Share

Patah hati

"Nggak apa-apa, sayang. Mas hanya ingin buang air kecil di sini. Tanpa sengaja, Mas berpapasan sama dia."

"Di kamar kita, di lantai atas kan ada kamar mandi. Kenapa mas mau masuk ke kamar mandi di sini?" tanya Nyonya Greta penuh selidik. Sejak tadi, dia melihat gelagat suaminya yang mencurigakan.

"Soalnya, mas udah kebelet sekali sayang. Udah nggak sempat naik ke atas."

Mas Bram lalu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Yang Hani sangat tahu, dia hanya berpura-pura untuk menutupi kesalahannya saat ini. Hani menunduk hormat pada nyonya Greta dengan sopan, menuju ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Hani, tunggu!"

Hani berbalik menghadap kembali pada nyonya Greta.

"Ada yang bisa saya bantu nyonya?" tanya Hani sopan.

"Mata kamu sembab, apa kamu baru habis menangis?" Nyonya Greta menghampiri Hani yang masih berdiri di tempatnya, sambil memandang lekat wajah Hani.

"Maaf, nyonya. Tadi, saat di kamar mandi mata saya kelilipan."

"Kelilipan atau menangis, Hani? Aku nggak suka jika ada yang berani berbohong padaku."

Wajah Hani berubah menjadi pucat. Apa Nyonya Greta sedang meragukannya? Atau, saat ini nyonya Greta sedang mencurigainya. Mata nyonya majikannya ini menatap lekat wajah Hani. Seolah ingin menguliti Hani, jika saja Hani salah berbicara padanya.

"Maaf nyonya, sejujurnya saat melihat kemesraan nyonya dan tuan tadi. Saya merasa sedih."

"Sedih kenapa, apa kamu cemburu?" Nyonya Greta semakin dalam menanyakannya.

"Bu--bukan begitu, Nyonya."

"Lalu, kenapa?"

"Saya teringat pada suami saya yang sudah meninggal tiga bulan yang lalu, Nyonya. Sungguh! Saya berani bersumpah," jawab Hani tanpa bisa menyembunyikan lagi rasa sakit di dadanya.

Sedangkan mas Bram yang berada di balik pintu kamar mandi, sudah merasa sesak. Jangan-jangan ... Hani akan membongkar rahasia mereka? Ini tak boleh terjadi!

"Jadi, suami kamu sudah meninggal?"

"Iya, nyonya." Hani mengangguk pelan sambil menggaruk telapak tangannya yang tak gatal.

"Benar suami kamu sudah meninggal?" tanya nyonya Greta sekali lagi meyakinkan dirinya.

Hani mengangguk.

"Baguslah, kalau begitu!"

Hani tak mengerti apa maksud ucapan nyonya majikannya. Apakah nyonya mulai curiga? Entahlah! Yang penting, bagi Hani, dia masih diperbolehkan bekerja di rumah ini. Dia ingin melihat sepandai apa suaminya berbohong pada istri barunya?

Mas Bram keluar dari kamar mandi. Lalu, mengajak nyonya Greta naik ke lantai atas.

Hati Hani merasa sesak melihat mas Bram memeluk pundak nyonya Greta dengan mesra. Sesekali, tawa nyonya Greta terdengar nyaring. Karena digelitik oleh tangan nakal pria yang masih mempunyai gelar suami bagi Hani saat ini.

Hani memilih pergi ke dapur, menyibukkan diri dengan semua perabot yang perlu di bersihkan.

Dia harus kuat agar bisa bertahan di tempat ini. Baru saja satu hari memulai pekerjaan, namun masalah datang menghampiri. Pilihannya adalah bertahan atau pergi. Tapi, untuk pergi, dia harus memiliki uang yang tak sedikit untuk membayar ganti rugi pada majikan dan penyalur!

Sesekali, Hani menghela napas panjang.

Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu? Satu rupiah saja dia belum mendapatkan hasil pekerjaaan. Bagaimana bisa dia berani meminta keluar dari rumah ini? Atau, kalau dia bisa kabur, mau ke mana?

Rumah? Dia sudah tak miliki lagi!

Bingung bercampur kecewa dan sakit hati. Terluka sudah pasti.

Bagaimana bisa dia menyembunyikan rahasia ini dari majikannya? Jika dia memilih pergi, hanya mas Bram--dan mungkin keluarganya--yang akan diuntungkan.

Kalau bertahan? Dia juga sulit! Apa dia sudah siap setiap hari akan melihat kemesraan mas Bram dan istri kaya suaminya itu?

*****

"Hani, kamu dipanggil nyonya ke kamarnya!" ucap mbok Rumi.

Hani yang sedang mencuci piring menghentikan aktivitasnya dan menoleh pada mbok Rumi.

"Sebentar lagi, akan selesai mbok," jawab Hani, yang masih sibuk menggosok beberapa panci.

"Nggak, Hani. Nanti, mbok Rumi yang akan melanjutkan cuci piringnya. Sana, kamu cepat menuju ke lantai atas. Nyonya Greta akan marah jika kita tak segera melakukan apa yang diperintahkan olehnya," ucap mbok Rumi menjelaskan.

"Baiklan, mbok. Aku akan segera ke atas."

Hani melap tangannya yang masih basah, lalu bergegas naik ke lantai atas.

Para pelayan yang lain tadi sudah pulang semuanya. Jika malam tiba, hanya tinggal mbok Rumi dan Hani yang akan bertugas melayani tuan dan nyonya dalam rumah ini.

