Khaelia bergegas mengikuti Bosman menuju lift. Sedikit lega karena bossnya ternyata tidak setua bayangannya. Lobi dalam keadaan masih cukup ramai, ia menduga mereka adalah para pekerja yang sedang lembur. Tanpa sadar Khaelia mengamati Bosman diam-diam dan menyadari kalau kulit laki-laki itu cenderung sehat dan bukan pucat seperti halnya vampire. Satu persatu ketakutannya terpatahkan.
“Nona Khaelia, pekerjaanmu dimulai dari pukul sembilan belas tiga puluh, dan berakhir pada pukul tiga tiga puluh dini hari. Akan dihitung lembur kalau jam kerja melebihi waktu. Selama bekerja di sini, kamu tidak boleh sembarangan bicara atau bergaul dengan sesama pekerja, dan harus menyimpan rahasia tentang pekerjaanmu rapat-rapat. Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu seorang sekretaris.”
Pernyataan panjang dari Bosman diberi anggukan oleh Khaelia. “Baik, Pak. Saya mengerti.”
“Kamu pernah bekerja sebagai sekretaris sebelumnya, jadi seharusnya tidak ada masalah tentang pekerjaan karena pada dasarnya sama saja. Ingat, jaga rahasia tentang apa pun yang kamu lihat dan kamu lakukan, bahkan keluargamu pun tidak boleh tahu. Akan ada perjanjian untuk itu dan aku ingin kamu memahaminya dari sekarang!”
“Saya bersedia, Pak!”
Khaelia mengusap lengan setelannya, dan merinding mendengar pernyataan Bosman. Seolah yang akan dikerjakannya adalah hal rahasia menyangkut negara. Mereka keluar dari lift di lantai sepuluh, menuju ke ruangan di ujung lorong berkarpet. Bosman mengetuk pintu kayu tinggi dan berat, membukanya perlahan.
“Tuan, kami datang.”
“Masuklah!”
Suara seorang laki-laki terdengar dari dalam. Bosman memberi tanda pada Khaelia untuk masuk dan menutup pintu begitu dia keluar. Ternyata Bosman bukan pimpinan, ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya.
Khaelia berdiri gamang di dekat pintu menatap ruangan kosong. Kursi hitam di belakang meja besar berputar, sesosok laki-laki duduk di sana.
Laki-laki itu bangkit dari kursi dan berdiri di dekat meja. Khaelia tidak dapat menahan kekagumannya melihat betapa tampannya laki-Iaki itu. Berumur sekitar pertengahan tiga puluhan dengan rambut hitam dan alis tebal yang nyaris menyatu di dahi.
Laki-laki itu memiliki rahang kokoh dengan hidung mancung dan bibir yang proposional dengan wajahnya. Tampan tapi dilihat dari dekat terlalu pucat untuk kulit manusia pada umumnya. Jantung Khaelia berdetak lebih kencang.
“Siapa namamu?” Suara laki-laki itu terdengar keras dan berat di udara.
“Khaelia, Tu—an,”jawab Khaelia gugup.
“Apa golongan darahmu?”
Pertanyaan selanjutnya membuat Khaelia tanpa sadar mengusap lehernya yang bergidik. “Golongan O—, Tuan.”
“Bagus, itu yang aku cari.”
Khaelia tercengang tanpa sadar berujar keras.
“Tuan, apakah darah saya diperlukan dalam bekerja?”
Laki-laki itu mengangguk tegas. “Tentu saja.”
Keduanya saling pandang dan Khaelia menahan diri untuk tidak membalikkan tubuh serta melarikan diri. Dengan perlahan laki-laki mendekatinya. Pandangan tajam menyelidik, wajah tanpa senyum serta keangkuhan yang terlihat jelas di sikapnya yang kaku. Laki-Iaki itu memberikan tatapan menilai pada Khaelia.
Jari laki-Iaki itu terulur ke arah leher Khaelia. Tatapannya yang mengintimidasi membuat membuat Khaelia tidak mampu bergerak. Lembut, perlahan, serta berhati-hati, ujung jarinya mengusap sisi leher Khaelia. Udara seakan tersedot ke dalam pusaran magnet yang tidak dimengerti. Tatapan laki-laki itu membuat Khaelia seakan kehilangan tenaga untuk bergerak. Hanya berdiri, dengan napas sedikit tersengal.
