Bibirku terkatup rapat. Menatap bingung pada permintaan Rafael yang terkesan sangat penasaran dan sedikit memaksa. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Meski penasaran juga menyelimuti perasaanku, tapi haruskah aku terbuka soal itu pada sahabat kakakku?"Dinara... kenapa kamu diam? Apa kamu tidak ingin melakukannya?" tanya Rafael dengan nada tak sabar.Aku mengangkat wajah menatap Kak Rafael dengan serius namun tenang. Lalu kuulas senyum tipis dan menjawab, "Aku akan mengeceknya sendiri nanti.""Memangnya kenapa kalau sekarang?"Aku masih berusaha tenang dan tak ingin emosi menanggapinya. "Tidak apa-apa, Kak. Lagi pula ini tidak ada hubungannya dengan Kakak, bukan? Jadi, nanti saja aku memastikannya," tuturku.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Kak Rafael dengan raut wajah kesal. Aku tak tahu kenapa hal itu bisa membuatnya tampak tak senang. Dan beberapa saat setelah Kak Rafael merasa cukup tenang, dia kembali menatapku dengan tatapan lembut namun tetap serius."Lalu... apa yang a
Aku mengambil napas panjang dan memberanikan diri menatap wajah Kak Rafael yang jelas sekali menunggu jawaban. Lalu tanpa membuang waktu aku segera menyerahkan testpack itu ke tangannya tanpa melihat hasilnya."Aku belum melihat hasilnya, jadi Kakak saja yang melihat hasilnya sendiri," pintaku dengan nada lembut tapi cukup tegas.Kak Rafael tak menjawab. Ia hanya menatap ke arah testpack yang ada di telapak tangannya dengan gerakan perlahan. Seolah dia juga sedang mengatur debaran jantungnya agar siap menerima sebuah kejutan. Tapi, aku tak tahu apakah dia berharap aku benar-benar hamil atau tidak. Semua itu tak tergambar di raut wajahnya yang saat ini sedang serius.Setelah beberapa detik terasa hening, aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Bagaimana hasilnya? Apakah aku positif hamil?"Tatapan dalam dan serius dari Kak Rafael tertuju padaku. Tapi lagi-lagi aku sulit menebak apa yang sedang dipikirkan pria itu. Hingga sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang seha
Ketukan heel Selina dan sepatu pantofel Kak Rafael beserta para staf yang mengikutinya menjadi sebuah musik yang mengalun penuh ketegangan di layar tabletku. Menampakkan lorong panjang perusahaan yang mengarah ke ruangan Mas Evan. Detik-detik menegangkan semakin terasa saat tak terlihat Vania di meja kerjanya. Entah ke mana, mungkin di ruangan suaminya, entah untuk bekerja atau justru hanya bermesraan saja. Tapi yang jelas, aku sudah tak sabar melihat bagaimana reaksi Mas Evan saat Kak Rafael datang untuk memberinya kejutan. Selina mengetuk pintu pelan. Begitu mendengar sahutan dari dalam, dia langsung membuka pintu itu dan melangkah bersama Kak Rafael dengan penuh wibawa. Mas Evan langsung berdiri dan menyambut kedatangan Kak Rafael dengan senyum ramah. Sementara Vania? Ah, aku baru ingat. Dia sudah tidak bekerja sejak seminggu setelah sah menjadi istri Mas Evan. Mungkin karena dia pikir uang Mas Evan sudah cukup memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Jadi, dia lebih memilih menghabiska
