Share

Lingsir Wengi -Tembang jawa
Lingsir Wengi -Tembang jawa
Penulis: Santi ummu fadhli

Bab 1 Pindahan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-21 16:47:55

Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.

Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.

“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”

Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.

Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.

Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.

“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”

Ratna sontak duduk di ranjang. Matanya membesar, kulit tengkuknya seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Tidak mungkin ada orang di rumah itu. Tidak mungkin ada yang bernyanyi di tengah malam, kecuali…

Suara itu makin jelas, makin dekat.

Seolah bukan lagi dari seberang halaman, tapi sudah berada tepat di balik jendela kamarnya yang tertutup rapat.

Ratna menegakkan tubuhnya. Selimut yang tadi menutupi sampai dagu kini sudah ia genggam erat-erat, jari-jarinya dingin dan berkeringat. Ruangan itu tiba-tiba saja terasa lebih sempit, lebih sesak, seakan udara berhenti berputar.

Cahaya lampu bohlam kuning pucat yang menggantung di langit-langit berayun pelan, padahal tidak ada angin. Ayunannya menimbulkan bayangan yang bergerak di dinding—bayangan yang semakin membuat Ratna gelisah.

“Lingsir wengi…” suara itu kembali terdengar, lembut tapi menusuk, seperti seseorang yang menyanyi tepat di telinganya.

Ratna menoleh cepat ke arah jendela. Tirai tipis berwarna gading itu bergetar pelan, seperti disentuh dari luar. Dia tahu persis, halaman depan rumahnya kosong, hanya ada rumput liar dan pohon mangga tua yang sudah lama tidak berbuah. Tidak mungkin ada orang berdiri di luar.

Namun kali ini, ia melihatnya dengan jelas: seberkas bayangan hitam, samar tapi nyata, menempel di kaca jendela. Rambutnya panjang, berantakan, menutupi hampir seluruh wajah. Ratna menahan napas. Matanya membesar, tapi lidahnya kelu, suara tertahan di tenggorokannya.

Detik demi detik terasa seperti jam.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan pelan itu terdengar dari luar jendela, membuat tubuh Ratna spontan merinding. Jari-jarinya yang menggenggam selimut semakin kaku.

“Astagfirullah…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Ia menoleh mencari ponselnya di meja kecil samping ranjang. Layar hitam itu menatapnya kembali, dingin dan memantulkan wajahnya sendiri yang pucat pasi. Baterai habis. Tidak ada cahaya, tidak ada pengalih perhatian.

Hanya ada dia, dan suara itu.

Ratna memejamkan mata erat-erat, berusaha menenangkan diri. Ia mencoba mengingat doa-doa yang biasa dia baca setiap kali merasa takut. Namun lidahnya kelu, pikirannya kacau. Yang terdengar justru suara napasnya sendiri yang berat dan terputus-putus.

Tiba-tiba, suara itu berhenti.

Hening.

Terlalu hening.

Ratna membuka matanya perlahan, berharap semua hanya ilusi. Tapi saat ia menoleh ke arah jendela, tirai tipis itu sudah tak lagi sekadar bergetar. Kini, tirai itu terangkat sedikit, seperti sedang diusap dari bawah oleh sesuatu yang ingin masuk.

Ratna menjerit dalam hati. Tangannya spontan meraih saklar lampu di dinding. Namun sebelum jarinya menyentuh, lampu bohlam di langit-langit padam seketika.

Klik.

Gelap total.

Dan dalam gelap itu, suara perempuan itu kembali terdengar. Lebih dekat, lebih jelas, seolah kini sedang berdiri tepat di dalam kamarnya:

“Sliramu tumeking sirno…”

Ratna membeku. Ia bahkan tak berani bernapas terlalu keras. Hanya suara detak jantungnya yang berdentum kencang di telinga, bercampur dengan lantunan lirih yang terdengar semakin meresap ke dalam kepalanya.

Gelap menelan semuanya. Ia tidak bisa melihat apa pun—tidak kasur, tidak lemari, bahkan tangannya sendiri yang bergetar. Tapi telinganya menangkap sesuatu… langkah kecil, pelan, menyeret, seperti kain basah yang diseret di lantai.

Gesrek… gesrek…

Langkah itu mendekat ke arah ranjangnya. Ratna menutup mulut dengan telapak tangan, takut kalau suaranya bocor keluar. Ia ingin kabur, tapi kakinya terasa berat, seakan ada tali yang mengikat pergelangan.

