WARNING 21+++ BIJAKLAH DALAM MEMBACA!!! follow ig arafaq_9 untuk visual "Aku akan membayar berapapun yang kau mau—asalkan kau bisa membuatku puas, dan hamil!"—Megan Victoria Lewis. Bagaimana jika seorang Zachary Alexander, Billionaire serta Mafia di Italia di anggap sebagai seorang gigolo oleh wanita asing. Akankah Zachary menerima tawaran wanita cantik, dan sexy itu? Lalu bagaimana kelanjutannya?
Lihat lebih banyakVenesia, sebuah mansion megah Ignacio.
"Dimana Levi, Noa?" Seorang wanita cantik, dan sexy berdiri di depan seorang maid bernama Noa. Noa menunduk hormat, dan menjawab. "Tuan Levi belum pulang, Nona Megan." Megan Victoria Lewis. 24 tahun, tubuhnya yang jenjang dan ramping tampak sempurna dalam balutan dress berwarna hitam. Rambut panjangnya yang berkilau tergerai indah hingga pinggang, menambah pesona pada kulitnya yang halus dan bercahaya. Mata coklatnya yang tajam, kontras dengan bulu matanya yang lentik. Wajahnya, yang memadukan kelembutan dan ketegasan, diperindah dengan makeup tipis yang menonjolkan fitur alaminya. Megan bekerja sebagai model internasional yang menikah dengan Levi Ignacio, seorang CEO perusahaan bergerak di bidang industri film. Pernikahan ini terjadi akibat perjodohan konyol dari kedua orang tua mereka. Selama dua tahun pernikahan mereka, Megan tidak pernah di sentuh oleh Levi. Bahkan hubungan keduanya terkesan dingin, tidak jarang Levi bersikap kasar kepada Megan. Tidak hanya itu, Megan juga tahu jika Levi berselingkuh di belakangnya. Megan membuang napasnya kasar. "Apa Levi tidak mengatakan apapun?" "Tidak, Nona," Megan berdecak, ia merasa kesal dengan Levi yang selalu begini. "Hubungi aku jika Levi sudah pulang, dan minta dia menyusul ke mansion Mommynya." Noa mengangguk. "Baik, Nona." Megan melangkahkan kedua kakinya keluar dari mansion, ia masuk ke dalam mobilnya, dan mengendarainya menuju mansion orang tua Levi. Hari ini seharusnya Levi ingat, jika kedua orang tuanya meminta untuk mereka berdua berkunjung. Setibanya di mansion megah milik keluarga besar Ignacio, Megan turun dari mobilnya. Melangkah masuk, dan di sambut oleh wanita paruh baya yang tak lain ialah Mommy Levi. Wanita paruh baya itu memeluk Megan. "Kau sendirian lagi, Sayang? Dimana, Levi?" Megan membalas pelukan mertuanya sebentar. "Levi ada meeting di luar kota, Mom. Mungkin nanti akan menyusul." "Baiklah, kita masuk dulu." Wanita itu membawa Megan menuju ruang keluarga. Setibanya di ruang keluarga, Megan duduk di depan kedua orang tua Levi. Abraham, dan Emma. "Daddy, dan Mommy tidak ingin berbasa-basi. Megan, jadi mau sampai kapan kalian akan menunda untuk memiliki seorang anak?" Suara seorang pria paruh baya yang tak lain ialah Abraham menyapa telinga Megan, sebuah pertanyaan penuh dengan intimidasi itu membuat Megan mendongak. Rasanya ia ingin sekali mengatakan jika Levi tidak pernah menyentuhnya. "Kami berenc—" "Atau jangan-jangan kau tidak bisa memiliki anak, dan memberikan keturunan untuk Levi. Megan?" Pria itu menyela ucapan Megan, mengatakan sebuah ucapan yang menyakiti hati Megan. Abraham menatap Megan serius. "Sudah dua tahun kalian menikah, sudah seharusnya kalian memiliki anak. Daddy malu ketika rekan-rekan Daddy bertanya mengenai cucu, seharusnya kau memahami itu. Megan." Megan menunduk, tangannya terkepal erat. Hatinya terasa tercabik-cabik mendengar ucapan mertuanya, jika dia tidak menghormati Abraham. Mungkin Megan sudah mengamuk detik ini juga. "Daddy mau kalian secepatnya memberikan keturunan, jika memang kau bermasalah. Daddy akan segera mencarikan Levi istri baru," Megan terkejut, wanita itu mendongak. Ia menatap Abraham dengan tidak percaya, bagaimana bisa pria itu berbicara seperti itu. Mencoba mengatur emosinya, Megan tersenyum, dan menjawab, "Aku akan membicarakan hal ini bersama, Levi. Dad, kami juga sedang berusaha," Emma mendecih. "Jika kau berusaha, tidak mungkin akan selama ini. Sayang." "Maafkan Megan, Mom, Dad. Nanti Megan