Aku mematung. Manatap dengan rasa terkejut luar biasa. Bagai mimpi dalam lelap yang tak pernah terjaga. Aku tak mengira jika hari ini akan menjadi hari pertemuanku dengan keluarga yang kurindukan dalam waktu yang lama. Hari membahagiakan sekaligus mengharukan bagiku dan mereka tentunya. Namun, perasaan gugup juga melanda dalam waktu yang bersamaan atas sebuah kebohongan besar yang sudah kulakukan."Ma," panggilku lirih. Nadaku bergetar menahan rasa haru yang begitu dalam. Bahkan bulir bening yang menggantung di pelupuk mata, seolah ikut andil menjelaskan perasaanku yang sebenarnya."Dinara..." ucap Mama dengan rasa haru yang sama. Lalu menarikku dalam dekapan hangatnya. Tak mampu lagi mencegah air matanya tumpah dalam luapan kebahagiaan yang tak terucapkan. "Mama senang sekali ternyata kamu masih hidup, Dinara."Anggukan kupilih sebagai jawaban atas kata yang tertahan. Lalu pelukan pun semakin kueratkan. Aku menangis tersedu, meluapkan rindu yang menggebu. Bersamaan dengan itu, tangan
Ting!Denting notifikasi ponsel yang terdengar, membuatku meletakkan majalah dan beranjak dari sofa. Kuayunkan langkah menuju nakas yang berada tepat di samping ranjang. Kuraih benda pipih yang ada di atasnya dan kuperhatikan layar. Nomor baru? Aku tak bisa menebak nomor siapa itu. Tapi kata-kata yang terlihat pada bar notifikasi sudah cukup membuatku mengernyitkan dahi.[Suamimu sangat pandai dalam hal memuaskan. Aku dibuat mendesah keenakan di atas ranjang]Seketika jantungku berdebar kencang, tapi aku masih berusaha untuk tetap tenang. Aku juga berpikir positif bahwa mungkin saja itu hanyalah orang iseng atau pesan salah kirim. Apalagi tak ada nama suamiku ataupun foto yang bisa menjadi bukti untuk menguatkan isi pesan.Namun tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak penasaran. Lalu kucoba melihat foto profilnya, namun sayang hanya menampakkan buket bunga dengan selembar kartu ucapan. Dan setelah fotonya kuperbesar, nama toko bunga yang tertera pada kartu ucapan adalah toko
Aku memasukkan lipstick itu ke dalam saku piyama. Lalu beralih menuju lemari pakaian untuk mengambilkan piyama Mas Evan. Rasanya pikiranku sudah tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Bahkan aku juga gelisah dan tak sabar menunggunya keluar.Begitu pintu kamar mandi terbuka, kulihat Mas Evan keluar dengan handuk putih yang melilit pinggang. Sementara tangannya sibuk mengeringkan rambutnya yang basah usai keramas dengan handuk lainnya.Aku berdiri, menatapnya dengan beribu tanya yang memenuhi kepala. Rasanya terlalu sulit mengeluarkan pertanyaan tentang lipstick itu padanya. Bukan tak berani, hanya saja aku sedang menyusun kalimat yang tepat agar tidak membuatnya merasa dicurigai.“Ada apa? Apa ada yang ingin kamu bicarakan, Sayang?” tanya Mas Evan sambil mendekat padaku.Aku tersenyum tipis. Lalu kuambil dan kuperlihatkan lipstick itu padanya. “Aku menemukannya jatuh dari saku tas kamu, Mas.”Mas Evan menunduk, menatap lipstick di tanganku dengan ekspresi yang biasa. Tak ada kegugupan ya
Bu Aura tersenyum lebar, lalu menjawab, “Benar sekali, Bu Dinara. Hampir setiap hari dia mampir untuk membeli bunga. Dia juga selalu minta untuk ditambahkan kartu ucapan. Saya yakin Bu Dinara pasti merasa sangat bahagia karena mendapat perlakuan yang romantis hampir setiap hari dari suaminya. Dan saya juga yakin ada banyak wanita yang iri untuk bisa berada di posisi Anda.”Degh!Aku sedikit mengernyit bersamaan dengan senyum di bibirku yang hampir memudar. Terkejut? Tentu saja. Bahkan, apa katanya? Hampir setiap hari? Bukankah itu artinya Mas Evan sering membeli bunga di sini?“Bu? Bu Dinara?”Aku terkesiap saat menyadari Bu Aura melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Seketika itu kuukir senyum simpul untuk menyembunyikan rasa terkejutku. “Bu Aura bisa saja. Pasti masih banyak wanita yang lebih beruntung daripada saya.”Wanita di hadapanku kembali tersenyum. Tampak benar-benar tulus tanpa sebuah topeng yang menutupi wajahnya.“Bu Dinara saja yang suka merendah,” ujarnya. “Oh y
