“TIDAAK...!!!” Teriakan Qingyan memecah keheningan malam, menggema menyayat langit yang gelap.Panah itu melesat cepat—cepat sekali—dan menancap tepat di dada Lin Yue. Tepat di atas jantungnya.Darah merah pekat menyembur deras, membasahi kain putih di tubuhnya. Setetes demi setetes jatuh di lantai kayu yang bersih, menciptakan irama kematian yang menakutkan. Aroma bunga lili yang semula memenuhi ruangan, kini tergantikan bau anyir darah yang menyengat.Putri Ronghua berdiri dengan tawa lepas, tubuhnya sedikit gemetar karena euforia kemenangan. “HAHAA! KAU AKAN MATI! INI AKHIRMU, LIN YUEXI!”Namun, Lin Yue tidak mengindahkan suara itu. Matanya tetap menatap ke arah jendela, mencari siluet bertudung yang telah menembakkan panah dan langsung menghilang di kegelapan.Dengan suara setipis bisikan tapi setegas perintah raja, ia berkata pada Fenghuang yang melayang di dekat pundaknya, “Kejar dia... cari tahu siapa dia. Dan... siapa yang membayarnya.”Fenghuang langsung mengepakkan sayap, me
Bab: Warisan Sang IbuAroma bunga lili menyeruak lembut saat Lin Yue melangkah masuk ke dalam paviliun yang dulu menjadi tempat tinggal ibunya. Waktu boleh bergulir, namun kehangatan ruangan itu tetap abadi—menyelimuti hati dengan damai yang membuat dada sesak oleh rindu. Tirai sutra bergoyang pelan ditiup angin malam, membawa harum manis yang seketika menghidupkan kembali memori pelukan sang ibu—hangat, menenangkan, dan penuh cinta.Langkahnya perlahan, seolah takut mengusik kenangan yang tertinggal. Jemarinya menyusuri dinding kayu, berhenti di sebuah lukisan besar di dekat meja rias. Sosok perempuan dalam lukisan itu menatapnya dengan mata teduh—anggun, lembut, tapi menyimpan kekuatan yang tak terbantahkan.Lin Yue menatapnya lama, senyum samar mengembang, namun di balik senyum itu, matanya menyimpan luka. Luka lama... yang kini menjadi bara kecil dalam hatinya."Ini... Ibu Putri Lin Yuexi," bisiknya, nyaris tak terdengar.Tangannya menyentuh kanvas. Lembut, terawat. Aroma khas itu
Di dalam aula istana—Kaisar duduk kaku di atas singgasananya. Udara di ruangan itu terasa berat, seolah menanti badai yang tak terelakkan. Para pejabat menunduk dalam diam, namun lirikan mereka sesekali tertuju pada sang putri yang berdiri tegak di sisi aula—penuh percaya diri, seolah istana ini sudah kembali berada dalam genggamannya.Suara Kaisar akhirnya memecah keheningan. Dalam satu kalimat, ia menjatuhkan petir:> “Mulai hari ini, Selir Agung harus angkat kaki dari Paviliun Angin Timur. Paviliun itu secara hukum adalah milik Putri Lin Yue.”Wajah Selir Agung langsung menegang. Matanya melebar, dadanya naik-turun menahan gejolak. Ia melirik ke arah Lin Yue, seolah hendak menerkam. Tapi yang ia dapati hanyalah senyuman tipis yang penuh ejekan.Lin Yue melangkah maju, langkahnya mantap, matanya tak berkedip. Suaranya dingin, nyaring, dan tajam bagai cambuk. “Selir Agung, telingamu masih sehat, bukan? Maka tak perlu ku ulang perintah Kaisar. Angkat kakimu dari paviliun ku. Sekaran
Qingyan mondar-mandir gelisah di depan pintu, memeluk kedua tangannya yang dingin diterpa angin malam. Langit telah menggantungkan bintang-bintangnya, namun sang nona belum juga kembali. Jantungnya berdegup tak karuan."Nona... cepatlah kembali. Jika ketahuan kau keluar malam-malam begini, habislah aku... nyawaku taruhannya," gumamnya sambil menatap langit dengan resah.Tiba-tiba terdengar suara dari luar.“Qingyan.”Suara tenang itu membuat Qingyan tersentak. Ia segera membuka pintu dan mendapati Lin Yue berdiri di ambang. Pakaiannya berdebu, namun sorot matanya setajam pedang yang baru diasah.“Nona! Dari mana saja?! Putri Ronghua tadi datang mencarimu! Ia murka bukan main!”“Untuk apa dia datang kemari?” tanya Lin Yue dingin.“Seperti biasa... mencaci, memaki, lalu pergi setelah puas mempermalukan nona.”“Kau bilang aku pergi keluar?”“Tidak! Aku bilang nona sedang sakit parah... tak bisa diganggu siapa pun.”Lin Yue mengangguk puas. "Bagus."Ia menyerahkan bungkusan makanan, lalu
Malam yang MencobaKedai tua itu ramai oleh suara tawa, obrolan, dan dentingan gelas. Namun di sudut paling tenang, Lin Yue duduk santai, menikmati teh hangat yang mengepul di cangkir tanah liat. Matanya menatap kosong ke luar jendela, tapi telinganya tajam menangkap obrolan para pengunjung di belakangnya."Kompetisi antar kultivator akan digelar minggu depan," kata seorang pria paruh baya. "Kali ini terbuka untuk umum. Hadiahnya besar."Lin Yue menoleh pelan, mengangkat satu alis. Ia menyeka uap teh yang menempel di bibir cangkir."Kompetisi, ya...? Cocok untuk menguji seberapa jauh aku berkembang..." batinnya. Suara pria itu memudar seiring pikirannya melayang ke latihan panjang di hutan, ke rasa sakit saat tulangnya retak karena tekanan Qi, dan ke senyum khawatir Qingyan setiap kali ia jatuh pingsan karena memaksakan diri.Tehnya habis. Seolah menjawab pikirannya, seorang pelayan mendekat sambil membawa nampan besar.“Tuanku, ini makanannya. Apakah sudah sesuai?”Lin Yue mengangguk
Sebentar lagi ulang tahun Putri Ronghua akan diselenggarakan dengan meriah. Istana dipenuhi kesibukan—para pelayan berlari-lari kecil membawa baki perhiasan, kasim sibuk menyampaikan perintah, dan para selir berlomba-lomba mempersiapkan penampilan serta hadiah terbaik demi menyenangkan sang Putri dan tentu saja, menarik perhatian Kaisar.Namun, di satu sudut istana yang dingin dan sepi, suasananya kontras. Kediaman Putri Lin Yuexi tetap sunyi, tenang, dan tidak tersentuh euforia pesta. Tidak ada pelayan yang sibuk menyiapkan pakaian, tidak ada kasim yang mengatur jadwal latihan tari atau pilihan perhiasan. Hanya suara angin yang sesekali meniup tirai tipis, menggesek lantai batu dengan lembut.Di dalam ruangan, Lin Yuexi duduk santai sambil menyeruput teh hangat, ditemani Qingyan yang berdiri setia di sampingnya. Sesekali mereka tertawa kecil membahas hal remeh, hingga langkah cepat seorang kasim memecah ketenangan.“Putri Lin Yuexi… Anda diundang untuk memeriahkan pesta ulang tahun P