"Mas Yudi, kamu kemana aja sih! Beli minum aja lama banget!" rajuknya."Maaf, Sayang! Tadi Mas sekalian cari ATM, jadi agak lama. Kamu sudah selesai belanjanya? udah donk jangan ngambek," rayuku mencolek pipi mulusnya. Ia sedikit tersipu, karena beberapa SPG toko tersenyum melihat kami."Sudah tuh, di kasir tinggal bayar." Sintya menunjuk kasir dengan dagunya."Berapa total semuanya, Mbak?" tanyaku pada petugas kasir. Setelah semua belanjaan Eva selesai di scan."Totalnya jadi dua juta enam ratus ribu rupiah, Pak!" jawabnya.Deg! Uang cash yang aku ambil di ATM tadi tidak cukup untuk membayar belanjaan Eva, aku sedikit gugup melihat isi dompetku."Kenapa, Mas! Bukanya kamu tadi abis ambil uang di ATM kan? Kenapa bingung gitu?" tanya Eva mungkin melihat ekspresiku."Ng–Nggak apa-apa, Sayang! Mbak, pakai kartu debit bisa ya, Mbak?" ucapku menyerahkan kartu ATMku pada wanita cantik petugas kasir itu."Bisa Pak." jawab petugas kasir bernama Intan, terlihat dari nametag yang tersemat di d
Sore hari seperti janjiku, aku kembali ke rumah Eva."Mas, kamu kapan akan menceraikan istrimu?" tanya Eva, padaku yang baru saja tiba dan merebahkan tubuhku di sofa."Eva, Kamu tak keberatan kan, jika kamu jadi yang kedua, aku tak bisa jauh dari Rizki anakku," jawabku. Raut wajahnya berubah masam mendengar jawabanku."Kamu tenang aja, Sayang! Aku janji akan lebih banyak waktuku bersama kamu," tambahku lagi merayunya."Bener, ya! Aku mau kamu lebih banyak waktu di sini, sama aku," sahutnya dengan manja. Aku tersenyum. "Dua Minggu lagi jadi kan kamu nikahin aku, aku udah bilang sama orang tuaku, dan mereka akan kemari minggu depan," tambahnya lagi. Aku terdiam sejenak menatap wajah ayunya."Iya jadi donk, Sayang! Kamu udah bilang juga kan sama orang tuamu kalau kita akan menikah secara siri terlebih dahulu?" tanyaku."Iya aku udah bilang kok, dan mereka nggak keberatan, apalagi calon mantunya seorang pengusaha dekor, mereka pasti bangga aku punya suami orang kaya sepertimu, Mas!" Eva
Malam ini aku akan tinggal di rumah ini sebagai sepasang pengantin baru. Entah kenapa aku justru kepikiran Sintya dan Rizki. Ah, Mungkin karena saat acara ijab kabul tadi Sintya tak hadir di sini. "Mas! Kok bengong, sih!" ucap Eva tiba-tiba, mengagetkan aku yang sedang duduk di teras rumahnya."Nggak apa-apa kok, Sayang!" kilahku melempar senyum ke arah wanita yang sudah sah secara agama ini."Ayo, masuk! Bapak mau bicara," ucapnya kemudian meraih tanganku dan menggandengnya masuk ke dalam rumah.Pak Burhan dan Ibu Ita kedua orang tua Eva, serta Ari adik laki-lakinya tengah duduk di ruang tengah."Duduk Yudi, Bapak pengin ngobrol-ngobrol aja sama kamu," ucap Pak Burhan.Aku mengangguk kemudian duduk berbaur dengan mereka."Jadi kamu ini seorang pengusaha dekor ya Yud?" tanya Pak Burhan."Iya Pak, Alhamdulillah, usaha yang saya rintis dari nol kini mulai berkembang," jawabku santai, sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng yang di hidangkan oleh ibu mertuaku."Gini, Yudi, Bapak s
Tak berapa lama pesan darinya kembali masuk.[Makasih, Mas! Nanti sore pulang ke rumah Eva lagi ya, Mas.] Disertai emoticon kiss with heart.Aku tersenyum, tadinya aku berencana pulang ke rumah Sintya, tapi ...Tak ada salahnya malam ini aku kembali ke rumah Eva, menikmati masa-masa pengantin baruku bersamanya. Lagi pula aku malas bertengkar dengan Sintya, gumamku.Sore hari aku pulang ke rumah Eva, saat aku sampai di Eva sudah cantik seperti hendak pergi ke suatu tempat."Kamu mau kemana, Sayang?" tanyaku padanya."Aku mau ke salon sebentar ya, Sayang," jawabnya sambil meraih tas tangan yang tergeletak di sofa."Mau aku antar?" "Tak perlu, Sayang. Salonnya deket kok, aku bawa motor sendiri aja," elaknya."Oke, baiklah. Hati-hati ya."Ia mengangguk dan melenggang keluar rumah. Aku sedikit heran padanya, suami pulang bukannya di bikinin teh atau makanan, malah pergi ke salon. Ah, mungkin ia memang sudah ada janji dengan pemilik salon, karena biasanya sebelum ia ke salon, ia membuat ja