Mia mengernyit. Jelas raut wajahnya sedikit heran dengan pertanyaanku. Tapi dia tak benar-benar menunjukkan dan justru tampak sedang berpikir keras.“Seingat saya yang biasa memakai lipstick merah ada Bu Anggun. Selain itu saya kurang memperhatikan, Bu. Maaf,” jawabnya.Aku mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Lalu kubiarkan Mia kembali melanjutkan pekerjaannya.“Bu Anggun?” gumamku lirih. Tapi pikiranku segera menepis dugaan perselingkuhan Mas Evan dengan Bu Anggun. Karena tidak mungkin Mas Evan tertarik dengan wanita yang usianya hampir menginjak lima puluh tahun.Langkah kembali kuayun menuju ruang kerja Mas Evan. Semakin dekat, jantungku semakin berdetak cepat. Pikiranku sudah membayangkan jika Mas Evan mungkin sedang bermesraan di ruang kerjanya, seperti kisah dalam novel yang pernah kubaca, atau drama film yang pernah kutonton. Aku merasa tak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi di hadapanku sekarang.“Wah ini sangat indah, Pak. Saya yakin tidak ada wanita yang ti
Aku mematung. Manatap dengan rasa terkejut luar biasa. Bagai mimpi dalam lelap yang tak pernah terjaga. Aku tak mengira jika hari ini akan menjadi hari pertemuanku dengan keluarga yang kurindukan dalam waktu yang lama. Hari membahagiakan sekaligus mengharukan bagiku dan mereka tentunya. Namun, perasaan gugup juga melanda dalam waktu yang bersamaan atas sebuah kebohongan besar yang sudah kulakukan."Ma," panggilku lirih. Nadaku bergetar menahan rasa haru yang begitu dalam. Bahkan bulir bening yang menggantung di pelupuk mata, seolah ikut andil menjelaskan perasaanku yang sebenarnya."Dinara..." ucap Mama dengan rasa haru yang sama. Lalu menarikku dalam dekapan hangatnya. Tak mampu lagi mencegah air matanya tumpah dalam luapan kebahagiaan yang tak terucapkan. "Mama senang sekali ternyata kamu masih hidup, Dinara."Anggukan kupilih sebagai jawaban atas kata yang tertahan. Lalu pelukan pun semakin kueratkan. Aku menangis tersedu, meluapkan rindu yang menggebu. Bersamaan dengan itu, tangan
Ketukan heel Selina dan sepatu pantofel Kak Rafael beserta para staf yang mengikutinya menjadi sebuah musik yang mengalun penuh ketegangan di layar tabletku. Menampakkan lorong panjang perusahaan yang mengarah ke ruangan Mas Evan. Detik-detik menegangkan semakin terasa saat tak terlihat Vania di meja kerjanya. Entah ke mana, mungkin di ruangan suaminya, entah untuk bekerja atau justru hanya bermesraan saja. Tapi yang jelas, aku sudah tak sabar melihat bagaimana reaksi Mas Evan saat Kak Rafael datang untuk memberinya kejutan. Selina mengetuk pintu pelan. Begitu mendengar sahutan dari dalam, dia langsung membuka pintu itu dan melangkah bersama Kak Rafael dengan penuh wibawa. Mas Evan langsung berdiri dan menyambut kedatangan Kak Rafael dengan senyum ramah. Sementara Vania? Ah, aku baru ingat. Dia sudah tidak bekerja sejak seminggu setelah sah menjadi istri Mas Evan. Mungkin karena dia pikir uang Mas Evan sudah cukup memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Jadi, dia lebih memilih menghabiska
