LOGINMalam itu aku tidak langsung tidur. Ada sesuatu yang menggangguku—sesuatu yang belum selesai.Setelah Lita tertidur, aku keluar dari kamar dengan hati-hati. Di ruang tamu, Bayu masih terjaga—duduk di kursi roda sambil menatap televisi yang tidak menyala. Hanya menatap layar hitam dengan pandangan kosong."Bayu," panggilku pelan.Dia tersentak, lalu menoleh. "Rani. Aku pikir kamu sudah tidur.""Belum bisa tidur." Aku duduk di sofa di seberangnya. "Kamu juga?""Aku... banyak pikiran." Dia mengusap wajahnya dengan tangan. "Besok kan giliran Lukman bersaksi. Giliran dia bicara.""Kamu takut dia akan bilang sesuatu yang... memberatkanmu?"Bayu terdiam lama. Lalu mengangguk pelan. "Lukman bukan orang bodoh. Dia pasti tahu kalau dia sudah kalah. Dan orang yang sudah kalah... kadang akan coba seret orang lain ikut jatuh bersamanya.""Tapi kamu sudah kooperatif. Kamu sudah bersaksi melawan dia. Jaksa pasti akan pertimbangkan itu.""Aku tahu. Tapi tetap saja..." Bayu menatap tangannya sendiri.
Hari keempat persidangan dimulai dengan suasana yang lebih tegang dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena semua orang tahu hari ini adalah hari terakhir presentasi bukti keuangan—hari di mana Bu Ratna akan "menutup" kasus korupsi dengan bukti-bukti final yang paling menghancurkan.Atau mungkin karena di luar gedung, massa demonstran sudah berkumpul sejak subuh—ribuan orang dengan poster, spanduk, dan megafon. Mereka tidak hanya dari Jakarta, tapi dari berbagai kota—Bandung, Surabaya, Yogyakarta, bahkan Papua. Semua datang untuk menuntut satu hal: keadilan."TANGKAP SEMUA KORUPTOR!""KEMBALIKAN UANG RAKYAT!""HUKUMAN MATI UNTUK LUKMAN!"Teriakan itu terdengar sampai ke dalam gedung pengadilan, menciptakan pressure yang luar biasa besar—bukan hanya untuk Lukman dan Hotman, tapi juga untuk hakim yang akan memutuskan vonis nanti.Kami masuk lewat pintu samping seperti biasa, tapi kali ini dengan pengawalan ekstra ketat. Polisi bersenjata lengkap berjaga di setiap sudut. Sepertinya pihak
Pagi itu aku terbangun dengan kepala berdenyut. Mimpi buruk lagi—tapi kali ini bukan tentang pembakaran gudang atau penculikan Lita. Kali ini tentang angka-angka yang mengejarku, tentang 47 triliun rupiah yang berubah jadi monster raksasa yang menelanku hidup-hidup.Aku duduk di pinggir tempat tidur, menarik napas panjang. Lita masih tertidur di sampingku, wajahnya damai. Setidaknya malam ini dia tidak bermimpi buruk.Aku keluar kamar dengan pelan, menuju dapur. Arjuna sudah di sana—membuat kopi dengan mesin tua yang berbunyi keras."Pagi," sapanya tanpa menoleh. Seperti dia sudah tahu aku yang datang."Pagi," jawabku sambil duduk di meja kecil. "Kamu tidak tidur?""Tidur. Tapi tidak nyenyak." Dia menuangkan kopi ke dua cangkir, menyodorkan satu padaku. "Kamu juga?""Mimpi buruk. Tentang angka-angka."Arjuna tertawa kecil—tawa yang tidak ada sukanya. "Aku juga. 47 triliun itu... terlalu besar untuk dibayangkan. Tapi terlalu nyata untuk diabaikan."Kami duduk dalam diam sebentar, menye
Malam itu aku tidak langsung pulang ke safe house. Setelah sidang selesai, Bu Ratna meminta kami semua berkumpul di kantornya—ruang meeting kecil di gedung KPK dengan jendela menghadap lampu-lampu kota Jakarta yang mulai menyala. "Besok adalah hari yang sangat penting," katanya sambil membuka laptop. Di layar proyektor, muncul diagram rumit—alur transaksi keuangan dengan panah-panah mengarah ke berbagai rekening. "Kita akan presentasikan bukti keuangan. Ini adalah jantung dari kasus korupsi Lukman." Aku menatap diagram itu dengan kepala pusing. Angka-angka, nama perusahaan asing, istilah-istilah perbankan yang tidak kufahami—semuanya terlihat seperti jaring laba-laba yang sangat rumit. "Apa hakim akan mengerti semua ini?" tanyaku ragu. "Itulah tantangannya," jawab Bu Ratna. "Hotman akan coba buat ini semakin rumit—membingungkan hakim dengan istilah teknis, mempertanyakan metodologi ahli kami, membuat seolah-olah semua transaksi ini adalah praktik bisnis normal." "Lalu bagaima
Hari ketiga persidangan dimulai dengan suasana yang sedikit berbeda. Setelah kesaksian yang intens kemarin—Bayu yang mengungkapkan semua kejahatan, aku yang nyaris roboh di podium saksi—hari ini giliran saksi-saksi pendukung yang akan memperkuat kesaksian kami.Bu Ratna mengatakan ini adalah strategi penting: "Hotman sudah coba diskreditkan kalian dengan menyerang motif pribadi. Sekarang kita tunjukkan bahwa bukan hanya kalian yang melihat kejahatan Lukman. Ada banyak orang lain—orang yang tidak punya hubungan pribadi dengannya—yang juga jadi korban atau saksi."Saksi pertama yang dipanggil adalah Nyonya Surya.Dia berjalan ke podium dengan tongkat kayunya—langkah yang lebih pelan dari biasanya. Usianya tujuh puluh tahun lebih, tapi matanya masih tajam. Setiap ketukan tongkatnya di lantai kayu terdengar seperti palu hakim—tegas, tidak bisa dibantah.Dia bersumpah dengan suara yang jelas meski bergetar karena emosi yang tertahan."Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda de
Setelah istirahat lima belas menit, sidang dilanjutkan. Kali ini, giliran aku yang dipanggil ke podium saksi.Jantungku berdebar sangat keras saat aku berjalan ke depan. Ratusan pasang mata menatapku—wartawan, penonton, hakim, Lukman. Tapi yang paling membuatku gugup adalah kamera—kamera yang menyiarkan langsung ke seluruh Indonesia. Jutaan orang sedang menontonku sekarang.Aku bersumpah dengan tangan gemetar, lalu duduk di kursi saksi. Bu Ratna berdiri dengan senyum menenangkan—seperti dia tahu betapa gugupnya aku."Saksi, tolong sebutkan nama lengkap dan hubungan Anda dengan kasus ini.""Nama saya Rani Kartika. Saya istri dari Bayu Sasmita. Dan saya... korban dari percobaan pembunuhan yang diperintahkan oleh Lukman Hadiwijaya."Suaraku bergetar di awal, tapi perlahan menjadi lebih stabil."Saksi, kapan Anda pertama kali tahu tentang kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa?""Tahun lalu. Setelah surat wasiat almarhum Hartono Sasmita tiba di rumah saya. Di surat itu, saya ditunjuk seba







