Share

Luka Bernama Elvara

last update Last Updated: 2025-09-09 01:18:05

Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya.

"Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.

Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau tidak.

Dua orang yang dikirimnya adalah Tara dan Barat. Katanya mereka juga orang Kael. Sepasang kembar fraternal, lelaki dan perempuan, tapi sama sekali tidak memiliki kemiripan wajah.

Tara berambut pendek sedikit di bawah telinga, kurus, dan mengenakan setelan serba pink yang tampak sangat mencolok, agak norak tapi sepertinya dia tidak menyadarinya. Sementara Barat berwajah bulat dengan rambut cepak dan badan sedikit gempal.

Mereka tampak baik, ramah, dan banyak bicara. Terutama Tara. Mereka membawanya ke sebuah rumah tiga lantai. Kedua anak buah Kael itu menyebutnya rumah elang. Semacam markas. Lumayan banyak yang tinggal di sana. Dari anak-anak hingga pria setengah baya. Membuat Vara bertanya-tanya, bagaimana bisa Kael mengumpulkan orang sebanyak itu dalam satu rumah.

“Lantai pertama diisi anak-anak jalanan. Lantai kedua orang-orang seperti kami. Yang kadang bekerja sebagai bodyguard, kadang jadi dept collector dan semacam itulah.” terang Tara. Dia menenteng totebag dari supermarket.

“Jangan terlalu banyak omong, Tara. Kael bilang tidak semua hal perlu kita beritahukan padanya,” Barat menegur saudarinya.

Barat tampak sekali sangat memuja Kael. Nada suaranya penuh penghormatan saat menyebut nama Kael.

Tara mengantarkannya ke sebuah kamar di lantai dua. Ada sebuah tempat tidur bersih dan sofa polos di sudut ruangan. Kamar itu tampak luas karena minimnya perabotan di sana.

“Istirahatlah, El. Elvara kan namamu? Kael bilang panggil kau El saja. Semoga betah. Kalau perlu sesuatu, aku ada di kamar sebelah.” Tara menyerahkan totebag yang katanya berisi pakaian ganti. Membuat Vara sedikit berjengit, ngeri membayangkan bahwa di dalamnya ada pakaian-pakaian serba pink.

Keduanya lantas pamit. Meninggalkan Elvara seorang diri dalam keadaan terbengong-bengong mendengar Kael yang seenaknya mengganti nama panggilannya.

Elvara duduk termenung di tepi ranjang. Berusaha memproses segala kejadian yang terjadi. Pernikahan yang gagal, nama baik yang sudah rusak tak bersisa, wajah yang berubah. Dan totebag dengan gaun yang ternyata benar-benar berwarna merah muda menyala itu tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik.

Dia duduk termenung entah untuk berapa lama sebelum akhirnya tersadarkan oleh derai hujan yang mulai menderas. Hujan. Dia selalu suka hujan. Lagu ciptaannya yang viral dan membawanya dekat dengan Rheiner juga tentang Hujan. Pangeran Hujan. Mengingatnya sekarang, setelah semua kejadian ini membuatnya merasa tolol sekaligus konyol.Tapi dia tidak bisa membenci hujan. Sejak kecil, hujan selalu jadi teman paling menyenangkan untuknya.

Keinginan itu muncul begitu saja. Elvara keluar dari kamar. Meniti anak tangga menuju lantai satu. Rumah yang ketika dia datang tadi tampak ramai oleh seliweran manusia, kini tampak lengang. Ya, siapa juga yang mau berkeliaran ketika cuaca sedang dingin-dinginnya begini.

Halaman depan itu tidak terlalu luas. Tapi kata gadis asisten rumah tangga yang ditemuinya, halaman cukup luas dan biasa digunakan anak-anak camping.

El menuju ke sana. Hujan semakin deras. Gelegar guntur menjadi-jadi. Membuatnya sesaat ragu dan membatalkan niatnya. Tapi dia benar-benar ingin main hujan.

Dingin. Tapi menyenangkan. Riuh rendah suaranya serupa ritme dari komposer sederhana namun terbaik di dunia. Dia merentangkan tangan. Menengadahkan wajahnya. Wajah barunya. Wajah itu tidak lagi menyisakan rasa sakit. Seolah rasa sakit itu sudah tertinggal jauh di belakang.

“Harusnya kusuruh saja Tara mengunci kamarmu dari luar. Agar kau tidak berkeliaran seperti pencuri di rumahku!”

Elvara membuka mata. Menoleh ke asal suara yang dia hafal benar. Kael.

“Aku ... Aku cuma ingin menenangkan diri!”

“Dengan main hujan? Macam bocah lima tahun?” Alis Kael terangkat sebelah.

Kael mendekat. Dengan tatapan elang pemburunya sebelum Elvara sempat membalas ejekannya.

“Ap ....!” Kael membekapnya, memutarnya hingga posisi punggung Elvara menempel ke dada bidang Kael.

