Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya.
"Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.
Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau tidak.
Dua orang yang dikirimnya adalah Tara dan Barat. Katanya mereka juga orang Kael. Sepasang kembar fraternal, lelaki dan perempuan, tapi sama sekali tidak memiliki kemiripan wajah.
Tara berambut pendek sedikit di bawah telinga, kurus, dan mengenakan setelan serba pink yang tampak sangat mencolok, agak norak tapi sepertinya dia tidak menyadarinya. Sementara Barat berwajah bulat dengan rambut cepak dan badan sedikit gempal.
Mereka tampak baik, ramah, dan banyak bicara. Terutama Tara. Mereka membawanya ke sebuah rumah tiga lantai. Kedua anak buah Kael itu menyebutnya rumah elang. Semacam markas. Lumayan banyak yang tinggal di sana. Dari anak-anak hingga pria setengah baya. Membuat Vara bertanya-tanya, bagaimana bisa Kael mengumpulkan orang sebanyak itu dalam satu rumah.
“Lantai pertama diisi anak-anak jalanan. Lantai kedua orang-orang seperti kami. Yang kadang bekerja sebagai bodyguard, kadang jadi dept collector dan semacam itulah.” terang Tara. Dia menenteng totebag dari supermarket.
“Jangan terlalu banyak omong, Tara. Kael bilang tidak semua hal perlu kita beritahukan padanya,” Barat menegur saudarinya.
Barat tampak sekali sangat memuja Kael. Nada suaranya penuh penghormatan saat menyebut nama Kael.
Tara mengantarkannya ke sebuah kamar di lantai dua. Ada sebuah tempat tidur bersih dan sofa polos di sudut ruangan. Kamar itu tampak luas karena minimnya perabotan di sana.
“Istirahatlah, El. Elvara kan namamu? Kael bilang panggil kau El saja. Semoga betah. Kalau perlu sesuatu, aku ada di kamar sebelah.” Tara menyerahkan totebag yang katanya berisi pakaian ganti. Membuat Vara sedikit berjengit, ngeri membayangkan bahwa di dalamnya ada pakaian-pakaian serba pink.
Keduanya lantas pamit. Meninggalkan Elvara seorang diri dalam keadaan terbengong-bengong mendengar Kael yang seenaknya mengganti nama panggilannya.
Elvara duduk termenung di tepi ranjang. Berusaha memproses segala kejadian yang terjadi. Pernikahan yang gagal, nama baik yang sudah rusak tak bersisa, wajah yang berubah. Dan totebag dengan gaun yang ternyata benar-benar berwarna merah muda menyala itu tidak membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Dia duduk termenung entah untuk berapa lama sebelum akhirnya tersadarkan oleh derai hujan yang mulai menderas. Hujan. Dia selalu suka hujan. Lagu ciptaannya yang viral dan membawanya dekat dengan Rheiner juga tentang Hujan. Pangeran Hujan. Mengingatnya sekarang, setelah semua kejadian ini membuatnya merasa tolol sekaligus konyol.Tapi dia tidak bisa membenci hujan. Sejak kecil, hujan selalu jadi teman paling menyenangkan untuknya.
Keinginan itu muncul begitu saja. Elvara keluar dari kamar. Meniti anak tangga menuju lantai satu. Rumah yang ketika dia datang tadi tampak ramai oleh seliweran manusia, kini tampak lengang. Ya, siapa juga yang mau berkeliaran ketika cuaca sedang dingin-dinginnya begini.
Halaman depan itu tidak terlalu luas. Tapi kata gadis asisten rumah tangga yang ditemuinya, halaman cukup luas dan biasa digunakan anak-anak camping.
El menuju ke sana. Hujan semakin deras. Gelegar guntur menjadi-jadi. Membuatnya sesaat ragu dan membatalkan niatnya. Tapi dia benar-benar ingin main hujan.