akan bicarakan lagi dengan Levi," Abraham mengangguk. "Jangan hanya di bicarakan, jika bisa langsung menghasilkan. Kalian sudah menikah dua tahun, sudah seharusnya sadar." "Baik, Dad." Megan membuang napasnya kasar, ia berdiri. "Kalau begitu Megan kembali dulu, hari ini ada pemotretan." Abraham, dan Emma berdiri. Jika Abraham hanya berdiam diri di tempat, berbeda dengan Emma yang mengantarkan Megan sampai ke depan mansion. Setibanya di depan mansion, Emma menahan Megan yang akan masuk ke dalam mobil. "Kurangi aktivitasmu, Megan. Seorang suami tidak akan suka jika istrinya sangat sibuk, apalagi kalian sedang program hamil. Bagaimana kau bisa hamil jika terus sibuk?" Lagi, kata-kata yang menyakitkan tertuju padanya. Mengiris hatinya, di sini seakan-akan hanya Megan yang bersalah. "Aku akan mengurangi aktivitasku, Mom. Kalau begitu Megan permisi." Megan ingin memeluk Emma, namun Emma terlebih dahulu menyingkir. Tidak ingin lama-lama di sana, Megan segera masuk ke dalam mobil. Wanita itu melampiaskan rasa sakit hatinya dengan mengemudikan mobilnya secepat mungkin, dan membiarkan air matanya luruh membasahi pipi. Sementara itu di tempat lain, di sebuah club malam. Seorang pria paling berpengaruh tengah memasuki ruangan dengan langkah mantap yang mencerminkan kekuasaan dan kepercayaan diri yang ia miliki. Tingginya yang menjulang dengan postur tubuh yang atletis menambah aura intimidasi yang alami. Zachary Alexander, pria berusia 28 tahun yang tidak hanya dikenal sebagai billionaire tetapi juga sebagai mafia nomor satu di Italia, kulitnya yang eksotis berwarna kecoklatan berpadu sempurna dengan mata yang tajam, seolah mampu menembus batas apa pun yang berani menghalanginya. Rambut hitam pekatnya tertata rapi, mengkilat di bawah sorotan lampu ruangan, semakin menegaskan kemapanan dan ketegasan karakternya. Setiap tatapan yang dilemparkan bukan hanya sekedar melihat, tetapi seperti sedang mengukir kesan yang mendalam bagi siapa pun yang menjadi sasaran pandangannya. "Dimana dia?" Suara bariton itu terdengar menyapa telinga seorang pria yang tak lain ialah saudaranya, Edgar. "Dia ada di dalam, mau langsung kau eksekusi?" Zachary menyeringai, ia melirik Edgar sejenak. "Bukankah bermain-main sejenak lebih bagus?" Edgar tertawa, Zachary memang selalu begitu. Ia tidak akan langsung menumbangkan musuhnya, melainkan bermain-main terlebih dahulu. Hingga musuhnya sendiri yang akan memohon kematian pada Zachary. Setibanya di ruangan privat, Zachary melihat seorang pria sedang duduk terikat di kursi. Mulutnya tertutup lakban, pria itu terlihat menggeliat ketakutan. Zachary mendekat, ia mengeluarkan belati kecil miliknya. Dengan gerakan cepat, Zachary. mengukir wajah pria itu. Hingga darah bercucuran dari wajahnya. Pria itu ingin berteriak, tapi tidak bisa. Sebab, mulutnya di bungkam dengan lakban. Tubuhnya bergetar hebat, sementara Zachary terus mengukir wajah pria itu sampai kulitnya benar-benar terkelupas. Lama Zachary menyiksa pria itu, setelahnya. Zachary menjauh, ia menatap pria di depannya dengan puas. "Bawa dia ke markas, aku akan bermain-main lagi dengannya nanti." Zachary menjauh, begitu juga dengan Edgar. "Kau tidak ingin bersenang-senang?" Edgar melirik ke arah ruangan atas, tempat dimana mereka biasanya bersenang-senang dengan wanita. Zachary menatapnya datar. "Kau tahu aku tidak menyukainya bukan? Jadi untuk apa kau bertanya?" Edgar terkekeh, ia menepuk lengan adik sepupunya itu. "Yasudah, kalau begitu aku pergi dulu. Kau bisa menungguku di luar." Zachary tidak menjawab, ia hanya mengacungkan jempol ke arah Edgar. Lalu melangkah pergi meninggalkan Edgar. Pria itu duduk di kursi, dan menikmati wine. Sembari melihat beberapa orang yang sedang berdansa di lantai dansa. Sedangkan Megan, ia menapaki lantai club malam yang redup di Venesia, dengan hati yang serasa remuk. Sebelumnya, air mata telah mengalir deras saat mertuanya menghina bahwa dia mandul dan tidak