Bau anyir mulai tercium. Bukan bau tanah basah, tapi bau darah bercampur dengan harum bunga melati yang terlalu menusuk. Ratna hampir muntah menahannya.

Di tengah kegelapan itu, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu—sepasang cahaya kecil berwarna merah samar. Bukan lampu. Bukan pantulan cahaya. Itu… mata. Sepasang mata yang menatapnya tajam dari sudut kamar, tepat di samping lemari tua peninggalan kakeknya.

“Ra…tna…” suara lirih itu menyusul, kali ini memanggil namanya. Suara yang sama, tapi lebih berat, serak, seperti berasal dari kerongkongan yang penuh darah.

Ratna sontak menutup telinga, tapi suara itu tidak berhenti. Justru semakin jelas, semakin dekat, hingga ia bisa merasakan hembusan dinginnya di wajah.

Dengan tubuh gemetar, Ratna meraih saklar di samping tempat tidur, menekannya berkali-kali. Klik. Klik. Klik. Tidak ada cahaya. Lampu tetap mati.

Dan saat ia menoleh lagi, tirai tipis di jendela itu perlahan terangkat, walau tidak ada angin. Dari celah bawah tirai, tampak sesuatu yang menjuntai masuk—rambut hitam panjang, basah, meneteskan cairan merah gelap ke lantai.

Tep… tep… suara tetesan itu terdengar jelas di keheningan.

Ratna tak kuasa lagi menahan teriakannya. Suara meluncur begitu saja dari tenggorokannya, parau dan putus-putus.

“Aaaaaaaahhhhhh!!!”

Jeritan itu menggema di seluruh ruangan. Namun anehnya, tak ada satu pun tetangga yang mendengar.

Seakan malam itu, rumah Ratna sudah terputus dari dunia luar.

Ratna menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya seperti terhisap oleh kegelapan. Tak ada jawaban, tak ada yang datang menolong. Hanya suara itu… lagu itu… terus berputar di telinganya.

“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”

Rambut panjang itu semakin banyak masuk, menjuntai di lantai, terus merayap seperti ular hitam yang hidup. Bau anyir bercampur melati semakin menusuk, membuat Ratna nyaris pingsan karena mual.

Ia mundur ke belakang, tubuhnya terbentur dinding dingin kamar. Tidak ada jalan lagi. Jendela di depannya, lemari di sampingnya, dan dari kegelapan itu, sosok perlahan muncul.

Pertama rambutnya. Lalu pundaknya. Gaun putih kusam, sobek di banyak tempat, dengan noda merah kecokelatan. Wajahnya masih tertutup rambut panjang. Tubuhnya seperti melayang, tak benar-benar menjejak lantai.

Ratna membeku, matanya tak bisa berpaling.

Dan saat rambut itu tersibak sedikit, terlihat seulas senyum lebar yang tidak wajar—terlalu lebar, terlalu dingin.

Dalam bisikan lirih, perempuan itu berucap pelan:

“Sekarang… giliranmu.”

Lampu kamar mendadak menyala sendiri. Tapi saat Ratna berkedip, sosok itu sudah tidak ada. Hanya tirai tipis yang terayun pelan… dan bercak merah gelap di lantai yang membentuk jejak menuju bawah ranjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 6 Pintu yang Tak Pernah Terbuka

    Teriakan Bu Marni masih mengguncang ruangan itu. Tangannya mencakar-cakar lantai kayu, berusaha menahan tubuhnya agar tak terseret ke arah cermin yang kini berputar seperti pusaran air hitam. Budi menahannya sekuat tenaga, keringat bercucuran meski udara terasa dingin menusuk.“Bu! Pegangan sama aku! Jangan lihat ke cermin!” teriak Budi, suaranya pecah oleh panik.Tapi suara dari balik cermin justru makin keras. Gamelan mengalun—suara kendang, gong, dan saron bertalu-talu, tak masuk akal bagaimana bisa ada di kamar sempit itu. Lalu terdengar sinden bersuara lirih:“Sliramu wis dadi sliraku…”(Dirimu kini sudah menjadi diriku…)Budi menoleh sekilas—dan nyaris menjerit. Wajah yang muncul di cermin kali ini bukan hanya Ratna, tapi puluhan wajah lain. Perempuan-perempuan dengan rambut acak-acakan, mata kosong, bibir sobek sampai telinga. Mereka semua ikut bernyanyi dengan mulut yang bergerak serempak, seperti paduan suara neraka.Dari lua

