"APA kita akan pulang hari ini, Kak?" tanya Lilya tiba-tiba setelah mereka menyelesaikan sarapan.
Evan menatap istrinya serius. "Memangnya kamu sudah mau pulang?"
Lilya mengangguk antusias. "Ibu tidak apa-apa, dia masih sehat sama seperti dulu. Teman-temanku juga baik-baik saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan tentang mereka, kan?" Lilya tersenyum lebar, dia terlihat bahagia dan lebih berenergi sekarang. "Dan lagi, katanya Kakak akan menyuruh beberapa orang untuk menjaga tempat itu. Aku jadi lega mendengarnya."
Evan tersenyum tipis, lalu menganggukkan kepala. "Baiklah, kita akan pulang nanti siang." Evan melirik jam dinding di kamar itu, waktunya masih cukup untuk beristirahat lebih dulu sebelum melakukan perjalanan panjang untuk pulang.
"Kakak mau istirahat dulu?" tanya Lilya begitu melihat Evan melangkah menuju ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana.
"Aku berharap bisa melakukannya," ka
"MIKA?" Lilya mengucek-ucek matanya sembari menatap sosok perempuan yang sedang duduk di hadapannya dengan ekspresi kaget bukan main. "Kamu benar-benar Mika?" tanyanya ragu.Wajah sosok itu memang tampak tidak asing, tapi dia sangat berbeda dari ingatannya kemarin. Mika yang dia ingat adalah perempuan cantik, tinggi, dan seksi. Tatapan matanya belum berubah, tapi fisiknya lima puluh persen berbeda dari ingatan Lilya.Pipi Mika semakin tembam, tubuhnya pun tampak lebih bongsor dari sebelumnya. Lilya yang sebelumnya bisa memeluk adik iparnya, kali itu merasa ragu bisa melingkarkan kedua lengan kecilnya untuk melingkari tubuh Mika yang sekarang."Apa aku terlihat berbeda, Kak?" tanyanya dengan senyuman lebar yang membuat Lilya turut tersenyum dibuatnya.Setidaknya, Mika tidak begitu larut akan kesedihan setelah hubungan percintaan yang kandas di tengah jalan. Lilya lebih ingin bertanya bagaimana
LILYA mengingat kembali apa yang terjadi pagi tadi. Tatapan teman-temannya yang terlihat begitu merendahkannya, kasak-kusuk mereka tentang Lilya yang menikah muda, dan masih banyak lagi yang tidak begitu dia dengar dengan jelas.Semua itu ... tertuju padanya.Lilya mengaku, dia memang sudah menikah. Dia pun menyukai suaminya, karena Evan terlalu baik untuk seukuran manusia. Walaupun Evan pernah berkata telah membunuh di masa lalu, tapi sifat pria itu membuat Lilya yakin, sosok yang merenggang nyawa di tangannya adalah orang yang jahat.Namun, sekarang bagaimana?Apa yang akan terjadi padanya setelah ini?Kepala sekolah masih mengizinkannya bersekolah sampai dia mendapat ijazah, tapi tidak begitu dengan teman-temannya di sekolah. Mereka pasti tidak terima melihat Lilya masih bersekolah di sana, padahal dia ketahuan telah melanggar aturan yang ada.Apalagi ada bes
EVAN mendaftarkan Lilya home-schooling tepat pada waktunya. Lilya tampak lega begitu berada di sekolahnya yang baru dan menemukan beberapa anak yang hanya fokus untuk belajar, bukannya menggosip seperti yang dilakukan teman-teman sekelasnya sebelum ini.Evan sudah menjelaskan semua alasan kepindahan Lilya pada sekolah barunya. Dia juga sudah memberi tahu sekolah Lilya sebelumnya dan kedua pihak sekolah sama-sama mengerti keadaan Lilya sekarang.Setelah meninggalkan Lilya di sekolahnya yang baru. Dia langsung menuju perusahaan Gunawan untuk mencari dalang dari kebobolan data yang baru diketahui. Ia langsung bergabung dengan Chris untuk mengecek semua CCTV yang terpasang di area kantor selama sebulan terakhir."Kenanga," gumam Chris pelan.Dahinya mengernyit menyaksikan wanita itu keluar dari ruangannya dan bertemu salah seorang pegawai dari divisi marketing. Mereka saling bicara de
LILYA merasa ada yang tidak beres dengan suaminya saat pria itu datang menjemputnya. Evan yang biasanya ramah dan begitu hangat padanya, kali itu terasa dingin dan menakutkan. Tatapan matanya yang tajam bahkan tak sekalipun membalas tatapan mata Lilya. Keanehan Evan itu membuatnya berpikir kalau suaminya sedang punya masalah. Lilya ingin bertanya, tapi dia sama sekali tak berkutik di tempat duduknya. Begitu pulang, Evan lantas mengurung diri di ruangan kerja dan belum keluar sampai malam tiba. Lilya menunggu di meja makan, berharap suaminya datang dan mereka akan makan malam bersama. Namun, harapannya sirna, Evan tidak pernah meninggalkan ruangannya. "Apa yang sedang terjadi?" tanyanya sambil menatap makanan di atas meja makan yang belum tersentuh sama sekali.