“Bagus, aku suka dengan kulitmu yang lembut. Berapa umurmu?”
Khaelia meneguk ludah. “Dua puluh lima, Tuan.”
“Belum menikah bukan?”
“Be—lum.”
“Kenapa gugup? Aku bertanya baik-baik padamu.”
Bagaimana tidak gugup kalau selama tanya jawab jemari laki-laki di depannya tidak pernah lepas dari leher Khaelia. Terus mengusap dan memberikan sensasi aneh yang menakutkan. Berpangkal di paha dan menyebar hingga ke dada. Mata laki-laki di depannya campuran antara hitam sedikit kecokelatan dan menghipnotis siapa pun yang melihat.
“Tuan, si—silakan kalau mau mengisap darah saya. Ta—tapi tolong lakukan perlahan dan jangan sampai saya lemas karena kekurangan darah.”
Mendengkus keras, Carter menggeleng ke arah Khaelia. “Bukan bagian atas kancing blazermu. Ini perintah sekaligus bagian dari pekerjaan!”
Khelia sedang melintasi lobi yang hari ini cukup ramai saat ponselnya bergetar. Ada notifikasi yang tidak dikenalnya dan ternyata pemberitahuan uang masuk. Ia terbelalak karena tidak menyangka gajinya akan sebesar ini. Hampir lima kali lipat dari gaji di perusahaan terdahulu. Ia sudah tahu gajinya besar, kisaran belasan juta tapi ternyata lebih dari itu. Tanpa sadar ia tersenyum, mengepalkan tangan dan melontarkannya ke udara.“Yes!”Beberapa pegawai yang berpapasan dengannya menatap curiga, Khaelia hanya mengangguk kecil pada mereka. Sedikit heran karena lobi lebih ramai dari biasa. Apakah karena hari gajian semua orang memutuskan untuk pulang lebih lambat. Bersama beberapa perempuan muda, ia mengantri lift. Mendengar mereka bercakap tentang lembur dan turun hanya untuk membeli makan malam.“Departemen pemasaran memang paling sibuk di awal bulan.” Gadis bertubuh kurus bicara sambil mencebik.“Kita dituntut untuk selalu memenuhi target.” Temannya yang berkacamata menimpali.“Malam Min
Carter mendesah, merasakan hasrat menyerbunya hanya karena teringat Khaelia. Ia harus menyingkirkan semua pikiran buruk kalau ingin Khaelia betah di tempatnya bekerja. Ia kehilangan sekretaris lamanya karena laki-laki muda itu tidak kuat bergadang terus menerus, berganti lagi dengan perempuan dan hanya bertahan satu bulan karena terlalu takut untuk bicara dengannya.Sekretarisnya yang terakhir seorang laki-laki berumut awal tiga puluhan, terhitung cukup lama bekerja, hampir enam bulan tapi akhirnya menyerah karena ingin menikah. Gonta-ganti sekretaris sampai-sampai Bosman kebingungan untuk mencari orang yang bisa menemaninya. Sejauh ini Khaelia tidak pernah mengeluh, ia hanya berharap nafsunya tidak membuat gadis itu pergi.Selesai berpakaian, ia keluar kamar. Disambut beberapa pelayan yang membungkuk di lorong. Kamarnya berada di lantai tiga, sengaja menggunakan tangga padahal ada lift tidak jauh dari kamarnya. Ia perlu olah raga agar tubuhnya tetap bugar. Rumah keluarga yang ditempa
Dalam benak Khaelia sedang sibuk memikirkan pekerjaan di kantor dan tidak peduli dengan perkataan sepupunya. Sudah biasa Mila selalu menentang pendapatnya, seakan menjadi sepupu paling peduli padahal tidak peduli.“Temen-temenku yang sarjana semua kerja di kantor besar. Saat weekend pada ngumpul di bar atau karaoke. Sedangkan kamu? Malah jadi admin gudang. Memangnya nggak malu apa kalau suatu saat ketemu teman?”Khaelia mengangkat wajah dan menatap sepupunya lekat-lekat. Mila memang tidak pernah menyukainya terlebih sekarang saat ia tinggal di rumah ini. Dianggap sebagai penganggu dan menumpang hidup. Itulah kenapa ia menolak bersinggungan. Entah kenapa siang ini Mila sangat cerewet hingga mengesalkan.“Apa pentingnya omongan orang? Yang penting kerja halal.”Mila tertawa lirih sambil memutar bola mata.“Ye, ye, ye, bilang aja sama piring kosongmu itu, apa pentingnya omongan orang. Lihat aja nanti kalau kalian berkumpul, baru tahu apa artinya diremehkan!”Apakah Khaelia peduli omongan