Dingin. Tapi menyenangkan. Riuh rendah suaranya serupa ritme dari komposer sederhana namun terbaik di dunia. Dia merentangkan tangan. Menengadahkan wajahnya. Wajah barunya. Wajah itu tidak lagi menyisakan rasa sakit. Seolah rasa sakit itu sudah tertinggal jauh di belakang.
“Harusnya kusuruh saja Tara mengunci kamarmu dari luar. Agar kau tidak berkeliaran seperti pencuri di rumahku!”
Elvara membuka mata. Menoleh ke asal suara yang dia hafal benar. Kael.
“Aku ... Aku cuma ingin menenangkan diri!”
“Dengan main hujan? Macam bocah lima tahun?” Alis Kael terangkat sebelah.
Kael mendekat. Dengan tatapan elang pemburunya sebelum Elvara sempat membalas ejekannya.
“Ap ....!” Kael membekapnya, memutarnya hingga posisi punggung Elvara menempel ke dada bidang Kael.
“Ayunkan kepalamu ke depan, lalu lemparkan ke belakang!” bisiknya di telinga Elvara. Dia tidak mendengarkan. Malah berusaha meronta dengan sia-sia.
Cengkraman tangan Kael pindah ke leher. Membuatnya kesulitan bernapas. Refleks dia menuruti instruksi Kael, ayunkan kepala ke depan, lalu lemparkan ke belakang.
“Aw!” Kael mengerang, melepaskan cengkramannya. Elvara buru-buru menjauhkan diri.
“Apa yang kau lakukan? Kau mau membunuhku, ya?” tuntut Elvara.
Kael tersenyum miring. Mirip seringai.
“Awal yang bagus untuk gadis lembek sepertimu, Picco!” Dia mengusap dahi, menyibak rambutnya yang jatuh menutupi dahinya karena guyuran air hujan.
“Kau orang gila! Membual kalau kau menyelamatkanku dari laut terkutuk itu, tapi serius sekali hendak mencekikku, dasar aneh! Dan aku tidak bodoh, jadi jangan panggil aku Picco!” Elvara merasakan matanya memanas. Manusia bernama Kael ini benar-benar menjengkelkan. Membuatnya kehabisan kesabaran. Mengingatkannya pada salah satu teman pantinya yang tukang bully dan menyebalkan.
Dan saat ini dia merasa seperti dibully. Merasa lemah. Dan dia benci merasa lemah. Selalu mengingatkannya pada kejadian nahas di kapal itu.
“Tegakkan badanmu! Kepalkan tangan, pasang kuda-kuda!” Hati Kael sepertinya benar-benar terbuat dari batu. Dia tidak menanggapi kemarahan dan rasa frustasi Elvara.
“Aku tidak mau!”
“Kau akan mau!” Wajah Kael berubah serius.
“Kau tidak bisa memaksaku, Kael!” Elvara mundur beberapa langkah. Hujan semakin deras. Membuatnya harus berteriak agar suaranya terdengar jelas di kuping Kael.
“Oh, ya?” Kael kembali tersenyum. Seperti ada ide licik yang terbersit di benaknya. Dia merangsek maju. Elvara yang tidak siap panik, mundur asal-asalan dan terjengkang.
“Benar-benar satu level di atas tolol!” Kael mencemoohnya.
“Aku mau pulang!” Elvara benar-benar menangis sekarang.
“Kalau kau lupa, biar kuingatkan, kau tidak punya rumah! Tidak punya orang tua! Tidak punya apa-apa! Kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus belajar. Dan aku gurumu sekarang.”
“Aku tidak butuh guru sepertimu!” Elvara berdiri, tanah yang becek membuatnya kesulitan, tapi dia bangun dengan hati-hati. Dia tidak akan membiarkan Kael berpuas hati menertawakannya.
“Tegakkan badanmu!” Kael mendekat lagi, menepuk keras bahunya hingga Elvara tersentak. “Kepalkan tangan, jangan lemas seperti adonan roti!”
Elvara mendengus, menatapnya dengan kesal. Tapi Kael sudah menarik lengannya, menyuruhnya memasang kuda-kuda.
