Longwei mengambil napas dalam-dalam, merapikan jubahnya yang kotor dan sedikit lusuh itu.
Kekuatan baru yang mengalir dalam nadinya membuat tubuhnya terasa jauh lebih bugar dari biasanya. Dengan langkah tenang, ia berjalan menuju pintu. Tak ada lagi langkah gontai penuh keraguan, apa lagi gemetar di tangannya. Ini adalah dirinya yang baru, yang tak akan lagi menjadi sasaran ejekan. Begitu pintu kayu yang kusam itu terbuka, pemandangan di halaman depan langsung menyapa matanya. Di sana, di tengah puing-puing kendi tanah liat yang berserakan—berdiri sosok Feng Liang, pangeran ketiga yang angkuh. Dia mengenakan jubah sutra mewah berwarna biru gelap, ia tampak begitu kontras dengan lingkungan kediaman Longwei yang sederhana dan agak terabaikan. Di kedua sisinya, dua pelayan setianya, Nie dan Lie, berdiri tegak dengan ekspresi congkak. Mereka semua menatap Feng Longwei dengan pandangan merendahkan, seolah ia adalah hama yang baru keluar dari lubangnya. Bau air yang tumpah bercampur dengan aroma tanah basah dan sedikit bau busuk dari lumpur yang ikut terbawa, memenuhi udara. Feng Longwei mendongak, tatapannya bertemu langsung dengan mata Feng Liang. Tidak ada lagi ketakutan di sana, hanya kekosongan yang dingin. "Pangeran Feng Liang. Apa yang anda lakukan membuat kekacauan di kediamanku di pagi hari begini? Tidakkah ada hal yang lebih penting bagi seorang pangeran selain merusak properti orang lain?" Longwei memulai, suaranya tenang, nyaris datar, namun ada nada dingin yang terselip di sana, seperti embun beku yang menyelimuti bilah pedang. Feng Liang tertegun. Alisnya terangkat sedikit, ekspresi angkuhnya sedikit retak. Ini bukan Feng Longwei yang ia kenal. Biasanya, Feng Longwei akan gemetaran, menunduk, dan tergagap saat berbicara dengannya. Namun suaranya ini, dingin dan penuh otoritas, sangat tidak biasa. Bahkan ada sedikit sentuhan arogansi di dalamnya yang tak pernah ia duga bisa dimiliki oleh Feng Longwei si pengecut. "Apa-apaan dengan nada suaramu itu?" Feng Liang akhirnya menemukan suaranya, namun ada keraguan samar yang terselip. Ia berusaha menutupi keheranannya dengan ekspresi marah. "Apakah kau terkena masalah mental setelah terjatuh di danau? Atau mungkin kau lupa posisi busukmu itu?" Sebuah kekehan pelan keluar dari bibir Longwei, tanpa emosi, lebih mirip suara gemerisik daun kering. "Yah, itu karena dirimu melemparku ke danau hingga aku menjadi seperti ini. Apakah ada masalah? Haruskah aku berterima kasih karena telah membuatku 'berubah'?" Ia melangkah maju, perlahan namun pasti, melintasi pecahan gentong. Setiap langkahnya terasa mantap, memancarkan aura kepercayaan diri yang tak terbantahkan. Ia mendekati Feng Liang, mengurangi jarak di antara mereka hingga hanya tersisa beberapa kaki. Feng Liang, tanpa sadar, melangkah mundur satu langkah. Seolah insting primitif membisikkan ada bahaya yang mendekat. Perubahan pada Feng Longwei begitu nyata, mengancam, hingga membuat bulu kuduknya merinding tanpa sadar. Namun, sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, kedua pelayannya yang setia, Nie dan Lie, segera melangkah maju, melindungi tuan mereka. "Dasar sampah tak berguna!" seru Nie, yang bertubuh kekar, nadanya penuh kemarahan. "Beraninya kamu berbicara begitu sombong di hadapan Pangeran Ketiga! Ketahui posisimu!" Ia meludah ke samping, menunjukkan penghinaan. "Benar!" timpal Lie, yang lebih kurus namun tak kalah lancang. "Orang yang tak tahu tatakrama harus dihukum! Mungkin harus