampiri mobil itu.

Sesampainya di sana aku menghela napas lega. Ingin cepat-cepat duduk dan beristirahat. Energi sudah mulai terkuras. Saat hendak memasuki mobil, Reno tampak memasang wajah muram. "Dorong lagi, Ndut. Mobilnya masih mogok."

Aku menepuk jidat.

Rasanya pengen pinsan.

****

Pagi ini tumben bi Surti tidak datang. Aku bingung mau memasak apa.

"Nggak usah masak, kita sarapan pakai roti tawar aja."

"Seriusan?" tanyaku.

"Ya," jawab Reno sembari mengambil minuman di dalam kulkas. "Bi Surti lagi keluar kota, menghadiri acara pernikahan keponakannya. Mungkin sekitar semingguan beliau ke sana."

Aku mengangguk. Oke, tidak masalah. Lagipula nafsu makanku belum juga membaik akibat terlalu banyak pikiran.

Setelah Reno pergi, aku mengambil roti tawar di dalam kulkas dan beberapa kaleng selai dengan berbagai macam rasa seperti selai kacang, strowberry, coklat, dan lain-lain.

Buah-buahan segar seperti apel, pisang, mangga, dan jeruk juga aku taruh ke atas meja makan. Serta pisau-pisau kecil kupersiapkan di sebelah piring-piring yang berjajar rapi di depan kursi-kursi.

"Banyak banget piringnya."

"Biasanya bodyguard-bodyguardmu ikut makan bersama."

"Mereka gue suruh cuti semua. Tinggal kita berdua."

Tiba-tiba ada rasa yang menghangat di dalam dada. Ah, aku baper.

"Kayak suami istri dong?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Reno menggindikkan bahu. "Iya mungkin."

Deg.

Parah. Reno hampir saja membuatuku jantungan. Kata-katanya berhasil menciptakan debaran-debaran aneh di dalam dada.

Pria itu menarik kursi dan menyuruhku duduk. "Ayo kita sarapan."

Tubuhku terasa kaku untuk digerakkan ketika mendapat perhatian itu.

"Santai aja, gih, cuma ada kita berdua di rumah ini."

Perlahan aku mendaratkan bokong ke kursi. Membenarkan hijab yang acak-acakan kemudian mengolesi roti tawar dengan selai kacang.

Terkadang heran dengan tingkah Reno. Kadang baik, kadang ngeselin, kadang perhatian, kadang seperti orang jahat, kadang alim banget. Apa dia punya kepribadian ganda?

"Nanti lo berangkat kerja ke kafe pakai mobil, ya," ucap Reno sambil melahap makanannya.

"Aku nggak bisa bawa mobil."

"Yaudah berarti jalan kaki."

"Yah, kasih uang saku lah, mau naik angkot atau ojek online gitu."

"Gue nggak punya uang receh." Reno meneguk air putih hingga habis seperempat.

"Sengaja banget, sih, kayak tadi malam suruh dorong-dorong mobil." Aku mengerucutkan bibir.

"Mukanya nggak usah diimut-imutin, lo tetep kayak mak Lampir."

"Iya, iya, aku percaya," dengusku pasrah.

Reno kembali melahap sepotong roti tawarnya.

"Kapan aku diajak ke salon?"

"Emangnya gue suami lo?" tanya Reno dengan mulut yang dipenuhi dengan makanan.

"Kan, janjinya gitu. Mau diajak ke salon."

"Bahasa yang lo ucapin salah. Harusnya nggak gitu ngucapnya ke majikan."

"Terus gimana?"

"Kapan saya dapat bonus tiket facial ke salon kecantikannya. Nah gitu baru pantes."

"Umm, gitu, ya." Aku hanya mengangguk malas. Kebanyakan peraturan dia.

"Besok gue anterin. Siap, kan, dilaser itu jerawat lo, biar musnah semua."

Aku mengangguk. Pasti ujung-ujungnya hanya becanda. Omongannya sangat tidak bisa dipercaya.

***

Saat hendak berangkat ke kafe, aku kepikiran dengan Pita. Semenjak kejadian malam itu, kami tidak pernah kembali bertemu.

Biar bagaimanapun dia adalah adikku. Sebanyak apapun orang yang mencibirnya, aku seharusnya lebih percaya kepada Pita.

Aku ingin ke rumahnya untuk meminta maaf, dan menanyakan baik-baik kepada Pita.

Mungkin, dia sedang berada dalam keadaan terpuruk. Aku harus menemaninya. Barangkali yang dikatakan Reno benar. Bahwa Fano yang jahat.

Atau barangkali yang dikatakan Fano benar. Bahwa Pita dan mas Aldi yang jahat. Aku harus tahu kebenarannya lewat Pita sendiri. Berusaha mengajaknya bicara dari hati ke hati.

Aku putar balik, tidak jadi menuju ke kafe, tapi ke rumah Pita. Berjalan kaki, walaupun sedikit agak jauh. Mau bagaimana lagi. Reno tidak memberi sepeser pun uang. Dia juga menyita ponselku.

Tak apalah, aku absen bekerja. Semoga Reno memakluminya. Keresahan hati ini harus segera disembuhkan.

Ada yang berbeda saat aku menyusuri trotoar demi trotoar. Kemudian masuk ke gang berpaving melewati jalan tikus. Tidak ada yang sudi melihatku. Itu sebuah perubahan.

Biasanya banyak ibu-ibu komplek yang mengawasi setiap langkahku. Dengan tatapan merendahkan. Lebih tepatnya mencibir berat badan dan jerawatku. Gamis yang aku gunakan juga terasa sedikit longgar.

Hampir dua jam aku berjalan kaki. Sudah hal biasa, walaupun disertai oleh keringat, tapi tidak terlalu melelahkan.

Betapa terkejutnya aku sesampainya di depan rumah Pita. Melihat mobil mas Aldi terparkir di sana.

Mereka pasti cuma berdua.

Karena Fano jam segini sudah berangkat bekerja.

Ngapain?

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status