Vara hendak berbalik, tapi sebuah tusukan jarum mendarat di pundaknya. Entah apa yang disuntikkan ke tubuhnya, tapi cairan asing itu mengalir cepat, panasnya menjalar seperti ular api di bawah kulit. Napasnya terputus-putus, telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang.
Suara Felix yang memanggilnya membuat Vara berusaha bergerak menjauh.
Dia tidak boleh tertangkap lagi. Bayangan malam di kapal itu datang seperti kilatan teror, dingin air laut, dan rasa nyeri membakar, mendorongnya untuk terus bergerak.
Dia menginjak kaki siapa pun yang berniat meringkusnya. Lantas berusaha lari.
Berhasil. Tapi setelah beberapa langkah, dia tersandung sesuatu dan ambruk. Pandangannya gelap. Dan kesadaran meninggalkannya.
***
“Kau sudah bangun, tukang kabur?”
Tanpa membuka mata, Vara tahu suara siapa itu. Tidak. Dia tidak mau kembali dalam cengkraman pria jahat itu lagi. Vara membuka mata, ternyata dia kembali berada di ruang rawat rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.
“Kenapa aku ada di sini? Kau menculikku lagi?”
“Aku bukan penculik, aku penyelamat. Dasar gadis bodoh tidak tahu terima kasih!” bentaknya.
“Aku tidak mau di sini. Biarkan aku pergi!” Vara berteriak. Berusaha bangkit tapi Kael menyibak jaketnya, gagang pistol menyembul di pinggangnya, membuat nyali Vara sempurna sirna.
“Tidak mau di sini? Lantas kau mau di mana? Ikut berbulan madu bersama mantan tunanganmu tersayang itu?” ejeknya.
Kael memang jahat, Vara tahu itu, tapi mengatakan sesuatu semacam itu benar-benar keterlaluan. Hatinya seperti ditikam pisau karatan. Tidak berdarah tapi menyakitkan. Seketika komentar-komentar jahat netizen di media sosial terekam kembali oleh benaknya.
Penipu matre. Cinderella licik. Komposer karbitan.
Air mata Vara meleleh. Sakit sekali mengingat dia dihakimi tanpa diberi hak bicara. Padahal dia yang dijahati, tapi dia yang dibenci.
Rheiner. Bagaimana mungkin dia setega itu. Dia kelihatannya begitu lembut dan penuh kasih selama ini. Dan kenapa? Alasan itu yang tak pernah bisa Vara terka.
“Menangis tidak akan membuat keadaanmu lebih baik. Hanya gadis bodoh yang menangisi lelaki brengsek!” Suara Kael tajam.
Vara ingin membantah. Tapi dia tidak punya bantahan apa pun.
“Ikuti aku. Kau akan temukan jawaban dari semua pertanyaanmu, Picco!”
“Picco?” Vara menatap heran. Kael, dia seperti bunglon yang moodnya bisa berubah dalam hitungan detik.
“Ya. Artinya gadis bodoh!” Kael mencibir. Tampak menikmati membuatnya marah.
“Aku tidak bodoh! Dasar kau manusia jadi-jadian nirempati berlidah silet!”
“Benar! Kau tidak bodoh! Hanya satu level di atas tolol!” Kael membalas makiannya.
Vara mengepalkan tangan. Ingin sekali menampar Kael dan mulutnya yang sialan. Tapi Vara tahu itu tindakan bodoh. Kael bisa meremukkannya dengan satu tangan dan itu bukan hal sulit. Juga jangan lupakan pistol di pinggangnya.
“Ikuti aku. Karena kau tidak punya pilihan. Kau bahkan tidak punya tempat pulang. Tidak ada yang cukup mengenalmu untuk bilang bahwa kau bukan penipu yang mengkhianati putra bungsu keluarga Pranata!”
Vara mendongak. Mereka bersitatap. Dan bayangan panti yang terbakar habis juga kabar meninggalnya Madam Ellya membakar amarahnya. Dia butuh alasan. Dan Kael tahu benar hal itu.
“Aku masih punya teman! Dia seorang wartawati dan penulis di portal berita online besar. Dia akan membantuku! Aku tidak butuh perlindunganmu! Dan tenang saja. Aku akan bayar seluruh biaya operasi yang kau keluarkan!"
“Teman? Ayuna Tyas?”
Vara terbelakak. Bagaimana Kael bisa tahu nama itu?
“Bagaimana kau tahu?”