Aku mengambil napas panjang dan memberanikan diri menatap wajah Kak Rafael yang jelas sekali menunggu jawaban. Lalu tanpa membuang waktu aku segera menyerahkan testpack itu ke tangannya tanpa melihat hasilnya."Aku belum melihat hasilnya, jadi Kakak saja yang melihat hasilnya sendiri," pintaku dengan nada lembut tapi cukup tegas.Kak Rafael tak menjawab. Ia hanya menatap ke arah testpack yang ada di telapak tangannya dengan gerakan perlahan. Seolah dia juga sedang mengatur debaran jantungnya agar siap menerima sebuah kejutan. Tapi, aku tak tahu apakah dia berharap aku benar-benar hamil atau tidak. Semua itu tak tergambar di raut wajahnya yang saat ini sedang serius.Setelah beberapa detik terasa hening, aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Bagaimana hasilnya? Apakah aku positif hamil?"Tatapan dalam dan serius dari Kak Rafael tertuju padaku. Tapi lagi-lagi aku sulit menebak apa yang sedang dipikirkan pria itu. Hingga sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang seha
Bibirku terkatup rapat. Menatap bingung pada permintaan Rafael yang terkesan sangat penasaran dan sedikit memaksa. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Meski penasaran juga menyelimuti perasaanku, tapi haruskah aku terbuka soal itu pada sahabat kakakku?"Dinara... kenapa kamu diam? Apa kamu tidak ingin melakukannya?" tanya Rafael dengan nada tak sabar.Aku mengangkat wajah menatap Kak Rafael dengan serius namun tenang. Lalu kuulas senyum tipis dan menjawab, "Aku akan mengeceknya sendiri nanti.""Memangnya kenapa kalau sekarang?"Aku masih berusaha tenang dan tak ingin emosi menanggapinya. "Tidak apa-apa, Kak. Lagi pula ini tidak ada hubungannya dengan Kakak, bukan? Jadi, nanti saja aku memastikannya," tuturku.Hembusan napas kasar keluar dari mulut Kak Rafael dengan raut wajah kesal. Aku tak tahu kenapa hal itu bisa membuatnya tampak tak senang. Dan beberapa saat setelah Kak Rafael merasa cukup tenang, dia kembali menatapku dengan tatapan lembut namun tetap serius."Lalu... apa yang a
Tubuhku terasa lemas setelah semua makanan yang ada dalam perut telah kutumpahkan. Aku tidak tahu kenapa, mual itu tiba-tiba terasa nyata dan aku tidak kuat untuk menahannya, sehingga dengan penuh tenaga aku pun memuntahkannya. Kucoba mengingat kembali apa yang kumakan pagi ini, atau mengingat makanan yang kumakan semalam. Rasanya tidak ada yang aneh sama sekali. Bahkan aku merasa tubuhku baik-baik saja dan tidak merasa kelelahan atau semacamnya. Makan teratur dan istirahat cukup pun sudah menjadi rutinitas sehari-hari meski masih dalam tahap memulihkan perasaan.Sesaat setelah memastikan rasa mual itu tak lagi mengganggu, aku mencuci mulut dan wajahku. Lalu keluar dan melangkah perlahan menuju ranjang. Mengatur napas yang sedikit memburu setelah tenagaku terkuras saat memuntahkan isi dalam lambungku. Hingga hanya pahit yang tersisa pada lidahku.Terdiam dengan menatap langit kamar, aku merasakan kesepian saat seperti ini. Sakit dalam keadaan seorang diri, tak ada satu pun seseorang m
Aku menganga dan cukup terkejut melihat aksi yang tiba-tiba itu. Teriakan histeris dari Vania, orang tua dan beberapa tamu undangan yang hadir pun sempat melintasi gendang telingaku. Namun, tatapanku masih tertuju pada Mas Evan dan pria yang baru saja memukulnya. Dan setelah kulihat dengan teliti, pria yang memukul Mas Evan itu ternyata adalah kakakku, Ravindra. Seketika hal itu membuatku menghembus napas lega. Kecemasan yang sesaat singgah, kini menguap bersama udara. Aku menyaksikan dengan tenang bagaimana Kak Ravin memberi pelajaran pada Mas Evan. Meski hal itu belum tentu memberikan perubahan yang besar, setidaknya Mas Evan juga merasakan sakit di bagian tubuhnya. Mungkin sakit di tubuh bagian luar memang tak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan. Tapi yang jelas, dia pantas mendapatkan balasan."Dasar pria brengsek! Aku tahu kau selingkuh dengan wanita murahan ini sejak masih menjadi suami Dinara," ucap Kak Ravin berapi-api dengan jari telunjuk yang mengarah tepat di wajah
