Share

BAB 5. HASRAT MELENYAPKAN

“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka.

“Opss maaf.  Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,”  jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang.  Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri.

Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut.

“Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.”

Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat.

“Maaf  ada sedikit iklan lewat.  Kita lanjutkan lagi.  Icha tutup pintunya,”  ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa.

Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digunakan.

Barra dan Marissa menyimak setiap penjelasan garis besar rencana yang terstruktur.  Untuk detail kegiatan diserahkan pada Barra.  Semua yang akan tergabung dalam tim pemukul pun akan diseleksi secara khusus oleh Barra, sang pemipin.

“Marissa biarkan di luar struktur, dia akan menjadi umpan sekaligus mata-mata kita.”  Ramses menerangkan kedudukan Marissa dalam rencana tersebut.

Barra melirik pada Marissa. Penampilan wanita itu memang cukup memadai sebagai mata-mata, tubuhnya ramping,  memiliki wajah cantik alami, terkesan lugu dengan sorot mata yang hangat dan selalu terlihat tersenyum walau sebenarnya wanita tersebut tidak tersenyum.

“Bagaimana?”  Ramses mengejutkan Barra.  Lelaki itu segera  mengalihkan pandangannya dengan kikuk, dia pun segera mengubah posisi berdirinya.

“Siap Jenderal. Kapan saya bisa bergabung di Kesatuan?”  tanya Barra mengalihkan pertanyaan Ramses.

“Senin besok,  pada saat perayaan ulang tahun kesatuan.  Marissa akan membantu semua kelengkapan  administrasimu.”

“Siap, Bapak. Dua hari sudah siap semua,”  jawab Marissa penuh keyakinan.  Tangan prajurit wanita itu tiba-tiba mengambil ponsel dan membaca pesan yang baru saja masuk.

“Dari bagian personalia melaporkan surat mutasi Kapten Barra telah terbit,”  lapor Marissa.

Selama ini status Barra disembunyikan dengan rapi, hingga diharapkan sudah tidak ada yang menyadari jika sosok Barra pernah diberitakan sudah meninggal.

“Sempurna.”

“Siap Jenderal, sudah malam, saya ijin kembali.”  Barra hendak berbalik,

“Tunggu.  Tinggalah di sini, ada banyak kamar di rumah belakang.”

Barra tidak punya alasan menolak. Memang benar dia sangat membutuhkan rumah yang layak disebut sebagai tempat tinggal, sebab selama ini hanya kamar kost petakan di sebuah gang sempit menjadi atap bernaung dari panas dan hujan.

Barra tampak sedikit bimbang, namun Ramses meyakinkan bahwa ini untuk memudahkan mereka mengatur strategi dan berdiskusi.

“Banyak kegiatan strategis kedepan, dan aku butuh pemikiranmu.”

“Siap Jenderal. Ijinkan saya mengembalikan kunci rumah ini, dan membersihkan rumah tersebut.”

Akhirnya Barra atau Jack memiliki semangat kembali.  Apa yang sudah pernah dia terima sebelumnya akan dia tuntut dengan caranya.  Perbuatan pengecut dengan melemparkan tanggung jawab pada orang yang tidak bersalah harus dihentikan.  Jika tidak, cepat atau lambat Negeri Darlan akan hancur.

 ***

Hari ini sesuai dengan yang direncanakan, Barra datang sebagai personel baru pada kesatuan Komando Strategi Khusus Darlan.  Dikepalai seorang Jenderal Bintang Tiga yakni Ramses Laksmana Adi, tempat berdinasnya saat ini merupakan kesatuan elit yang dimiliki oleh Darlan. Bertanggung jawab atas keselamatan Kepala Negara Darlan.

Sejak keberhasilan Ramses membebaskan sandera di daerah perbatasan oleh kelopok perompak negara asing, lelaki berusia lima puluh tahun tersebut dipercaya menjadi Panglima Komando.

Penghargaan yang diterima otomatis membuat hubungan pribadi dengan Presiden sangat dekat, dan sangat memungkinkan sebagai target untuk disingkirkan sebelum kedaulatan Presiden digulingkan. 