“Kaki jangan rapat. Kau pikir musuhmu akan jatuh hanya dengan tatapan manyun itu?”
“Kau benar-benar menyebalkan!” Elvara berteriak, tapi tubuhnya tetap ia atur sesuai perintah Kael, meski dengan ogah-ogahan.
“Pukul aku!” Kael menepuk dadanya. “Ayo, Picco. Pukul sekuat yang kau bisa!”
“Jangan panggil aku Picco!” Elvara melayangkan tinju ke arahnya. Kael menangkis dengan mudah, bahkan sempat terkekeh.
“Itu? Itu tinju bayi, bukan tinju orang yang ingin bertahan hidup!”
Elvara mendesis. Kali ini ia mencoba menendang, tapi Kael menangkap kakinya, membuatnya hampir terjatuh. Ia buru-buru menarik kakinya kembali, wajahnya memerah karena malu.
“Hah! Kau bahkan tidak bisa menjaga keseimbanganmu sendiri. Bagaimana kau mau bertahan hidup?” Kael menatapnya dengan sorot mengejek, tapi ada kilatan serius di baliknya. Kael membuka jaketnya yang basah kuyup dan melemparkannya ke bawah pohon.
Elvara menggertakkan gigi. “Aku benci kau!”
“Bagus,” Kael melangkah mundur, masih dalam hujan deras. Rambutnya menempel di dahi, wajahnya setengah teduh, setengah menantang.
“Kalau kau membenciku, setidaknya kau akan punya alasan untuk jadi lebih kuat. Gunakan amarahmu, El.”
Elvara mengepalkan tinjunya lebih kencang, kali ini tanpa disuruh.
“Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk
Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu
Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya."Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau ti
Vara hendak berbalik, tapi sebuah tusukan jarum mendarat di pundaknya. Entah apa yang disuntikkan ke tubuhnya, tapi cairan asing itu mengalir cepat, panasnya menjalar seperti ular api di bawah kulit. Napasnya terputus-putus, telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang.Suara Felix yang memanggilnya membuat Vara berusaha bergerak menjauh.Dia tidak boleh tertangkap lagi. Bayangan malam di kapal itu datang seperti kilatan teror, dingin air laut, dan rasa nyeri membakar, mendorongnya untuk terus bergerak.Dia menginjak kaki siapa pun yang berniat meringkusnya. Lantas berusaha lari.Berhasil. Tapi setelah beberapa langkah, dia tersandung sesuatu dan ambruk. Pandangannya gelap. Dan kesadaran meninggalkannya.***“Kau sudah bangun, tukang kabur?”Tanpa membuka mata, Vara tahu suara siapa itu. Tidak. Dia tidak mau kembali dalam cengkraman pria jahat itu lagi. Vara membuka mata, ternyata dia kembali berada di ruang rawat rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.“Kenapa aku ada di sini? K
“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Wajahnya benar-benar garang dan menakutkan. Tapi seiring langkahnya mendekat, Vara menyadari pria itu juga tampan. Luar biasa tampan malah. “Bicara yang baik, Kael. Pasienku baru saja sadar. Kau membuatnya terkejut,” cela Dokter Diandra.“Keluar, Di! Aku perlu bicara dengannya!” perintah Kael. Dokter muda itu merengut mendengarnya.Oke, situasi ini benar-benar aneh. Seorang dokter diusir pergi oleh seorang berandalan dan anehnya dokter itu menurut saja. Meninggalkannya mereka berdua.“Biarkan pintunya terbuka, Dok. Tolong!” Vara merengek. Berduaan di ruang tertutup dengan pria brutal sama sekali bukan pilihan bijak.“Aku tidak minat aneh-aneh dengan zombie tripleks sepertimu, Nona!” Kael berdecak. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya. Dia bersedekap dan menatap Vara tajam seperti menerawangnya dengan sinar-X. Membuatnya jengah.“Dengarkan dan jangan potong ceritaku!” katanya tegas.“
Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak ma