“Dia wartawati yang mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa bulan lalu dan sampai saat ini jasadnya tidak ditemukan.”
Tidak. Astaga. Bahkan Ayuna. Sahabatnya. Salah satu dari dua orang yang memperingatkannya untuk hati-hati dengan Rheiner. Yang peringatannya tidak pernah Vara gubris.
Vara tercenung lama. Bingung. Berduka dan dihantam rasa bersalah. Apa yang menimpanya bukan perkara main-main. Nyawa orang-orang melayang karenanya.
Ada yang salah di sini. Vara menatap Kael tajam. Berusaha membongkar kebohongannya. Sebuah kesimpulan gila mampir di benaknya.
“Kael, semua ini bukan ulahmu, kan?”
“Apa maksudmu?” Kael ternganga. Kentara sekali dia shock dengan tuduhan itu. Dia berdiri dan melangkah mendekati Vara dengan tatapan murka. Membuat gadis itu bergidik.
Harusnya Vara mengunci mulutnya saja. Tapi dia butuh jawaban. Kepastian. Bersuaralah, Vara. Meski itu hal terakhir yang kau lakukan.
“Bukan kau yang membakar panti dan mencelakakan Ayuna, kan?” tanya Vara memberanikan diri.
Tangan Kael mengepal. Entah apa isi kepalanya, mungkin hendak menempeleng, mencekik atau kejahatan lainnya.
“Apa yang akan kudapat kalau aku menjawab pertanyaan konyolmu itu?” suaranya serak, kentara sekali menahan luapan amarah.
Vara mengkeret ketakutan. Aura mengintimidasi Kael benar-benar menyala. Vara menggeleng. Beringsut menjauh dari Kael yang terus melangkah maju.
“Aku ... Aku mungkin akan menerima tawaranmu untuk ... Untuk membalas keluarga Pranata kalau ... Kalau ....” Vara terbata-bata.
“Deal! Sepakat! Kalau begitu, dengarkan aku baik-baik, Picco!” Kael membungkuk. Matanya beberapa senti dari mata Vara. Sampai-sampai Vara bisa mengenali warna iris matanya yang biru kelam.
“Bukan aku pelakunya! Tapi tunanganmu! Kalaupun aku sedemikian monsternya, kalau pun aku ingin sekali menghancurkanmu, aku tidak akan macam-macam pada panti yang berisi anak-anak terlantar. Tidak akan pernah! Kau dengar aku, Picco? Tidak akan pernah!”
Vara menentang tatapan Kael. Mencari setitik pun kebohongan yang mungkin terbersit di sana, tapi ternyata tidak ada. Vara bahkan tidak terlalu terkejut mendengar siapa pelakunya.
“Kenapa?” tanya Vara. Menjauhkan wajahnya.
“Karena itu sama seperti membakar diriku sendiri.” Ada nada yang berbeda dalam jawaban Kael. Sesuatu yang dalam tersirat di sana.
Bukan itu jawaban yang diperkirakan Vara. Dan itu membuat Kael semakin penuh misteri.
“Aku tidak mengerti.” Vara menunduk. Kalah dalam adu tatapan. Tatapan Kael begitu tajam, begitu penuh amarah, sampai-sampai Vara hampir yakin, menatapnya lebih lama akan membuat dirinya terbakar habis jadi abu.
“Tidak semua hal harus kau mengerti. Tidak tahu kadang menjadi anugerah!” Suara Kael melunak. Dia beringsut mundur.
“Tapi ....”
Dan kau sudah sepakat. Mulai hari ini, kau orangku!”
“Orangmu?”
Kael tidak menyahuti, dia meninggalkan ruang rawat. Vara duduk termangu dengan kebingungan dan segudang pertanyaan.
Dia harus tahu alasan di balik semua tragedi ini. Dia harus menuntut keadilan untuk Madam Ellya dan adik-adik pantinya, juga untuk Ayuna. Meski dengan begitu, dia harus menjadi kaki tangan seorang Kael.
Kael. Orang seperti apa dia? Dan apa yang dimaksud menjadi orang-nya? Orang Kael? Vara bergidik.
***
Di kafetaria rumah sakit yang lengang, Kael duduk bersama Diandra dan Felix. Kael meneguk kopi hitamnya dengan wajah muram.
“Terima kasih karena sudah menemukan dan membawa gadis itu kembali, Felix!” kata Kael sembari menatap pria yang lima tahun lebih tua darinya itu.