“Ayunkan kepalamu ke depan, lalu lemparkan ke belakang!” bisiknya di telinga Elvara. Dia tidak mendengarkan. Malah berusaha meronta dengan sia-sia.

Cengkraman tangan Kael pindah ke leher. Membuatnya kesulitan bernapas. Refleks dia menuruti instruksi Kael, ayunkan kepala ke depan, lalu lemparkan ke belakang.

“Aw!” Kael mengerang, melepaskan cengkramannya. Elvara buru-buru menjauhkan diri.

“Apa yang kau lakukan? Kau mau membunuhku, ya?” tuntut Elvara.

Kael tersenyum miring. Mirip seringai.

“Awal yang bagus untuk gadis lembek sepertimu, Picco!” Dia mengusap dahi, menyibak rambutnya yang jatuh menutupi dahinya karena guyuran air hujan.

“Kau orang gila! Membual kalau kau menyelamatkanku dari laut terkutuk itu, tapi serius sekali hendak mencekikku, dasar aneh! Dan aku tidak bodoh, jadi jangan panggil aku Picco!” Elvara merasakan matanya memanas. Manusia bernama Kael ini benar-benar menjengkelkan. Membuatnya kehabisan kesabaran. Mengingatkannya pada salah satu teman pantinya yang tukang bully dan menyebalkan.

Dan saat ini dia merasa seperti dibully. Merasa lemah. Dan dia benci merasa lemah. Selalu mengingatkannya pada kejadian nahas di kapal itu.

“Tegakkan badanmu! Kepalkan tangan, pasang kuda-kuda!” Hati Kael sepertinya benar-benar terbuat dari batu. Dia tidak menanggapi kemarahan dan rasa frustasi Elvara.

“Aku tidak mau!”

“Kau akan mau!” Wajah Kael berubah serius.

“Kau tidak bisa memaksaku, Kael!” Elvara mundur beberapa langkah. Hujan semakin deras. Membuatnya harus berteriak agar suaranya terdengar jelas di kuping Kael.

“Oh, ya?” Kael kembali tersenyum. Seperti ada ide licik yang terbersit di benaknya. Dia merangsek maju. Elvara yang tidak siap panik, mundur asal-asalan dan terjengkang.

“Benar-benar satu level di atas tolol!” Kael mencemoohnya.

“Aku mau pulang!” Elvara benar-benar menangis sekarang.

“Kalau kau lupa, biar kuingatkan, kau tidak punya rumah! Tidak punya orang tua! Tidak punya apa-apa! Kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus belajar. Dan aku gurumu sekarang.”

“Aku tidak butuh guru sepertimu!” Elvara berdiri, tanah yang becek membuatnya kesulitan, tapi dia bangun dengan hati-hati. Dia tidak akan membiarkan Kael berpuas hati menertawakannya.

“Tegakkan badanmu!” Kael mendekat lagi, menepuk keras bahunya hingga Elvara tersentak. “Kepalkan tangan, jangan lemas seperti adonan roti!”

Elvara mendengus, menatapnya dengan kesal. Tapi Kael sudah menarik lengannya, menyuruhnya memasang kuda-kuda.

“Kaki jangan rapat. Kau pikir musuhmu akan jatuh hanya dengan tatapan manyun itu?”

“Kau benar-benar menyebalkan!” Elvara berteriak, tapi tubuhnya tetap ia atur sesuai perintah Kael, meski dengan ogah-ogahan.

“Pukul aku!” Kael menepuk dadanya. “Ayo, Picco. Pukul sekuat yang kau bisa!”

“Jangan panggil aku Picco!” Elvara melayangkan tinju ke arahnya. Kael menangkis dengan mudah, bahkan sempat terkekeh.

“Itu? Itu tinju bayi, bukan tinju orang yang ingin bertahan hidup!”

Elvara mendesis. Kali ini ia mencoba menendang, tapi Kael menangkap kakinya, membuatnya hampir terjatuh. Ia buru-buru menarik kakinya kembali, wajahnya memerah karena malu.

“Hah! Kau bahkan tidak bisa menjaga keseimbanganmu sendiri. Bagaimana kau mau bertahan hidup?” Kael menatapnya dengan sorot mengejek, tapi ada kilatan serius di baliknya. Kael membuka jaketnya yang basah kuyup dan melemparkannya ke bawah pohon.

Elvara menggertakkan gigi. “Aku benci kau!”

“Bagus,” Kael melangkah mundur, masih dalam hujan deras. Rambutnya menempel di dahi, wajahnya setengah teduh, setengah menantang.

“Kalau kau membenciku, setidaknya kau akan punya alasan untuk jadi lebih kuat. Gunakan amarahmu, El.”