dilempar ke danau lagi agar otaknya sedikit jernih!" Seringai sinis terukir di wajah Longwei. Matanya berkilat tajam, laksana kilat di langit malam. "Posisiku? Tatakrama?" ulangnya dengan nada getir, kata-kata itu diucapkannya perlahan, penuh penekanan. "Sejak kapan pelayan rendahan seperti kalian berani berkata seperti itu di hadapan seorang pangeran? ... Dalam diriku terdapat darah kaisar yang mengalir. Menghinaku berarti menghina kaisar saat ini. Tidakkah kalian tahu konsekuensi dari tindakan kalian?" Ia melirik tajam ke arah Nie dan Lie. Seketika, kedua pelayan itu terdiam. Tenggorokan mereka tercekat oleh ludah sendiri. Wajah mereka yang semula dipenuhi kemarahan dan arogansi, kini pucat pasi, tergantikan oleh keterkejutan dan ketakutan yang jelas. Mereka saling pandang, seolah memastikan bahwa mereka tidak salah dengar. Kata-kata Feng Longwei menohok tepat pada titik terlemah mereka: hierarki kekuasaan dan hukum kekaisaran.Zhao Linlin hanya terdiam, bibirnya bergetar menahan amarah. Gadis yang biasanya percaya diri itu kini kehilangan kata-kata. Ia ingin menyangkal, namun Tetua Huyan Li sendiri malah membenarkan perkataan Feng Longwei, membuat kesempatannya untuk menjatuhkan pemuda itu hilang seketika.Feng Longwei kemudian menangkupkan tangan hormat pada Huyan Li. “Tetua, aku mohon maaf jika tindakanku barusan terlihat tidak sopan. Aku hanya ingin menemukan sebanyak mungkin hal yang berguna untuk kultivasiku. Cara yang kulakukan mungkin tidak lazim, tapi hasilnya nyata. Jika Tetua menganggapku salah, aku siap menerima hukuman.”Seketika ruangan kembali sunyi. Murid-murid yang sebelumnya mencemooh kini mulai goyah. Tidak ada yang berani menertawakan lagi, karena bukti kehebatan yang ditunjukkan Feng Longwei terlalu jelas untuk disangkal.Tetua Huyan Li menatapnya lama. Akhirnya ia menghela napas berat.“Feng Longwei,” ucapnya dengan nada lebih tenang, “kau memang berbeda dengan rumor yang beredar. Banya
Senyum tipis di wajah Feng Longwei membuat suasana kian menegang. Para murid yang tadinya merasa berada di atas angin, kini justru merasakan sesuatu yang aneh—seolah senyum itu bukan kepura-puraan, melainkan tanda keyakinan yang tidak bisa mereka mengerti.Tetua Huyan Li menatap lebih dalam, mencoba membaca maksud tersembunyi dari pemuda itu.“Feng Longwei, jangan menganggap remeh perpustakaan ini,” ucap Huyan Li dengan suara berat. “Setiap kitab di sini adalah hasil darah dan keringat para tetua. Menghormati ilmu pengetahuan sama artinya dengan menghormati sekte. Jika kau hanya ingin main-main, aku sendiri yang akan mengusirmu keluar.”Suara tetua itu bergema memenuhi ruangan. Beberapa murid mengangguk puas, wajah mereka penuh kepuasan seperti baru saja memenangkan pertempuran tanpa mengangkat pedang. Zhao Linlin bahkan menyilangkan tangan di dada, bibirnya terangkat mengejek.Namun Feng Longwei tidak terburu-buru menjawab. Ia menghela napas pelan, lalu menangkupkan tangan hormat.“K
Feng Longwei berhenti sejenak, tubuhnya sedikit goyah. Bulir-bulir keringat mengalir di pelipisnya. Ia mengusap dahi, napasnya agak berat, tapi senyuman tipis menghiasi wajahnya.“Sudah sebanyak ini… tak heran tubuhku terasa lelah. Ternyata menyalin setiap kitab memang menguras kekuatan mental,” gumamnya lirih.Meski sedikit letih, ada kepuasan tersendiri yang menyalakan semangatnya. Jika murid lain butuh waktu bertahun-tahun untuk memahami hanya satu atau dua kitab, ia telah menyimpan ratusan dalam benaknya hanya dalam waktu singkat. Ini adalah kekuatan yang kelak akan menjadi fondasi besar dalam perjalanan kultivasinya.Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Sebuah suara nyaring tiba-tiba menggema dari arah belakang, menusuk telinganya bagaikan petir yang menyambar di siang bolong.“Ini dia orangnya, Tetua! Aku melihat dia datang hanya untuk membolak-balik kitab tanpa tahu isinya! Tingkahnya benar-benar seperti orang gila dan mengganggu semua murid di sini!”Suara itu milik Zhao