“Anytime.” Felix mengangguk. Sibuk dengan pasta yang sedang disantapnya.
“Siapa sebenarnya dia, Kael? Kau jangan main-main. Kau bisa ditemukan orang-orang itu. Tidak ada keberuntungan kedua kalau itu sampai terjadi, Kael!” Diandra menatap kakak angkatnya itu sebal.
“Pionku! Untuk menghukum keluarga Pranata!”
“Diandra benar, Kael. Jangan usik mereka. Mereka bisa melakukan yang lebih kejam dari yang mereka lakukan padamu sebelumnya. Hidup barumu sudah cukup tenang. Tetaplah begitu!”
Kael menatap kedua orang di hadapannya dengan tatapan kaku. Mereka tidak mengerti. Tidak akan pernah. Tapi tidak masalah. Dia tidak butuh dimengerti. Dia hanya butuh sumber daya mereka untuk memuluskan rencananya.
“Felix!” Kael menatap asistennya itu tajam-tajam. Asisten mendiang ayahnya.
“Jaga gadis itu. Jaga dia lebih dari kau menjagaku!” titahnya.
Felix menatapnya balik. Kael tahu Felix hendak memberondongnya dengan banyak pertanyaan, tapi Kael menggeleng pelan. Felix, meski enggan, namun dia paham isyarat itu.
“Apa pun perintahmu, Tuan Muda!” katanya kemudian.
Kae mendengus. Benci mendengar panggilan itu. Tuan muda apanya. Dia hanya pelarian.
“Pewaris?” bibir El tanpa sadar berbisik lirih.Suara itu hampir saja terdengar, untunglah ia cepat menahan napas. Tangannya yang menggenggam ponsel mulai bergetar. Kata itu menggema di kepalanya, lebih menusuk daripada teriakan Kael sekalipun.Pewaris apa? Pewaris siapa? Itukah alasan dia dilenyapkan dengan begitu kejamnya?“Dia masih hidup, Rachel. Dia akan menghancurkan kita semua!”“Rhein, tolong hentikan! Jangan bawa-bawa orang mati lagi!” suara Rachel meninggi, tajam seperti kaca pecah. “Kalau kau terus begini, kau akan gila!”Eliya menutup mulutnya dengan telapak tangan. Lidahnya terasa kelu. Ada getaran aneh di dada,.antara ngeri, penasaran, dan marah.Tiba-tiba suara Kael bergema di headset.“El, kau dengar itu?”Nada suaranya tenang, tapi di baliknya ada arus deras yang menekan.“Pewaris…” gumam El dalam hati.“Kau harus keluar sekarang,” perintah Kael. “Jangan bodoh, jangan berlama-lama di situ.”Tapi untuk pertama kalinya, Eliya tak langsung menuruti Kael. Ia tetap membungk
Akhirnya, Eliya berada di depan rumah itu. Rumah yang pernah menjadi istana impiannya. Ada hari-hari di mana dia mengkhayal menjadi nyonya rumah yang punya banyak pelayan di dalamnya. Menjadi Nyonya Rheiner Pranata.Eliya menggeleng. Dia tidak boleh meratapinya. Kael akan mencekiknya kalau dia terlihat lemah dan cengeng lagi.“El, kau dengar aku?”Nah kan. Suara Kael di headset memecah lamunannya.Ia menghela napas. El. Tiga bulan sudah ia mengenakan nama itu, tapi tetap terasa asing. Namun siapa yang berani membantah Kael?Bagi anak buahnya, dia raja. Bagi preman jalanan, dia dewa penyelamat. Bagi Eliya … dia adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dia ingin tahu alasan dirinya dilenyapkan sekaligus membersihkan namanya.“Berhenti melamun, El. Sepuluh langkah ke kanan, kampus keluarga Adrasta.”Nada Kael terdengar seperti komandan militer.Ingin rasanya Eliya mengutuknya jadi batu. Berisik sekali pria yang satu ini. Tapi misi ini adalah pembuktian, apakah ia cukup kuat untuk menyu