Elvara mengepalkan tinjunya lebih kencang, kali ini tanpa disuruh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Kecurigaan Rachel

    Setelah kompetisi itu, pintu besar akhirnya terbuka untuknya. Vermilion Record resmi menawarkan kontrak. El hampir tidak percaya pada keberuntungannya ketika menandatangani dokumen itu dengan tangan bergetar.Dia hanya gadis biasa yang beberapa bulan lalu terbuang tanpa nama, kini duduk di bawah bendera perusahaan rekaman besar, salah satu yang terbesar di negeri ini.Di hari-hari pertamanya, ia menuangkan semua luka dan keberanian dalam sebuah lirik. Lagu itu ia beri judul Elegi Mawar. Tentang seorang gadis yang meski berkali-kali dijatuhkan dunia, namun tetap berdiri dan melawan dengan durinya. Kael bilang, liriknya lumayan. Meski dia hanya memberi nilai enam.Hari ini dia berkunjung ke Vermillion Studio. Membawa demo lagunya dengan ditemani Barat. Pria itu berpakaian kasual hari itu. Mengenakan kaos putih dan jaket jeans, bukan jaket kulit ala gangster seperti biasanya.Saat demo sederhana lagunya diperdengarkan, Kirani Lingga mendengarkan dalam diam. Penyanyi papan atas itu menutu

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Jalan Masuk

    El memperhatikan dari kejauhan ketika Miselia meninggalkan pasangan suami istri manipulatif itu. Rachel dan Rheiner. Wajah gadis itu muram. Dia menunduk seperti sedang tertekan. El berusaha menepis rasa iba. Dia tidak boleh mengasihani gadis yang kemungkinan besar adalah kaki tangan Rheiner.“Apa yang kau lakukan di sini?” Suara Rheiner di ujung lorong mengagetkannya. El merasa lututnya lemas, karena suasana lorong itu lengang.“Eh, tidak, Pak. Saya salah tempat sepertinya.” El berusaha mengatur suaranya agar terdengar biasa. Rheiner mendekat beberapa langkah.“Yakin?” Dia tersenyum miring. Kentara sekali juga berusaha bersikap biasa saja. Melihat Rheiner selalu membuatnya bertanya-tanya, apakah di luar sandiwaranya, dia pernah sekali saja mencintai dirinya sebagai Vara. Tapi, dia sudah menjalin hubungan lama dengan Rachel bahkan mungkin sebelum mendekatinya. Jadi rasanya tidak mungkin.Tugas El ada tiga sekarang. Mencari tahu asal usulnya, balas dendam pada Rheiner, dan melupakan pria

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Boneka Bernama Miselia

    “Selamat pagi, Putri tidur!” Suara Kael menyeruak ke indra pendengarannya. El refleks bangun dari tempat tidur dan duduk tegak.Kael duduk bertopang kaki di sofa seberang ruangan. Menatap balik ke arah El yang tampak terkejut akan kehadirannya.“Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau bisa masuk?” Suara El lebih tajam dari yang dimaksudkannya. Tidak El. Jangan terbawa emosi. Kau harus ikuti permainan Kael. Jangan mau jadi mainannya.“Pertama, kau terlambat untuk makan malam. Tara tidak berhasil membangunkanmu. Kedua, ini tempatku, dan aku bisa masuk ke ruang mana pun yang kumau!” Tidak ada rasa sungkan apalagi penyesalan dalam suaranya.El mendengus. “Jadi, aku sama sekali tidak punya privasi di sini?” sindir El tajam. Seperti biasanya, Kael sama sekali tidak terpengaruh dengan sindiran El.“Ini makananmu. Mi laut pedas dengan topping udang. Sarapanlah, kemudian kita akan melanjutkan misi hari ini.” Kael berdiri. Jika tadi, sepertinya dia hendak mengatakan sesuatu, sepertinya pemu

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Kecurigaan El

    Kael kembali membawanya ke rumah elang. Selama perjalanan, terhitung dua kali El mencoba kabur dengan lompat dari mobil yang bergerak cepat. Kael terpaksa mengikatnya sepanjang perjalanan.El merutuk, menyumpah-nyumpah, tapi Kael sama sekali tidak menggubrisnya sampai El kelelahan sendiri dan bungkam selama sisa perjalanan."Turun!" Kael membuka pintu mobil dan menyuruhnya turun. El tetap berdiam di dalam mobil. Tidak sudi disuruh-suruh."Kau menantangku, El?" Suara Kael terdengar kesal. Mencondongkan tubuh ke arah El."Kau ingin aku menggendongmu turun, atau sekalian menggendongmu sampai kamar, membuat orang-orang di sini berasumsi liar tentangmu?" Dia mengancam. El mendengus. Kael selalu tahu titik lemahnya."Kau penjahat, Kael!""I am! Turun, sekarang!" Tak ada bantahan sama sekali atas tuduhan itu.El tidak punya pilihan lain selain menurut. Dia turun. Berjalan meninggalkan Kael. Beberapa anak jalanan yang berpapasan dengannya mengapa dengan riang. El memaksakan diri tersenyum, ke

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Jejak yang Terhapus

    “Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk

  • Kembalinya Sang Pewaris yang Terbuang   Identitas Baru

    Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status