mampu memberikan keturunan. Keadaan semakin buruk ketika dia memikirkan suaminya, yang seharusnya menjadi penopang hatinya, justru terlibat asmara terlarang dengan wanita lain. Megan duduk di kursi, ia meneguk wine sebanyak-banyaknya. Melampiaskan rasa sakitnya, melampiaskan rasa sesak yang menghantam di benaknya. Hingga, matanya menatap sosok pria yang duduk di ujung depannya. Dengan segala rasa frustasi, dan sakit hatinya. Megan mendekati pria tampan itu, membuat pria tampan yang tak lain ialah Zachary mendongak. "Apa kau membutuhkan sesuatu?" Zachary menatap Megan dengan datar. Megan menghela napasnya, ia mengeluarkan black card di atas meja Zachary. "Aku akan membayar berapapun yang kau mau—asalkan kau bisa membuatku puas, dan hamil!" Zachary menaikkan sebelah alisnya, pria itu menatap Megan dengan tatapan datar. "Apa kau sudah gila?" "Aku mohon, aku akan membayar berapapun yang kau mau." Megan semakin mendekati Zachary. Wanita itu menatap memohon pada Zachary. "Aku mohon, kau bekerja sebagai gigolo bukan? Jadi tidak ada alasan untukmu menolakku." Megan merasa ia sudah gila, rasa frustasi yang ia rasakan membawanya pada keputusan seperti ini. Megan ingin menyerahkan dirinya pada Zachary, mencari pelarian dari kenyataan pahit yang menerpa hidupnya. Dalam hal ini, Megan berharap bisa menemukan sedikit kelegaan, bahkan mungkin, secercah harapan untuk masa depan yang lebih bahagia. 'Fuck!' batin Zachary. Zachary terdiam sejenak, dan nampak tergoda. "Kau mengira aku gigolo bukan?" Megan mengangguk pelan. Diiringi dentuman musik yang keras, Zachary berdiri. "Baiklah, aku akan memuaskanmu, dan membuatmu hamil." Zachary menarik Megan, ia membawa Megan meninggalkan club dan ntah menuju kemana. Sebab, Zachary adalah sosok pria misterius.Zachary memandangi Megan dengan tatapan yang tidak bisa diterjemahkan. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam di balik mata pria itu—sesuatu yang membuat Megan sulit mengalihkan pandangannya.Kata-kata yang baru saja diucapkannya terngiang di kepala Megan.'Haruskah aku membunuh mereka semua agar kau puas, Megan?' Jantung Megan berdegup kencang. Ia tahu bahwa Zachary memiliki kekuasaan dan koneksi yang luas, termasuk di dunia gelap yang jarang dibicarakan.Meskipun ia mengatakan itu dengan nada yang tenang, Megan tidak bisa menepis perasaan bahwa Zachary benar-benar bersedia melakukan apa saja untuknya, bahkan hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan olehnya.Namun di balik ketakutan dan kekhawatiran, ada sesuatu yang membuat Megan merasa terlindungi—perasaan aman yang selalu muncul saat Zachary berada di dekatnya. Meskipun ia tahu bahwa pria ini penuh bahaya, ia juga tahu bahwa Zachary tidak akan pernah menyakitinya.Zachary mendekatkan wajahnya, jemarinya masih membelai lembut pipi
Megan terduduk di tepi tempat tidur, matanya menerawang jauh, hatinya berkecamuk. Pertengkarannya dengan Levi tadi malam masih terngiang-ngiang di telinganya, seperti badai yang mengamuk tanpa henti.Ia bisa merasakan luka yang ditinggalkan oleh hinaan Emma, ibu mertuanya, dan ancaman Abraham, ayah Levi, yang terus menghantui pikirannya.Ancaman Abraham begitu jelas: jika Megan tidak segera hamil, ia tidak akan mendapatkan bagian dari harta warisan keluarganya. Bukan itu saja, kehormatan dan martabatnya sebagai istri Levi juga dipertaruhkan.Sudah beberapa hari ini Megan menghindar dari Zachary, ia tidak menghubungi, dan membalas pesan Zachary. Bahkan dia mematikan ponselnya.Perasaannya begitu campur aduk. Di satu sisi, Zachary selalu menjadi pelariannya, tempatnya berlindung ketika dunia terasa terlalu berat.Namun di sisi lain, ada Levi, suaminya, pria yang dia pilih dalam ikatan pernikahan meski hubungan mereka tidak pernah baik-baik saja, bagai kapal yang hampir karam.Megan bahk