Nah benar kan, kemarahan Sintya pasti sudah mereda, buktinya kini dia menghubungiku. Karena sudah dua hari ini aku tidak pulang ke rumah, pasti Sintya akan memohon dan memintaku untuk pulang. Hatiku tersenyum bangga.Segera Aku geser tombol hijau."Halo, Sin! Ada apa?" tanyaku basa basi."Mas, Rizki sakit dari kemarin nadanya panas, dan dia terus memanggil-manggil kamu, apa kamu bisa pulang sebentar untuk menemui Rizki."Degh!Aku terhenyak mendengar ucapan Sintya dari seberang sana, ternyata dia menghubungiku bukan karena yang aku pikirkan tadi, melainkan Rizki anakku sakit."Kamu sudah bawa ke dokter?" tanyaku."Sudah, tapi panas nya belum juga turun, sore tadi sempat turun, tapi sekarang naik lagi." Terdengar jelas dari suaranya, Sintya sedang di landa kekhawatiran. Aku sempat terdiam beberapa saat."Mas, bisakah kamu pulang sebentar, aku tidak mengharap apapun, selain demi Rizki. Dia terus panggil-panggil nama kamu," ucapnya lagi."Siapa, Mas!" tanya Eva yang tiba-tiba keluar kam
POV Sintya.Aku melangkah keluar kamar, danberikan mereka waktu untuk bersama.Sejak kemarin Rizki demam, entah pertanda atau apalah itu, ia demam tepat ketika Ayah kandungnya mengucap ikrar akad dengan wanita lain. Dan sepanjang ia sakit ia terus memanggil kata Ayah.Pagi tadi sudah aku bawa ia berobat ke dokter, tapi malam ini demamnya kembali naik, membuatku mau tak menghubungi Ayahnya untuk pulang. Aku duduk termenung di sofa ruang tamu. Menatap lurus ke awang-awang, berharap dengan kehadiran Mas Yudi, kondisi Rizki bisa segera membaik.Ddrrrttt. Ddrrrtttt.Suara getar ponsel mengagetkanku, aku cari-cari sumber getaran itu, sedangkan ponsel milikku ada di samping televisi sedang aku charge, masih kuingat aku mematikan ponselku sebelum aku charge.Ternyata bersumber dari ponsel milik Mas Yudi yang tersimpan di saku jaketnya. Jaket yang aku belikan saat kami jalan-jalan dulu, tergeletak di sofa.Tertera nama Eva di layar benda pipih itu, seketika membuatku sebal, pasti ia meminta M
Akhirnya malam ini Mas Yudi tidur di rumah ini, kami bertiga tidur dalam satu ranjang, di kamar utama. Yah, kamarku dan Mas Yudi dulu, dengan Rizki tidur di tengah.Alhamdulillah, demam Rizki sudah turun, aku lega kondisinya sudah mulai stabil. Semalaman aku tidur tak nyenyak, sesekali terbangun untuk cek kondisi anak semata wayangku, ada rasa takut kalau-kalau tiba-tiba panas tinggi saat tengah malam.Usai sholat subuh aku berkutat di dapur, memasak sop ayam. Mas Yudi tampak sedang bersiap-siap, entah ia akan langsung pergi ke galeri, atau pergi ke rumah istri mudanya, sejak semalam ia samasekali tak memegang gawainya, entah sudah berapa kali wanita itu mencoba menghubungi Mas Yudi.Mungkin ia lebih memilih fokus menemani Rizki, yang sedang membutuhkannya."Sintya, duduklah! Aku ingin bicara," ucap Mas Yudi, yang entah sejak kapan duduk di bangku meja makan.Aku menghela napas panjang."Ada apa lagi sih, Mas!" Sahutku ketus."Sin, Mas butuh uang, bisakah kamu transfer balik uang yan
"Iya, Sayang. Tapi Mas minta kamu sabar sebentar ya! Mas akan usahakan untuk bisa segera beli mobil."Aku tersentak, benar dugaanku dia ingin beli mobil semata-mata karena permintaan perempuan sia*an itu! Membuat aku muak, ingin segera mengakhiri semuanya sebelum wanita itu semakin bertingkah.Braakk! Aku menutup pintu dengan kasar, sengaja agar Mas Yudi tau kalau aku mendengar percakapannya. Benar-benar perempuan Sia*an! umpatku dalam hati.Hari ini Alhamdulillah kondisi Rizki semakin membaik, ia terlihat lebih ceria dan suhu tubuhnya normal. Namun masih harus banyak istirahat agar cepat pulih.Waktu masih menunjukkan waktu jam sebelas siang, tapi Rizki sudah tertidur di kamar utama. Aku merebahkan tubuhku di sampingnya.Drrrtt. Ddrrrttt.Suara panggilan masuk, aku raih ponselku, tertulis nama Hana di layar. Segera aku geser tombol hijau."Halo, Han!" "Halo, Sin. Gimana kondisi Rizki sekarang?" tanya sahabatku, di seberang sana. Memang aku kemarin sempat memberitahu Hana jika Rizk