Waktu berlalu dengan cepat dan tanpa terasa sudah satu bulan Khaelia bekerja dengan Carter. Setiap hari melalui rutinitas yang sama. Membuat kopi, menyusun berkas, melakukan penjadwalan, dan setiap pukul 12 malam keduanya beristirahat 30 menit. Sesekali Carter memanggil pelayan untuk membawa cemilan dan mengajak Khaelia mencicipinya.Dengan senang hati Khaelia memakan semua yang disuguhkan, selain karena gratis semua makanan berkualitas tinggi dengan rasa yang luar biasa lezat. Ia tidak makan camilan dengan aroma mentega yang begitu menggugah. Tidak lupa, berciuman dengan hangat sambil berbagi kopi.Khaelia tidak pernah tahu kalau ciuman bisa memabukkan dan membuat candu. Ia pernah melakukannya dengan kekasihnya yang dulu, tapi rasanya sungguh berbeda. Dengan Carter ada kehangatan, mendamba, dan gairah yang tersembunyi. Sering kali ia membayangkan bagaimana kalau jadinya tidak hanya berciuman tapi hal lain?Hal Iain seperti apa? Bercumbu? Setelah pertemuan hari pertama di mana Carter
Setelah puas melihat-lihat, ia memutuskan untuk minum teh. Dengan malu-malu duduk di sofa sementara Carter merokok di sudut dekat gazebo. Menyesap tehnya, Khaelia diam-diam menatap profil atasannya. Carter yang ketampanannya tidak seperti manusia pada normal ternyata mempunyai sikap yang ramah. Tidak seperti boss-boss besar pada umumnya yang cenderung menjaga jarak dan bersikap sangat dingin, laki-laki itu justru terlihat santai.Apakah Khaelia berhalusinasi saat melihat Carter begitu berbeda dalam siraman cahaya bulan? Jangan-jangan memang matanya saja yang salah. Lagi pula ini pertama kalinya mereka berjumpa, apa yang berbeda pun tidak ada yang tahu.“Enak tehnya?”Carter yang baru selesai merokok, duduk di samping Khaelia, membuatnya tanpa sadar sedikit bergeser ke samping.“Enak sekali, Tuan.”“Kamu nggak ngopi? Biasanya kerja malam takut mengantuk.”“Tidak, Tuan. Mungkin karena terbiasa malam tidak tidur.”“Berarti ini bukan pertama kalinya kamu kerja malam?”Khaelia mengangguk.
Laki-laki muda dan tampan itu bernama Carter June Solitaire. Tidak banyak yang tahu kalau ia adalah anak kedua dari keluarga Solitaire yang merupakan pemilik saham terbanyak sekaligus pimpinan di Capital Group. Carter yang berambut sehitam arang dan bermata tajam, saat ini sedang memandang seorang gadis muda yang ketakutan. Menahan geli karena Khaelia terlihat ngeri seolah ia akan mengisap darahnya. Apa yang ada di pikiran Khaelia sebenarnya?Carter menatap lekat-lekat, pada Khaelia yang berjalan mundur perlahan. Menghitung dalam hati pada langkah keberapa perempuan itu akan membalikkan tubuh dan pergi. Ia memasukkan tangan ke dalam saku dengan kaki bersilang, seakan sedang menikmati pertunjukkan yang seru dan lucu. Sayangnya, perkiraannya salah karena Khaelia sama sekali tidak ada niatan untuk pergi. Bahkan dengan lantang mengatakan sesuatu yang membuatnya tercengang.Khaelia meneguk ludah dan menuruti perintah Carter. Saat ini yang ingin dilakukannya hanya dua hal. Bekerja untuk men