Setelah perbannya dibuka, Elvara akhirnya melihat wajah barunya. Hal yang sempat membuatnya shock karena benar-benar tidak ada jejak wajah lamanya di sana. Wajah barunya memang lebih cantik, lebih tirus dan lebih sempurna, tapi tetap saja, dia merindukan wajah aslinya yang dihiasi jerawat dan bintik-bintik merah. Wajah yang polos dan membuatnya merasa hangat ketika membayangkan, bahwa wajah itu, memiliki jejak wajah ayah dan ibunya."Kau cantik sekali, El." Puji Dokter Diandra. Felix mengangguk setuju. Vara masih ketakutan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan pria itu. Tapi sejauh ini, Felix sama sekali tidak berusaha mencelakakannya. Jadi mungkin saja dia bisa dipercaya. Mungkin saja dia benar-benar ada di pihak Kael. Tapi susah sekali untuk meyakinkan diri setelah melihat berapa patuhnya pria berambut ikal itu pada Rachel.Kael mengirim dua orang untuk menjemputnya. Dia sama sekali tidak muncul untuk melihat wajah barunya. Siapa juga yang peduli laki-laki itu muncul atau ti
Vara hendak berbalik, tapi sebuah tusukan jarum mendarat di pundaknya. Entah apa yang disuntikkan ke tubuhnya, tapi cairan asing itu mengalir cepat, panasnya menjalar seperti ular api di bawah kulit. Napasnya terputus-putus, telinganya berdenging. Matanya berkunang-kunang.Suara Felix yang memanggilnya membuat Vara berusaha bergerak menjauh.Dia tidak boleh tertangkap lagi. Bayangan malam di kapal itu datang seperti kilatan teror, dingin air laut, dan rasa nyeri membakar, mendorongnya untuk terus bergerak.Dia menginjak kaki siapa pun yang berniat meringkusnya. Lantas berusaha lari.Berhasil. Tapi setelah beberapa langkah, dia tersandung sesuatu dan ambruk. Pandangannya gelap. Dan kesadaran meninggalkannya.***“Kau sudah bangun, tukang kabur?”Tanpa membuka mata, Vara tahu suara siapa itu. Tidak. Dia tidak mau kembali dalam cengkraman pria jahat itu lagi. Vara membuka mata, ternyata dia kembali berada di ruang rawat rumah sakit yang sama seperti sebelumnya.“Kenapa aku ada di sini? K
“Harus berbeda. Karena dirimu yang lama sudah mati!”Kael berdiri di pintu. Menatapnya tajam. Wajahnya benar-benar garang dan menakutkan. Tapi seiring langkahnya mendekat, Vara menyadari pria itu juga tampan. Luar biasa tampan malah. “Bicara yang baik, Kael. Pasienku baru saja sadar. Kau membuatnya terkejut,” cela Dokter Diandra.“Keluar, Di! Aku perlu bicara dengannya!” perintah Kael. Dokter muda itu merengut mendengarnya.Oke, situasi ini benar-benar aneh. Seorang dokter diusir pergi oleh seorang berandalan dan anehnya dokter itu menurut saja. Meninggalkannya mereka berdua.“Biarkan pintunya terbuka, Dok. Tolong!” Vara merengek. Berduaan di ruang tertutup dengan pria brutal sama sekali bukan pilihan bijak.“Aku tidak minat aneh-aneh dengan zombie tripleks sepertimu, Nona!” Kael berdecak. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapannya. Dia bersedekap dan menatap Vara tajam seperti menerawangnya dengan sinar-X. Membuatnya jengah.“Dengarkan dan jangan potong ceritaku!” katanya tegas.“
Air laut Samudra Pasifik menyambut tubuh Elvara seperti pelukan maut yang dingin dan buas. Gaun pengantinnya mengembang seperti kelopak mawar yang layu, terseret pusaran air yang menariknya ke dasar.Rasa sakit dari luka bakar masih membakar wajahnya, tapi kini ditambah dengan sensasi menusuk dari air asin yang masuk ke jaringan luka terbuka. Cairan laut menyusup ke kelopak matanya yang sudah tak bisa menutup, merangsek masuk ke bibir yang sobek, membakar tenggorokan yang mencoba menelan napas.Dia mencoba berenang, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya. Tangannya bergerak tak tentu arah. Kakinya. mengepak pelan sia-sia. Kesadaran mulai meninggalkannya.Namun, di detik terakhir sebelum semuanya gelap, sesuatu merengkuhnya. Tangan dingin dan kuat menariknya ke permukaan.Ia tidak tahu itu nyata atau hanya delusi terakhir otaknya yang sekarat. Tapi saat tubuhnya keluar dari air dan udara kembali menerobos paru-parunya, ia menyadari satu hal.Ia masih hidup. Ia ingin hidup. Ia tidak ma