Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan, Alya?" selidikku. Karena firasatku tiba-tiba menjadi tidak enak, apalagi ketika dia mengatakan kalau akan berangkat bersama."Aku mau Mas Andra memberi kami tumpangan sampai di pasar," jawab Alya santai, dan itu membuatku merasa semakin tidak nyaman. Atau mungkin, aku terlalu berlebihan menanggapi sesuatu? Entahlah."Sebaiknya saya sendiri yang ke pasar, karena tidak baik membawa anak-anak ke sana. Terlebih mereka masih kecil," ucap Sania menimpali. Dia melihatku penuh arti, dan seketika aku mengerti maksudnya dari ucapan Sania tersebut."Alya, apa yang dikatakan Suci benar. Lebih baik kamu di rumah bersama anak-anak, biar Suci yang ke pasar," ucapku.Alya terdiam, dia melihat Haikal dan Hanna bergantian. Lalu dia mengulas senyum."Baiklah kalau begitu, karena aku sebenarnya malas kalau pergi ke pasar. Oh iya, ini catatan belanjaan hari ini dan tempat di mana harus membelinya juga sudah aku tulis, sekalian nama penjualannya."Alya menyerah selem
Bertemu Dokter Leo****Untuk beberapa saat aku seperti kehilangan arah, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga kudengar suara dokter Leo di ujung telepon memanggilku."Pak Andra masih di sana?" tanyanya pelan, mungkin dia berpikir aku sudah meninggalkan percakapan."Ma--maaf, Dok, tadi sedang ada sesuatu sedikit," kataku gugup. "Sebenarnya apa yang ingin dokter Leo bicarakan dengan saya?" lanjutku.Dari ujung telepon, terdengar tarikan napas dokter Leo. "Pak Andra, ada yang ingin saya sampaikan pada Bapak mengenai bu Laila. Jadi jika ada waktu, tolong temui saya," ucapnya."Tentu saja, saya akan segera ke tempat Dokter. Apakah hari ini kita bisa bertemu?" Kataku sekaligus mengiyakan permintaannya."Setelah makan siang, saya akan ke sana. Apakah bisa?" tanyaku."Baiklah, saya tunggu."Aku mengakhiri panggilan dan menyandarkan punggung ke bantalan kursi. Kepala terasa begitu berat, kematian Laila, penyadapan ponselku, semua membuat kepalaku berdenyut hebat.Kulirik arloji di tangan, dan
Jawaban Menohok Alya***Gadis yang duduk di depanku ini diam sesaat, entah apa yang dipikirkannya saat itu. Kemudian dia menatapku lekat, seolah menantang tatapan mataku."Kenapa baru sekarang Mas Andra bertanya tentang mbak Laila?" tanyanya."Aku ....""Mbak Laila sudah tiada, jangan lagi mengungkit tentangnya. Tapi ... ingatlah apa yang selama ini dia lakukan untukmu. Apa saja yang sudah dikorbankan untuk bisa tetap berada di sampingmu. Mbak Laila sangat cerdas, dia punya cita-cita menjadi seorang dokter waktu itu. Namun dia harus mengubur impiannya ketika Mas Andra datang dalam hidupnya, memberinya mimpi dan harapan hingga membuatnya jatuh cinta. Meski demikian, tidak sekalipun mbak Laila melupakan cita-citanya, dia ingin tetap sekolah. Namun apa yang Mas Andra lakukan saat itu?" Alya bertanya, matanya masih menatapku tajam."Aku ...." kataku dengan dengan suara tercekat."Biar aku ingatkan jika Mas Andra lupa," ucap Alya cepat memotong kalimatku."Saat itu Mas Andra datang ke rum
Apa Yang Diketahui Alya?***Perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu untuk mengetahui apa yang terjadi, namun hal itu urung kulakukan dan memilih menghentikan langkah sambil menajamkan pendengaran. Aku ingin tahu apa yang terjadi di luar kamarku saat ini. Namun setelah beberapa saat, tidak ada suara apa-apa lagi setelah itu, sepi. Apakah mereka telah pergi?"Mbak Suci, kenapa malah bengong seperti itu? kalau Mbak membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku."Kembali terdengar suara Alya yang sedang berbicara dengan Sania di luar sana, itu artinya mereka berdua masih di depan kamarku."Itu ... saya tadi sedang menyapu dan mengepel," jawab Sania, suaranya seperti orang bingung."Kan kemarin saya sudah bilang, Mbak, kalau membersihkan rumah, tunggu kakak saya berangkat bekerja dulu. Setelah itu baru Mbak mulai bersih-bersih. Kalau seperti ini, siapa yang jagain anak-anak sementara saya sedang menyiapkan sarapan. Ayo cepat ke depan, anak-anak tidak ada yang jagain tuh ...."Alya berkata panj