Mata Feng Longwei menyipit. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari kitab itu. Energi samar seolah merambat dari balik sampul, meski nyaris tak terdeteksi oleh siapapun.Tangannya terulur, meraih kitab itu dengan hati-hati. Saat ia menyentuhnya, seberkas cahaya tipis mengalir ke telapak tangannya. Sesuatu bergetar di dalam dantian, sistem dalam tubuhnya tiba-tiba merespons.[Ditemukan: Kitab Seni Pedang Lima Elemen. Tingkat: Tak diketahui][Apakah ingin menyerap pemahaman dari kitab tersebut?]Jantung Feng Longwei berdetak cepat, tapi wajahnya tetap datar. Ia tidak ingin menarik perhatian murid lain.‘Kitab dengan tingkat yang tak diketahui? Bagaimana bisa ada hal yang seperti ini? Selain itu, sistem sendiri tiba-tiba menunjukkan respon yang baru pertama kali kulihat,’ batinnya.Ia membuka kitab itu perlahan, berpura-pura membaca seperti murid biasa. Namun dalam pikirannya, ia sudah memberi jawaban.“Ya.”Seketika potongan informasi baru melesat ke dalam benaknya. Gerakan dari jurus p
Langkah Feng Longwei mantap menuju barat, meninggalkan keramaian. Suasana sekitar Paviliun Selatan masih dipenuhi suara para murid yang berbisik-bisik membicarakan Feng Longwei, tetapi ia memilih tetap diam, memusatkan pikirannya pada tujuan lain.Pandangannya lurus ke depan, melewati jalur berbatu yang dipenuhi bunga plum berguguran. Cahaya matahari sore menyorot dari sela-sela pohon bambu, menciptakan bayangan panjang di tanah. Hembusan angin lembut membawa aroma tanah bercampur bunga plum yang mekar di tepian jalan. Semua itu menambah kesan damai, namun di balik ketenangan itu, dada Feng Longwei terasa bergejolak.“Apa yang kucari pastinya ada di sana, harus memilih satu yang paling berguna.” gumamnya lirih.Yang dimaksud tak lain adalah perpustakaan sekte.Tak butuh waktu lama baginya untuk tiba. Bangunan megah menjulang di hadapannya, berbeda dengan aula lain di pelataran luar. Dindingnya dari batu putih yang dipoles halus, dipadu kayu hitam mengkilap yang menambah wibawa. Atapn
Langkah Feng Longwei baru saja meninggalkan aula ketika udara seolah mengeras. Tatapannya lurus ke depan, berusaha tak menghiraukan bisikan-bisikan yang masih tersisa dari pelajaran barusan. Namun langkahnya terhenti begitu suara tawa kasar memecah keheningan.“Ha-ha-ha! Jadi ini pangeran keenam Dinasti Yan yang katanya terkenal itu? Dilihat dari tampilannya saja sudah pantas disebut sampah.”Nada meremehkan itu datang dari seorang pemuda berwajah bengis dengan alis tebal melintang di atas mata tajamnya. Dialah Chu Linghu, salah satu murid pelataran luar yang cukup terkenal karena sifatnya yang arogan dan suka mencari masalah.Tawa kencang pun menyusul dari beberapa pemuda lain yang berdiri di belakangnya. Mereka menatap Feng Longwei seperti sekelompok serigala lapar yang baru menemukan mangsanya.Feng Longwei berhenti sejenak, matanya menatap tenang ke arah mereka. Tidak ada amarah yang terpancar, hanya ketenangan yang justru membuat kelompok Chu Linghu semakin kesal.“Heh,” Chu Ling