“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka.
“Opss maaf. Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,” jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang. Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri.
Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut.
“Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.”
Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat.
“Maaf ada sedikit iklan lewat. Kita lanjutkan lagi. Icha tutup pintunya,” ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa.
Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digunakan.
Barra dan Marissa menyimak setiap penjelasan garis besar rencana yang terstruktur. Untuk detail kegiatan diserahkan pada Barra. Semua yang akan tergabung dalam tim pemukul pun akan diseleksi secara khusus oleh Barra, sang pemipin.
“Marissa biarkan di luar struktur, dia akan menjadi umpan sekaligus mata-mata kita.” Ramses menerangkan kedudukan Marissa dalam rencana tersebut.
Barra melirik pada Marissa. Penampilan wanita itu memang cukup memadai sebagai mata-mata, tubuhnya ramping, memiliki wajah cantik alami, terkesan lugu dengan sorot mata yang hangat dan selalu terlihat tersenyum walau sebenarnya wanita tersebut tidak tersenyum.
“Bagaimana?” Ramses mengejutkan Barra. Lelaki itu segera mengalihkan pandangannya dengan kikuk, dia pun segera mengubah posisi berdirinya.
“Siap Jenderal. Kapan saya bisa bergabung di Kesatuan?” tanya Barra mengalihkan pertanyaan Ramses.
“Senin besok, pada saat perayaan ulang tahun kesatuan. Marissa akan membantu semua kelengkapan administrasimu.”
“Siap, Bapak. Dua hari sudah siap semua,” jawab Marissa penuh keyakinan. Tangan prajurit wanita itu tiba-tiba mengambil ponsel dan membaca pesan yang baru saja masuk.
“Dari bagian personalia melaporkan surat mutasi Kapten Barra telah terbit,” lapor Marissa.
Selama ini status Barra disembunyikan dengan rapi, hingga diharapkan sudah tidak ada yang menyadari jika sosok Barra pernah diberitakan sudah meninggal.
“Sempurna.”
“Siap Jenderal, sudah malam, saya ijin kembali.” Barra hendak berbalik,
“Tunggu. Tinggalah di sini, ada banyak kamar di rumah belakang.”
Barra tidak punya alasan menolak. Memang benar dia sangat membutuhkan rumah yang layak disebut sebagai tempat tinggal, sebab selama ini hanya kamar kost petakan di sebuah gang sempit menjadi atap bernaung dari panas dan hujan.
Barra tampak sedikit bimbang, namun Ramses meyakinkan bahwa ini untuk memudahkan mereka mengatur strategi dan berdiskusi.
“Banyak kegiatan strategis kedepan, dan aku butuh pemikiranmu.”
“Siap Jenderal. Ijinkan saya mengembalikan kunci rumah ini, dan membersihkan rumah tersebut.”
Akhirnya Barra atau Jack memiliki semangat kembali. Apa yang sudah pernah dia terima sebelumnya akan dia tuntut dengan caranya. Perbuatan pengecut dengan melemparkan tanggung jawab pada orang yang tidak bersalah harus dihentikan. Jika tidak, cepat atau lambat Negeri Darlan akan hancur.
***
Hari ini sesuai dengan yang direncanakan, Barra datang sebagai personel baru pada kesatuan Komando Strategi Khusus Darlan. Dikepalai seorang Jenderal Bintang Tiga yakni Ramses Laksmana Adi, tempat berdinasnya saat ini merupakan kesatuan elit yang dimiliki oleh Darlan. Bertanggung jawab atas keselamatan Kepala Negara Darlan.
Sejak keberhasilan Ramses membebaskan sandera di daerah perbatasan oleh kelopok perompak negara asing, lelaki berusia lima puluh tahun tersebut dipercaya menjadi Panglima Komando.
Penghargaan yang diterima otomatis membuat hubungan pribadi dengan Presiden sangat dekat, dan sangat memungkinkan sebagai target untuk disingkirkan sebelum kedaulatan Presiden digulingkan.
Untuk itulah di dalam tubuh kesatuan yang dia pimpin, Ramses masih membentuk Tim Khusus dan bersifat rahasia.
Barra berdiri gagah dengan seragam militer yang sudah setahun lamanya tidak dia kenakan. Semua identitas diri pun tidak ada yang cacat hukum, tidak ada yang bisa menggulingkan keabsahan Barra sebagai Militer Negara Darlan.
“Hah? Apa mataku masih normal?” tanya seseorang yang berdiri dari kejauhan.
Diatas panggung Barra sedang diperkenalkan sebagai personel baru yang akan memegang jabatan sebagai Komandan Kompi A.