EVAN menyodorkan sebuah ponsel berwarna hitam ke hadapan Lilya yang sedang menyantap makanannya. Perempuan itu tampak terkejut, kepalanya mendongak, menatap Evan yang kini sudah menyelesaikan sarapan lebih dulu.Lilya menelan makanannya, lalu menatap Evan sembari mengambil ponsel yang beberapa saat lalu diberikan pria itu ke hadapannya. "Kenapa Kakak memberiku ponsel ini?""Mungkin, hari ini aku tidak bisa menjemputmu. Kalau kamu sudah pulang nanti, hubungi aku dan aku akan mengirimkan orang lain untuk mengantarmu pulang."Sebenarnya, Lilya tidak menyukai ide itu. Dia lebih suka Evan yang mengantar-jemputnya ke sekolah, walau itu akan membuatnya terlihat manja, tapi ia merasa itulah bentuk kasih sayang Evan padanya yang tak biasa diungkapkan melalui kata-kata.Namun, kali ini dia mengerti, Evan sedang sibuk. Urusan perusahaan yang berada di ambang masalah dan bagaimana suaminya menanggapi
EVAN sedang memeriksa file yang dikirim oleh informannya saat Ethan masuk ke ruangan khusus yang disediakan untuknya di perusahaan Gunawan. Wajahnya mendongak, menatap wajah datar Ethan yang kini berjalan ke arahnya, lalu menarik kursi yang berada di seberang meja dan duduk di sana."Aku takjub, kamu bisa membongkar kebusukannya sebelum terlambat dan mengumpulkan bukti kejahatannya secepat kilat. Pekerjaanmu sangat cepat, Evan."Kata-kata pujian itu membuat Evan mengalihkan pandangan. Dia tidak secepat itu dalam bertindak, buktinya dia membiarkan adiknya menjadi korban cinta pria bajingan yang kini berada dalam genggamannya itu.Dia juga tidak sehebat itu, semua yang ia lakukan ada campur tangan Chris di dalamnya, kaki tangannya yang begitu cekatan mengurus segala hal. Tak lupa informannya yang begitu ahli mengumpulkan segala informasi dari segala penjuru negeri. Tanpa mereka, Evan bukan apa-apa.
ARINI menepis pemikirannya ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang Evan yang begitu tenang tampak gelisah di balik kemudi. Ketenangan yang sempat ditampilkan sebelumnya sirna begitu mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Setelah memastikan Arini turun, dia mengunci mobil dan meninggalkan Arini tanpa pamit.Arini terdiam di tempat ia berdiri. Bagaimana dia bisa berpikiran naif dengan beranggapan seorang Evan tertarik padanya? Dia bukan Kenanga yang selalu percaya diri akan kecantikan dan pesonanya yang bisa menaklukkan semua pria di bawah kakinya.Dia Ariani Putri, seorang perempuan miskin biasa yang menjual tubuhnya untuk bisa bertahan hidup dan menyelamatkan ayahnya yang sedang sakit. Dia tidak berguna, tidak pula cantik, dia hanya wanita murahan. Tidak lebih.Arini mendesah kasar. Setelah Gavin masuk ke dalam penjara ... semuanya akan berakhir, kan?Arini mengepa
HASIL rontgen menunjukkan bahwa Lilya baik-baik saja, tapi dia harus menginap untuk satu atau dua hari dan menjalani tes lagi untuk memastikan keadaannya.Mengingat, saat Lilya dibawa ke sana, dia dalam kondisi tidak sadar dan kepalanya berdarah. Dokter khawatir terjadi pengendapan darah yang belum terlihat dan hal itu akan menjadi fatal jika tidak ditangani dengan segera.Untuk kerusakan lain, Lilya tidak mengalami gejala yang berat. Dia memang sempat merasa pusing dan ingin muntah, tapi ingatan perempuan itu masih baik-baik saja. Dia juga masih bisa bicara selayaknya biasa. Evan pun bisa menghela napasnya lega.Nayla datang bersama suaminya untuk mengantarkan pakaian ganti Evan, juga menjenguk menantunya. Evan lantas pamit keluar untuk mengganti pakaian juga mencari makanan.Lilya yang semula tertidur, kali itu mulai membuka mata ketika Evan sudah tak berada di sana dan mendapati mama mertua