Suara gelak tawa nyonya Greta terdengar jelas di telinga Hani yang masih menaiki anak tangga.

Kedua majikannya sedang bersenda gurau sambil tertawa asik. Sampai mereka tak menyadari kedatangan Hani--yang sejak tadi mengetuk pintu kamarnya dengan sopan.

Setelah beberapa menit berlalu, ekor mata nyonya Greta menangkap sosok Hani di depan pintu kamar.

"Hani, ayo masuklah!"

Hani melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar nyonya Greta yang begitu sangat luas dan terlihat sangat mewah.

Tak henti, dalam hatinya, Hani memuji kemewahan kamar nyonya majikannya. Yang kini, menjadi kamar milik mas Bram, suami tercintanya itu.

"Tolong, kamu siapkan air hangat di kamar mandi, yah! Mas Bram mau mandi," pinta nyonya Greta pada Hani.

Hani mengangguk patuh pada majikannya. Dia segera masuk ke dalam kamar mandi milik majikannya ini. Beruntung, selama tiga bulan di yayasan ibu Sukma, Hani sudah belajar untuk menyiapkan air hangat untuk mandi bagi majikannya.

Ibu Sukma sudah mengajarkan semuanya. Jadi, Hani dengan cepat bisa menguasai semua praktek kerja yang diajarkan di rumah yayasan ibu Sukma.

Setelah menyiapkan air, nyonya Greta meminta Hani untuk menyiapkan pakaian bagi mas Bram suaminya.

Tak bisa dipungkiri, Hani sakit hati melihat mas Bram dan nyonya Greta masuk ke kamar mandi bersama. Malam ini, mereka mandi berdua di dalam kamar mandi mewah milik nyonya Greta di depan mata Hani. Tentu saja, mereka pasti tidak hanya mandi!

Telinga Hani mendadak menjadi panas saat suara-suara aneh yang berasal dari dalam kamar mandi itu begitu jelas terdengar berdengung di telinganya.

Suara-suara yang terus mendayu dengan indah, sepertinya nyonya majikannya begitu menikmati perannya sebagai istri di dalam sana.

Pria itu seharusnya masih berstatus suaminya! Bagaimana bisa mas Bram begitu tega padanya?

Hani mengusap air mata di pipinya. Saat mendengar nama mas Bram terus disebut oleh nyonya majikannya dari balik pintu kamar mandi. Sesak sekali! Ingin rasanya berteriak histeris. Dia ingin mengambil pisau lalu masuk ke kamar mandi dan menancapkan ujung pisau itu di dada mas Bram.

Tak tahan lagi, dia keluar dari kamar mewah milik majikannya. Setelah meyiapkan pakaian ganti untuk keduanya, Hani menuruni anak tangga--segera menuju ke kamarnya.

*****

"Kenapa harus aku ya, Tuhan? Kenapa harus melihat dengan mata kepala sendiri semuanya begitu menusuk di dalam hati? Apa aku harus pergi atau putus asa dan mengakhiri hidupku? Buat apa aku hidup jika satu-satunya tempat bersandar yang sangat dipercaya untuk menjaga hati ini melukai begitu sangat dalam?"

Entah mengapa, langkah kaki Hani memilih keluar menuju taman belakang. Dia berharap, dengan menangis di sini, tidak ada orang yang melihat atau mendengar tangisannya.

Air mata Hani terus mengalir. Semakin diusap semakin deras air mata ini.

Hani tambah menangis tersedu-sedu. Dia memikirkan nasibnya yang sungguh tak beruntung. Jika saja dia punya kesempatan untuk bertanya pada mas Bram, apa kesalahan yang dia perbuat hingga mas Bram tega mencampakkannya dengan begitu kejam? Sungguh, perbuatan mas Bram sudah di luar kendalinya!

***

"Siapapun yang kamu tangisi saat ini, mungkin, dia sedang menikmati kehancuran kamu. Jadi, buat apa kamu putus asa? Jika aku jadi kamu, aku akan membalaskan rasa sakit hatiku. Tapi dengan cara yang tak terlihat, sehingga tak ada seorang pun yang tahu suasana hatiku yang sebenarnya." Suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar.

Hani terkejut melihat di belakangnya telah ada seorang pria berkulit putih bersih, bertubuh tinggi, dan kekar, tengah bersedekap dada. Hani segera mengusap air matanya.

"Apa urusannya dengan kamu? Ini adalah masalah pribadi saya. Siapa kamu yang harus mengomentari keadaanku saat ini?"

Mendengar perkataan Hani, pria itu tersenyum menyeringai. "Jika kamu memiliki otak, suatu saat, kamu pasti akan berterima kasih padaku karena telah memberikan jalan keluar dari masalahmu saat ini."

Pria itu lalu berbalik pergi meninggalkan Hani sendirian.

"Siapa pria tadi, apa dia tukang kebun yang belum pulang? Kenapa dia sangat ingin mengomentari masalahku saat ini?" gumam Hani, "Aduh, salah sendiri, Hani! Kenapa juga harus menangis di tempat terbuka seperti ini?"

'Tunggu! Tapi, mengapa aku harus memikirkan perkataan pria tadi? Putus asa atau membalaskan rasa sakit itu dengan balasan yang tak terlihat?' batin Hani. Dua pilihan yang membuat hatinya mulai meragu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status