Untuk itulah di dalam tubuh kesatuan yang dia pimpin, Ramses masih membentuk Tim Khusus dan bersifat rahasia.

Barra berdiri gagah dengan seragam militer yang sudah setahun lamanya tidak dia kenakan.  Semua identitas diri pun tidak ada yang cacat hukum, tidak ada yang bisa menggulingkan keabsahan Barra sebagai Militer Negara Darlan.

“Hah?  Apa mataku masih normal?”  tanya seseorang yang berdiri dari kejauhan.

Diatas panggung Barra sedang diperkenalkan sebagai personel baru yang akan memegang jabatan sebagai Komandan Kompi A.

“Bukankah dia seharusnya sudah mati?”  sambut seseorang lainnya sambil berbisik.  Pemandangan yang membuat terkejut dua orang lainnya juga.

“Ya, aku jelas sekali sudah menembaknya.”

“Apa dia sejenis kucing siluman, punya nyawa sembilan?”

“Kamu ya, dalam keadaan seperti ini masih juga berhalusinasi!”  bentak seseorang tersebut sedikit marah.

Suasana di lapangan upacara ini berubah menjadi panggung prajurit, dalam rangka merayakan hari jadi kesatuan yang ke 75 tahun.  Eforia prajurit semakin antusian dengan kehadiran Ramses dan Barra di atas panggung.

Dan hal tersebut tidak berlaku bagi tiga prajurit di antaranya.

“Gawat jika The King tahu hal ini,” bisik yang lainnya lagi.

Ketiga orang tersebut mengedarkan matanya memastilkan tidak ada yang mendengar obrolan meraka.

“Hush, jangan asal bicara!  Kamu lupa di mana kita sekarang?”

“Lantas kita harus bagaimana, Bang?”  tanya salah satu dari tiga orang tersebut.

Mereka akhirnya mencari tempat yang lebih sepi dan jauh dari hiruk-pikuk eforia para prajurit.

“Apa kita habisi dulu baru kita laporan padanya?”  usul seseorang yang terlihat berpangkat di tengah-tengah.

Ya, ketiganya menggunakan pangkat kopral, sersan kepala dan sersan mayor, berdiskusi serius.  Sosok yang paling senior terlihat mengeryitkan dahinya.

“Tapi dia bisa hidup setelah malam itu, berarti dia sudah mengantisipasi sebelumnya.”

Celetukan dari Kopral semakin membuat  panas hati sang sersan mayor.  Kehadiran Barra seakan mengejek kemampuannya dalam melenyapkan musuh.  Jiwanya meronta, hingga deru napasnya terdengar kasar.

Tangannya mengepal dan sorot matanya kini menatap ke arah sosok yang baru saja turun dari panggung.  Melihat Barra melangkah penuh wibawa di sana semakin membuat gemeretak giginya  semakin kuat.

“Kita harus buat rencana lagi sebelum The King tahu hal ini.  Bisa hancur reputasiku di matanya,”  ucapnya penuh tekanan jahat.

“Dia sudah punya pasukan sekarang, Bang.”

Ucapan dari sang sersan segera membuatnya mendapat tatapan tajam, seketika menciut nyalinya.  Seperti ungkapan jangan mengganggu anjing yang sedang marah, kalau tidak ingin digigit.

“Kamu ingin mencoba kemampuanku?”  nada ancaman pun terdengar galak.

Kedua junior itu pun terdiam.

“Jangan ada yang melapor pada The King.  Aku akan mencari waktu untuk membuat dia hilang tanpa kembali lagi.”

Sang Sersan Mayor menatap kedua bawahannya dengan tajam.  Dalam pikirannya saat ini adalah hasrat untuk bergerak cepat, mengantisipasi atasannya kecewa melihat targetnya ternyata masih hidup.

“Jika hal ini bocor, kalian berdua yang aku lenyapakan!”  ancam sang Sersan Mayor sebelum dia melangkah pergi meninggalkan lapangan walau acara hiburan masih berlangsung.

Kepergian ketiga orang tersebut membuat seseorang tersenyum licik dari balik tempatnya berdiri. 

“Hmm, menarik.”

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anggia Savitri
Wah siapa neh... penasaran kak.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status