Aku tersenyum, manatap tenang pada Selina tanpa merasa khawatir sedikit pun. "Kamu tenang saja, Sel. Aku sudah mengantisipasi hal itu sejak awal. Jadi aku sudah membawa surat-surat penting itu dan mengamankannya. Aku tidak akan membiarkan hartaku jatuh ke tangan pelakor itu. Sudah cukup dia merebut Mas Evan dariku.""Syukurlah kalau begitu. Saya juga tidak akan terima jika hal itu sampai terjadi. Enak saja mengambil harta yang bukan haknya," jawab Selina kesal. Jelas dia sangat mendukungku. Dia juga merasa geram melihat kelakuan Vania. Bahkan menurutnya, di kantor pun Vania sudah mulai berani mendekati Mas Evan secara terang-terangan.Aku terdiam sambil memainkan gelas di tangan. Menatap kosong pada titik-titik air yang menempel pada permukaan gelas yang kupegang. Miris rasanya jika mengingat nasib rumah tanggaku yang harus berakhir penuh drama. Aku tahu, di luar sana banyak wanita yang mengalami nasib serupa denganku. Bahkan ada banyak yang masih bertahan meski sudah ketahuan suaminy
Aku berdiri di balkon apartemen dalam keheningan malam. Langit malam yang indah bertabur bintang seolah belum mampu menghapus kesedihan yang kurasakan. Aku tahu ini sudah menjadi keputusan final saat aku memilih hidup dalam kesendirian. Tapi batu besar seolah masih menghimpit dada, sesak rasanya. Aku belum terbiasa dengan kehampaan hidup tanpa Mas Evan. Tanpa cinta yang selalu hadir memberikan kehangatan.Lagi, air mataku berlinang tanda kesedihan yang belum sembuh total. Rasanya masih membekas di relung hati terdalam. Antara cinta dan pengkhianatan yang dilakukan oleh Mas Evan, masih menjadi rasa yang sulit untuk kupisahkan, menjadi awal sebuah kebencian.Mengingat Mas Evan, aku jadi teringat akan ucapan Selina yang mengatakan bahwa ia sudah menyampaikan pesanku padanya. Sehingga dengan rasa penasaran aku kembali masuk ke dalam kamar. Mengambil tablet dan membuka tampilan CCTV ruang keluarga yang terhubung ke dalamnya. Ya, aku memang sengaja ingin memantau perkembangan Mas Evan setel
Dokter menatap sedikit bingung pada Mas Evan. Lalu seorang suster mendekat dan menjelaskan bahwa Mas Evan adalah suami korban dengan menunjukkan bukti-bukti. Dan sesaat berikutnya, dokter itu pun mengangguk dan langsung menatap Mas Evan dan Selina secara bergantian.Posisi Selina yang tidak terlalu dekat dengan sang dokter membuat video yang terpampang di layar tabletku memperlihatkan area yang cukup luas. Bahkan aku bisa melihat wajah dokter tersebut yang masih tertutup masker medis. Hingga helaan napas berat yang dikeluarkan dokter tersebut pun bisa aku tangkap.“Jadi, ciri-ciri yang Anda sebutkan memang sama persis dengan korban yang kami tangani. Namun, harus saya sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya karena kami tidak berhasil menyelamatkan istri Anda,” ucap dokter tersebut dengan raut wajah yang tampak sedih.“A-apa, Dok? Dokter pasti bercanda, ‘kan? Atau jangan-jangan itu bukan istri saya. Istri saya pasti masih hidup, 'kan,” ucap Mas Evan. Nadanya terdengar syok dan