LOGINSore menjelang malam, rumah itu tampak seperti potret ketenangan. Tirai bergoyang lembut, aroma masakan Ayla memenuhi ruang makan, dan suara langkah Nayaka terdengar pelan dari arah kamar. Setelah beberapa hari penuh keheningan dan percakapan hati ke hati, mereka mulai menemukan ritme baru bukan seperti dulu, tapi cukup untuk membuat udara terasa ringan.Ayla menata piring di meja, sesekali melirik ke arah Nayaka yang sedang memperbaiki bingkai foto di dinding. Di dalam foto itu, ada senyum mereka berdua senyum yang dulu terasa asing, tapi kini seperti lambang dari awal yang baru.“Kamu sadar nggak?” tanya Ayla sambil tersenyum tipis. “Foto ini kayak penanda, tiap kali kita bertengkar pasti miring.”Nayaka menoleh. “Mungkin rumah ini juga bisa ngerasain suasana hati penghuninya.”“Kalau gitu, berarti dia tahu sekarang kita lagi tenang,” balas Ayla sambil duduk.Nayaka berjalan mendekat, menatap meja makan yang sederhana tapi hangat sup ayam buatan Ayla, nasi hangat, dan teh melati ya
Pagi itu, aroma hujan semalam masih tertinggal di udara. Sinar matahari menembus tirai tipis kamar, menciptakan garis cahaya hangat di atas kasur tempat Ayla dan Nayaka masih terbaring diam. Tidak ada suara selain detak jam dinding dan napas mereka yang berirama pelan.Ayla membuka mata lebih dulu. Pandangannya jatuh pada wajah Nayaka yang tertidur di sampingnya rambut sedikit berantakan, alis mengerut samar, seolah masih memikirkan sesuatu bahkan dalam mimpi. Tangannya terulur, hampir menyentuh wajah itu, tapi berhenti di tengah udara. Ia tersenyum kecil.“Masih kelihatan keras kepala bahkan waktu tidur,” gumamnya pelan.Nayaka bergeming, lalu perlahan membuka mata. “Aku dengar itu,” suaranya serak, tapi lembut.Ayla sedikit tersipu. “Kau pura-pura tidur, ya?”“Tidak. Aku cuma menunggu kau bilang sesuatu yang lebih manis,” balas Nayaka, separuh menggoda, separuh jujur.Ayla menghela napas pendek, berusaha menahan senyum. “Sudah pagi. Kita harus kerja.”“Kerja nanti. Sekarang…” Nayaka
Hujan turun deras malam itu. Bunyi rintiknya memantul di genting dan jendela, seolah mencoba menenggelamkan suara-suara dari masa lalu yang baru saja muncul ke permukaan. Di ruang tamu, Ayla duduk memeluk lutut di sofa, menatap kosong ke arah luar jendela. Lampu redup menciptakan bayangan lembut di wajahnya wajah yang terlihat tenang di luar, tapi bergemuruh di dalam.Nayaka baru keluar dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat. “Masih hujan,” katanya pelan sambil duduk di sebelah Ayla.Ayla hanya menatap teh itu tanpa menyentuhnya. “Kamu tahu... aku nggak nyangka semuanya akan balik begini.”Nayaka menatapnya, tapi tak langsung menjawab. “Kamu kecewa?”Ayla menunduk. “Aku nggak tahu. Rasanya aneh. Aku sedih karena tahu kamu nyimpan semua itu sendirian. Tapi di sisi lain... aku marah. Karena kamu nggak percaya aku cukup kuat untuk tahu.”Nayaka mengembuskan napas panjang. “Aku pikir kalau aku simpan sendiri, semua bakal lebih mudah.”“Untuk siapa? Kamu?” Ayla menatapnya tajam. “Atau
Pagi itu, aroma kopi memenuhi dapur. Sinar matahari menerobos lembut lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Ayla berdiri di depan meja, mengenakan daster sederhana, rambutnya digelung asal. Ia tampak tenang, tapi matanya menyimpan sesuatu semacam kewaspadaan yang tidak hilang sejak pesan dari Meira semalam.Nayaka datang dari arah tangga, mengenakan kemeja putih dan celana kerja, dasinya belum terpasang. “Pagi,” ucapnya pelan sambil mengambil cangkir dari meja.“Pagi,” jawab Ayla sambil menuangkan kopi untuknya. “Kamu tidur nyenyak?”“Lumayan,” katanya sambil tersenyum tipis. “Kamu?”Ayla mengangkat bahu. “Aku bangun beberapa kali.”Mereka sama-sama diam. Bukan karena marah, tapi karena masih mencari cara untuk terbiasa dengan kedamaian yang terasa rapuh itu.Setelah beberapa teguk, Nayaka menatap Ayla lama. “Kamu kelihatan kepikiran sesuatu.”Ayla menghela napas. “Tadi malam... aku dapat pesan.”“Dari siapa?”Ayla menatapnya lurus. “Meira.”Suara itu cukup
Sore itu, hujan telah reda, menyisakan udara lembap dan aroma tanah basah yang samar. Ayla duduk di teras belakang, mengenakan sweater abu-abu miliknya yang sudah mulai longgar di ujung lengan. Di pangkuannya, sebuah buku catatan terbuka bukan laporan, bukan rencana, hanya halaman kosong yang entah kenapa terasa menenangkan.Dari dalam rumah, langkah kaki Nayaka terdengar mendekat. Ia membawa dua cangkir teh, uapnya tipis tapi harum. “Kamu nggak masuk?” tanyanya pelan sambil menaruh salah satu cangkir di meja kecil.Ayla menatap halaman kosong di depannya. “Belum. Di luar... rasanya lebih tenang.”Nayaka ikut duduk di sebelahnya, bersandar pada sandaran kayu yang dingin. “Tenang, atau sepi?”“Dua-duanya,” jawab Ayla tanpa menatap. “Kadang aku nggak tahu bedanya.”Nayaka menatap wajahnya lama, seolah sedang mencari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. “Ayla, kalau kamu masih menyimpan marah, aku bisa terima. Tapi jangan simpan semuanya sendirian.”Ayla menutup bukunya perlahan, jemarinya
Pagi itu, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara lembap masih tertinggal dari hujan semalam. Di dapur, aroma kopi perlahan memenuhi udara, berpadu dengan bunyi halus sendok yang beradu dengan cangkir. Ayla berdiri di depan jendela, memandangi taman kecil di belakang rumah yang masih basah. Daun-daun berkilau oleh sisa embun, dan di kaca, pantulan wajahnya tampak sayu tapi tenang seperti seseorang yang baru saja bertarung dengan dirinya sendiri.Langkah kaki pelan terdengar dari arah koridor. Nayaka muncul, masih mengenakan kaus abu dan celana panjang hitam. Rambutnya sedikit berantakan, matanya redup, tapi ada kehangatan di balik tatapan itu. Sejenak, keduanya hanya saling menatap tanpa kata. Sunyi di antara mereka seperti memiliki makna sendiri.“Pagi,” ucap Nayaka akhirnya, suaranya pelan tapi lembut.“Pagi,” jawab Ayla, tanpa menoleh sepenuhnya. “Kopinya sudah siap. Aku buat dua.”Nayaka mendekat, mengambil cangkir yang satunya. Ia menatap uap yang naik dari permukaan kopi,