Apa Yang Terjadi?****"Sa, Su ... Suci, apa yang terjadi denganmu, kenapa kepalamu?" tanyaku panik. Hingga membuatku hampir saja keceplosan dan salah memanggil nama Sania."Dia terpeleset di kamar mandi tadi," jawab Alya cepat."Kok bisa?" gumamku dengan tidak percaya.Rupanya Alya mendengar apa yang kukatakan tadi meski lirih, dan dia pun menjawab dengan cepat. "Tentu saja bisa, Mas. Jangankan mbak Suci yang bergerak ke sana ke mari, orang tidur saja bisa jatuh dari tempat tidur," ujarnya sinis sambil mengangkat sebelah alisnya, dan hal itu membuatku benar-benar muak dan sebal melihatnya."Mas, titip Haikal sebentar. Aku mau mandi, seharian enggak sempat mandi karena sibuk," ucap Alya sambil menyerahkan Haikal padaku yang masih mematung. Hanna berlari mengejar Alya menuju kamar, sementara Sania bersandar di dinding. Dia menggelengkan kepalanya dan berjalan tertatih menuju kamarnya."Sania, tunggu," panggilku dengan suara lirih. Namun dia tidak menghiraukanku dan terus berjalan ke
"Mas Andra, apa yang kamu lakukan di sini?" Kembali Alya berkata.Belum hilang rasa penasaranku, aku kembali dikejutkan oleh suara teguran dari Alya. Entah sejak kapan dia berdiri di depanku sambil memerhatikanku."Eh, aku merasa lapar dan ingin makan, tapi kulihat lauknya sudah agak dingin, tapi aku mendengar seperti ada suara orang berbicara di luar. Makanya aku ke sini untuk mencari tahu, dan ternyata itu kamu," jawabku menjelaskan."Oh, itu ... aku sedang berbicara dengan ibu. Karena tidak ingin mengganggu Hanna yang sedang tidur, makanya aku memutuskan untuk keluar dan ngobrolnya di sini. Oh, iya ... apakah Haikal sudah tidur?" tanya Alya balik."Sudah, dan dia tidur di kamarku," jawabku singkat."Kenapa tidak dibawa ke kamarnya saja, Mas?" selidik Alya."Tidak apa-apa, aku yang menginginkan tidur dengan Haikal," kataku lirih.Ada sesuatu yang tiba-tiba menggelitik hati, entah sejak kapan munculnya sifat melow ini hingga aku berpikir untuk tidur bersama anak laki-lakiku. Menginga
"Apa yang kamu bicarakan ini Sania, jangan ngawur kamu," kataku dengan suara tertahan. Aku tidak ingin mengeraskan suara, karena takut jika nanti akan terdengar oleh Alya."Sudah kukatakan dengan sangat jelas, Mas. Aku ingin kamu mengusir bocah tengil itu dari rumah ini karena aku tidak ingin melihatnya lebih lama tinggal di sini!" Ucap Sania emosi."Sania, aku tidak bisa melakukan itu sekarang. Kamu tahu, kan, kalau aku mengusirnya, apakah kamu sanggup untuk merawat kedua anakku?""Kenapa kamu memintaku untuk merawat mereka? bukankah kamu bermaksud untuk mencari pengasuh?" tanya Sania balik."Sudahlah, aku ingin tidur. Capek sekali ngomong sama kamu, Mas." Sania berkata sambil menutup pintu kamarnya. Kucoba memanggil dan mengetuk pintu kamar Sania, namun dia bergeming tidak ingin membuka pintu atau mendengar penjelasan apapun dariku.Kutarik napas dalam, bagaimana aku bisa mengusir Alya dari rumah ini? Sementara anak-anak sudah begitu dekat dan bergantung padanya. Bahkan kehadiranny
Sania Masuk Kamar ***Alya berjalan pelan mendekati Sania yang berdiri mematung, mungkin dia tidak menyangka kalau Alya tiba-tiba akan datang dan mendengar apa yang dia bicara tadi. Atau mungkin, dia tadi juga mendengar bagaimana Sania yang berbicara bukan layaknya seperti seorang pembantu kepada majikannya."Aku tahu mbak Suci merasa marah karena hampir seharian terkunci di dalam kamar mandi, tapi bukan seperti itu caranya, Mbak. Apalagi sampai bercerita bohong pada Mas Andra. Mbak Suci lupa, ya, siapa Mas Andra? dia itu kakak iparku. Bagaimana mungkin Mbak berbohong seperti itu padanya? Bagaimana jika kuceritakan semuanya pada ibu dan ibunya Mas Andra yang tidak lain adalah nenek dari anak-anak yang akan Mbak jaga? bisa dipecat lho kalau ketahuan berbohong," ucap Alya panjang lebar, namun demikian, tidak ada kemarahan dari nada bicara Alya. Alya berbicara seolah sedang memegang teks, begitu lancar dan tanpa jeda. Aku bahkan sampai menahan napas saat dia berbicara. Dan hal yang sam