“Bukankah dia seharusnya sudah mati?” sambut seseorang lainnya sambil berbisik. Pemandangan yang membuat terkejut dua orang lainnya juga.
“Ya, aku jelas sekali sudah menembaknya.”
“Apa dia sejenis kucing siluman, punya nyawa sembilan?”
“Kamu ya, dalam keadaan seperti ini masih juga berhalusinasi!” bentak seseorang tersebut sedikit marah.
Suasana di lapangan upacara ini berubah menjadi panggung prajurit, dalam rangka merayakan hari jadi kesatuan yang ke 75 tahun. Eforia prajurit semakin antusian dengan kehadiran Ramses dan Barra di atas panggung.
Dan hal tersebut tidak berlaku bagi tiga prajurit di antaranya.
“Gawat jika The King tahu hal ini,” bisik yang lainnya lagi.
Ketiga orang tersebut mengedarkan matanya memastilkan tidak ada yang mendengar obrolan meraka.
“Hush, jangan asal bicara! Kamu lupa di mana kita sekarang?”
“Lantas kita harus bagaimana, Bang?” tanya salah satu dari tiga orang tersebut.
Mereka akhirnya mencari tempat yang lebih sepi dan jauh dari hiruk-pikuk eforia para prajurit.
“Apa kita habisi dulu baru kita laporan padanya?” usul seseorang yang terlihat berpangkat di tengah-tengah.
Ya, ketiganya menggunakan pangkat kopral, sersan kepala dan sersan mayor, berdiskusi serius. Sosok yang paling senior terlihat mengeryitkan dahinya.
“Tapi dia bisa hidup setelah malam itu, berarti dia sudah mengantisipasi sebelumnya.”
Celetukan dari Kopral semakin membuat panas hati sang sersan mayor. Kehadiran Barra seakan mengejek kemampuannya dalam melenyapkan musuh. Jiwanya meronta, hingga deru napasnya terdengar kasar.
Tangannya mengepal dan sorot matanya kini menatap ke arah sosok yang baru saja turun dari panggung. Melihat Barra melangkah penuh wibawa di sana semakin membuat gemeretak giginya semakin kuat.
“Kita harus buat rencana lagi sebelum The King tahu hal ini. Bisa hancur reputasiku di matanya,” ucapnya penuh tekanan jahat.
“Dia sudah punya pasukan sekarang, Bang.”
Ucapan dari sang sersan segera membuatnya mendapat tatapan tajam, seketika menciut nyalinya. Seperti ungkapan jangan mengganggu anjing yang sedang marah, kalau tidak ingin digigit.
“Kamu ingin mencoba kemampuanku?” nada ancaman pun terdengar galak.
Kedua junior itu pun terdiam.
“Jangan ada yang melapor pada The King. Aku akan mencari waktu untuk membuat dia hilang tanpa kembali lagi.”
Sang Sersan Mayor menatap kedua bawahannya dengan tajam. Dalam pikirannya saat ini adalah hasrat untuk bergerak cepat, mengantisipasi atasannya kecewa melihat targetnya ternyata masih hidup.
“Jika hal ini bocor, kalian berdua yang aku lenyapakan!” ancam sang Sersan Mayor sebelum dia melangkah pergi meninggalkan lapangan walau acara hiburan masih berlangsung.
Kepergian ketiga orang tersebut membuat seseorang tersenyum licik dari balik tempatnya berdiri.
“Hmm, menarik.”
***
Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indica
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta
Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
Menjelang malam hari pasangan Barra dan Marissa baru kembali ke penginapan. Kedua pasangan paruh baya -sang pemilik penginapan- menyambut riang.“Wah, kalian sangat menikmati masa bulan madu kalian, ya,” ujar Ibu Ningsih seraya melirik suaminya.Marissa tertawa melihatnya, “Pak, sepertinya Ibu memberi kode keras untuk diajak refreshing.”Karno membalas lirikan sang istri dengan sedikit ketus, “Lalu siapa yang mengurus penginapan ini? Anak-anak semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”“Oh! Berapa anaknya, Pak? Dan di mana mereka sekarang?”“Anak kami ada dua orang, laki-laki semua. Yang pertama jadi MND sementara yang kedua jadi pelaut. Semuanya tidak berada di kota ini.”Barra sedikit memicingkan tatapannya saat Bu Ningsih menjelaskan kedua anak mereka. MND adalah singkatan dari Militer Negeri Darlan, cukup menarik perhatiannya. Lelaki itu pun bersiap mencari informasi namun wanita di sebelahnya labih aktif dari dirinya.“Wah keren. Anak pertama kalian sungguh gagah, ja