Di malam yang gelap dan gerimis, Zachary menghentikan mobilnya tepat di depan mansion keluarga Levi. Megan menggigit bibirnya, wajahnya terlihat cemas.“Kau yakin baik-baik saja masuk sendiri?” Zachary bertanya dengan nada rendah.Megan mengangguk pelan, meskipun rasa takut mulai merayap di hatinya. “Aku harus pergi, Sayang. Ini terlalu berbahaya.”Zachary memandangi mansion megah itu dengan tatapan datar sebelum dia akhirnya mengangguk. "Kalau begitu berikan aku sesuatu." Bibirnya mengulas senyum.Megan mengernyit. "Apa?"Zachary tidak menjawab, pria itu menunjuk bibirnya sendiri.Megan mencebikkan bibirnya, ia mencubit paha Zachary, dan membuat Zachary mengadu."Sakit, Baby. Kenapa kau mencubitku?""Kau yang bersalah, aku sedang cemas karena takut ketahuan. Tapi kau justru meminta hal yang aneh-aneh."Zachary tersenyum, pria itu mengusap puncak kepala Megan. "Kau bahkan tahu siapa aku, jika mereka membuangmu. Masih ada aku yang akan menerimamu.""Aku tahu, tap—""Masuklah, kita akan
Megan tertegun, kata-kata Zachary menghantamnya dengan keras. Hamil keturunan Alexander dan Leonardo? Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, tak mampu dia proses dengan segera.Jantungnya berdebar cepat, dan tubuhnya terasa lemas dalam pelukan Zachary yang erat. Matanya melebar, menatap pria itu dengan tatapan tak percaya, sementara napasnya tercekat di tenggorokan.“Zachary...” bisik Megan dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Apa maksudmu?”Zachary tidak menjawab langsung, tetapi tatapan matanya yang tajam penuh g4i-rah, mendekat padanya dengan intensitas yang membuat Megan semakin kehilangan kendali atas dirinya. “Aku tahu kau menginginkanku, Baby,” gumamnya, suaranya rendah dan serak. “Seperti aku menginginkanmu. Dan aku bisa memberikanmu lebih dari yang kau kira.”Tangan Zachary meluncur lembut di sepanjang punggung Megan, menyentuh kulitnya dengan cara yang begitu familiar, namun kali ini terasa lebih dalam, lebih mengikat.Megan mencoba melawan perasaan yang semakin memban
Lama pangutan itu terjadi, sampai akhirnya Zachary melepaskan pangutan tersebut. Ia mengusap jejak salivanya di sekitar bibir Megan, dan mengecup bibir Megan sejenak."Sebentar." Zachary ingin membawa Megan sedikit menyingkir.Namun, bukannya sedikit minggir. Justru Megan memeluk pinggang Zachary."Biarkan seperti ini." Megan mendongak, menatap Zachary dengan tajam.Zachary tersenyum tipis, tipis sekali. Dia sangat suka melihat Megan yang seperti ini.Dia mengangguk, lantas menatap wanita sexy yang tadi berbincang dengannya. "Pergilah, Edgar akan menghubungimu nanti.""Baik, Tuan. Kalau begitu saya pergi dulu, permisi." Wanita itu ingin tersenyum, namun ia urungkan saat melihat tatapan tajam Megan."Permisi, Nona." Ia segera berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Zachary, serta Megan.Megan mendengkus melihat kepergian wanita itu, ia beralih ke arah Zachary, dan ingin melepaskan pelukannya.Namun, alih-alih terlepas. Yang ada Zachary semakin memeluknya."Lepaskan ak—""Are you jea
Zachary melihat ke arah sampingnya, pria itu terkekeh melihat Megan yang tertidur pulas."Apa kau sangat mengantuk?" Zachary menjauhkan tubuh Megan, dan membenarkan posisi Megan.Lantas, ia turun dari mobil dan pindah ke sisi Megan. Zachary menggendong Megan, dan membawanya masuk ke dalam mansion. Ya—mansion pribadi milik Zachary.Malam ini, Zachary memutuskan untuk membawa Megan menuju mansionnya.Zachary membaringkan Megan di atas ranjang secara perlahan, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kamar mandi, dan menyusul Megan yang sudah sangat pulas.Keesokan harinya.Megan menggeliat, wanita itu membuka matanya secara perlahan. Setelah mendapatkan kesadarannya, ia mendongak. Menatap wajah tampan Zachary."Bahkan saat tidur saja dia sangat tampan." Megan terkekeh lirih saat bergumam tanpa sadar, wanita itu membaringkan kepalanya di atas da-da bidang Zachary.Rasanya sangat nyaman, dan aman. Ntah kenapa, Megan melakukan ini. Menjadikan ia suka.Megan memejamkan matanya, menikmati rasa ny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen