Setelah berhasil membuat hidup kami morat marit, aku pikir Bang Fajar akan berhenti mengganggu. Nyatanya tidak. Isi kotak itu menunjukkan bahwa Bang Fajar belum menyerah. Farhan meraih selembar kertas yang terdapat di dalam kotak tersebut, lalu meremas kuat setelah menunjukkannya padaku. Tangan kekar itu tampak bergetar, mungkin karena amarah yang ditahan. Terlihat dari telapak tangannya yang mengepal dengan buku-buku jari memutih. Aku mematung. “Bunda, ini baju siapa?” tanya Fatih dengan wajah bingung. “Orang salah kirim, Nak. Nanti Bunda akan balikin ke tokonya,” sahutku. Jawaban yang sesungguhnya aku tujukan untuk Farhan. “Kenapa dibalikin? Sudah dibayar kan?”Aku menelan ludah. Menatap pria itu tak mengerti. “Gaun itu akan tetap dipakai oleh pemiliknya.” Farhan mendesis tajam. Aku menatap Farhan lekat. Apa maksudnya? Mungkinkah ia merelakan aku bersanding kembali dengan Bang Fajar? “Sudahlah, gak usah dipikirin,” lanjutnya seolah menjawab kebingunganku. “Fatih mau jal
Dua puluh menit berkutat di jalan raya bersama abang ojol, aku sampai di halaman kafe. Restoran yang terletak di bilangan Jakarta Selatan itu menyediakan berbagai menu masakan khas Minang, Diantaranya martabak Kubang dan sate Padang. Mengedarkan pandang, di pojok ruangan mataku menangkap sosok gadis dengan ciri-ciri yang disebutkan di chat tadi pagi. Berbeda dengan dugaan sebelumnya, kini aku yakin ini bukan tentang persaingan bisnis. Terlihat jelas dia juga pengunjung di sini. Gadis itu tengah sibuk memainkan ponselnya. Sama sekali tak terusik dengan lingkungan sekitar. Setelah menghela napas panjang, dengan cepat aku mendekat. Jangan tanya seperti apa rasaku. Deg-degan dan juga penasaran. Siapa gerangan gadis itu? Dia sangat yakin kalau yang ia lihat di postinganku itu adalah Farhan. Kemungkinan kedua pacar. Ada perasaan tak nyaman saat memikirkan ini. Bagaimana kalau benar? Apa yang lo khawatirin? Toh, lo bininya. Jelas lebih berhak. Suara hati menyemangati.Tapi kan mereka ke
Aku duduk di ranjang dengan memeluk kedua lutut dan menopang dagu. Sudah jam 2 dini hari. Mata masih enggan terpejam. Detik demi detik berlalu terdengar lirih dari perputaran jarum jam weker. Gaun pengantin yang tiba-tiba ada di rumah ini. Ucapan Bang Fajar yang ditulis pada secarik kertas. Sikap Farhan yang sama sekali tidak pernah terbuka tentang keluarganya. Dan terakhir ucapan gadis itu. Semua berputar di kepala seperti film. Scene per-scenenya begitu jelas. Semakin aku pikirkan semakin aku yakin, tak ada yang kebetulan. Pada akhirnya Bang Fajar memang harus kembali. Sakit? Lebih dari itu. Membayangkannya saja sudah membuat hati ini berkeping. Apa salahku hingga mereka begitu tega? Menjelang jam tiga pagi, aku merebahkan diri di ranjang dengan kepala yang berdenyut nyeri, kebanyakan menangis. Entahlah! Apa memang aku yang terlalu cengeng atau memang takdir ini yang mengenaskan. Paginya aku terbangun saat cahaya matahari menerobos masuk dari celah ventilasi. Menatap jam we
“Lo kenal tante gue?” Luisya menyela ketika melihat kami saling menatap bingung. Gadis itu mengempaskan pinggulnya di bibir ranjang. Ia menatap kami berdua bergantian. “Tante?” Lilyana malah tak kalah bingung. “Iya, adik bungsu bokap. Kenapa?” Gadis itu membetulkan duduknya. Kali ini ia bersila di atas ranjang. Sesaat Lilyana hanya tertegun. Perlahan gadis itu ikut mengempaskan pinggul di bibir ranjang, di depan Luisya. “Lha, kok bisa kebetulan gini ya?” gumamnya pelan. Seperti pada diri sendiri. “Apanya yang kebetulan,” sahutku berbarengan dengan Luisya. Aku bangkit dari tidur. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. Ditatap sedemikian rupa, gadis itu membuang muka. Jengah. “Ah nggak.” Ia cepat-cepat menggeleng. “Kalau kalian ...?” Aku sengaja menggantung ucapan, menanti penjelasan. Menatap mereka berdua bergantian. “Lily teman kuliah aku, Tan,” sahut Luisya. “Ooh.” Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku. “Btw, kalian kenal di mana?” tanya Luisya lagi. “Di Facebook
Sudah hari ketiga Farhan pergi dari rumah. Tepatnya aku yang mengusir. Sepertinya sikapku benar-benar membuat laki-laki muda itu terluka. Wajar. Siapapun dalam posisinya pasti akan sakit hati diperlakukan sedemikian rupa. Berharap dia yang akan memulai chat duluan agaknya hanya sesuatu yang sia-sia. Ada rasa rindu yang mendesak di dalam sini, namun terhalang gengsi. Bagaimana mungkin aku harus menjilat ludah sendiri? Seorang Hayat tidak akan melakukannya. Tapi kalau didiami, maka aku akan benar-benar kehilangan dia. Sanggupkah? “Ahhh.” Aku menggeram dalam sesal. Tak seharusnya aku terpancing dengan omongan Lilyana. Kalau pun ada masalah bukankah sebaiknya dibicarakan? Bukannya malah mengambil keputusan sepihak yang nyatanya tidak saja melukai Farhan, tapi juga diri sendiri. Sayangnya nasi sudah menjadi bubur. Mengedepankan emosi dalam menghadapi permasalahan membuat segalanya jadi berantakan. Duh, Hayat, kenapa lo tidak belajar dari hubungan lo dengan Bang Fajar? Adakah ma
“Han,” panggilku pelan sambil membelakangi laki-laki itu. Meringkuk di bawah selimut dengan pikiran yang masih berkecamuk. Apa yang baru saja terjadi bukan sebagai suatu jaminan bahwa hubungan kami akan kembali membaik. Bisa saja kan Farhan hanya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Andai itu benar, betapa menyakitkannya takdirku. Jujur, sebelum ini aku bisa merasakan ketulusan Farhan. Ia telah membuktikannya, baik padaku maupun pada Fatih. Dia menyayangi kami bahkan lebih daripada Bang Fajar sendiri. Entahlah kalau itu hanya perasaanku saja. Apalagi di satu sisi ia sangat tertutup. Ikatan pernikahan seperti apa namanya jika sang istri tidak mengenal asal usul suaminya sendiri? Katakanlah tadinya pernikahan kami hanya untuk sebuah kepentingan, nyatanya takdir membuat kami bersatu lebih lama. Siapa yang bisa menolak ketentuan-Nya? “Hmmm,” sahut Farhan di belakang punggungku. Hanya gumaman. Sesaat keraguan menyelimuti. Pantaskah aku membicarakan keresahan ini di saat suasana
Cobaan apa lagi ini? Hatiku teriris melihat tatapan itu. Luisya ponakanku. Darah yang mengalir di tubuh kami sama. Jika ia terluka, aku pasti akan merasakan sakit yang sama. Namun sikap yang ditunjukkan Luisya membuat aku lupa akan hal itu. Dia bertindak menjadi seseorang yang paling benar. Menghakimi tanpa melihat dari dua sisi. Aku menghempaskan tubuh di jok belakang begitu pintu mobil tertutup rapat. “Sesuai aplikasi ya, Bu?”Ucapan sang driver hanya aku jawab dengan anggukan. Setelahnya aku memejamkan mata. Mencoba meredam emosi yang masih di ubun-ubun. “Tante itu gak pantas buat Mas Farhan.” Kata-kata yang keluar sinis dari bibir Luisya sungguh membuat sesak. Aku sama sekali tidak menyangka, gadis yang biasanya begitu manis bisa setidak punya etika itu saat bicara dengan orang yang notabene wajib dia hormati. “Tante sadar umur dong, perbedaan usia kalian lima tahun. Mas Farhan itu layak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dan lebih cantik dari Tante.”“Maksudnya? Sia
"Gaun itu untuk resepsi kita."Langkahku tertahan. Untuk sesaat hanya tertegun lalu kemudian berbalik. "Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi? Jangan biarkan aku seperti orang buta yang kehilangan tongkat. Tidak tau apa pun. Semakin aku raba, semakin aku bingung. Karena selalu saja aku menemukan hal baru yang sama sekali belum aku kenali," ujarku menatap lekat wajah itu. Farhan terkekeh pelan. "Bunda duduk di sini dulu dong!" Ia menepuk sofa di sisinya. Aku cemberut, namun tetap mendekat seperti yang ia minta. "Bagian mana yang membuat Bunda seperti orang buta?" tanyanya setelah aku menghempaskan diri di sampingnya. "Semuanya,” sahutku. Ia menautkan alis. Tak sadarkah dengan bersikap seperti itu membuat ia terlihat kian tampan berkali-kali lipat? "Coba Bunda urutkan, biar aku bisa jelaskan dengan mudah," sahutnya mengulum senyum. Farhan lalu memutar tubuh. Melipat kaki kanannya di sofa hingga posisi duduk laki-laki itu kini menghadapku.Sesaat tatapan kami bertemu. T