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 5 Sosok di depan cermin

    Pagi itu, matahari menanjak pelan di balik bukit. Udara masih dingin, embun menempel di ujung rumput halaman. Beberapa tetangga sudah beraktivitas, ada yang menyapu teras, ada yang menimba air di sumur. Tapi perhatian mereka tertuju ke satu rumah: rumah Ratna.Rumah itu masih rapat tertutup. Jendela terkunci, pintu tak terbuka sedikit pun. Padahal biasanya, Ratna selalu keluar pagi-pagi, sekadar menyapu halaman atau memberi makan ayam.Pak Slamet, tetangga sebelah yang paling tua, mengernyit sambil mengusap dagu. Ia berdiri lama, memandangi halaman Ratna. Ada yang janggal.“Lho… bekas opo kui?” gumamnya pelan. (Lho… bekas apa itu?)Ia melangkah pelan, mendekati tanah di depan rumah Ratna. Benar saja—bekas jejak kaki terlihat jelas. Bukan jejak kering, melainkan basah, seolah seseorang baru saja berjalan dengan kaki terendam air. Jejak itu mengarah langsung ke pintu rumah Ratna.Pak Slamet menelan ludah. “Kok… isih teles ngene wae…” (Kok…

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 4 Jeritan Yang Hilang

    Ratna berlari terbirit-birit, kakinya menghantam jalan berbatu yang dingin. Nafasnya berat, dada terasa seperti dihantam batu besar, tapi rasa takut lebih kuat daripada rasa lelah. Pohon-pohon di sepanjang jalan yang biasanya tampak teduh di siang hari, kini seakan menjelma jadi barisan raksasa bisu yang mengawasi langkahnya.“Ya Allah… ya Allah…” Ratna berbisik panik, matanya menoleh sekilas ke belakang.Kosong.Tak ada siapa-siapa.Namun suara itu… tetap ada.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”(Lingsir malam… dirimu menuju sirna…)Ratna menutup telinganya dengan kedua tangan, hampir menangis. Tapi suara itu tidak padam. Justru semakin jernih, seolah keluar dari dalam rongga dadanya sendiri. Ia tersandung batu, terjatuh, lututnya perih tergores. Air mata bercampur keringat mengalir di pipinya.Ia bangkit dengan tergesa. Saat menoleh, pandangannya membeku.Di ujung jalan, di bawah cahaya bulan yang pucat, a

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 3 Bayangan di balik Tembang

    Pintu kayu itu masih rapat tertutup. Tapi suara tembang Jawa itu makin jelas, makin menusuk ke telinga Ratna, seolah-olah penyanyinya berdiri persis di ambang rumah. “Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…” (Tengah malam… bayanganmu lenyap…) Ratna memejamkan mata, tangannya menutup telinga, tapi tetap saja suaranya masuk, meresap, menggema di dalam kepalanya. Air matanya jatuh tanpa sadar. Lelaki tua itu masih berkomat-kamit, lalu menghentikan bacaannya. Suaranya lirih, hampir berbisik. “Nduk, ojo nganti kowe nyawang wajahé.” (Nak, jangan sampai kau melihat wajahnya.) Ratna langsung merinding. Dadanya terasa sesak, seakan tubuhnya menolak setiap kata yang baru saja didengar. “Wajah… wajah siapa, Pak…?” suaranya bergetar, tercekat di tenggorokan. Lelaki tua itu tak menjawab. Ia justru mematikan pelita minyak di tangan

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 2 Jejak di bawah Ranjang

    Ratna masih berdiri kaku di pojok kamar. Nafasnya tersengal, dada naik turun cepat seolah baru saja berlari jauh. Matanya terpaku pada lantai. Bercak merah itu nyata. Tidak hilang. Menyebar seperti tetesan darah yang baru jatuh beberapa saat lalu, mengarah lurus ke bawah ranjang tempatnya tidur. Ia menggigit bibirnya, mencoba meyakinkan diri. Mungkin itu cat… mungkin bekas karat… bukan darah… bukan darah… Tapi bau anyirnya menampar keras hidungnya. Terlalu pekat untuk diabaikan. Perlahan, Ratna berjongkok. Tangannya gemetar saat hendak mengangkat ujung sprei yang menjuntai ke lantai. Ada bagian dalam dirinya yang berteriak: jangan lihat, jangan! Tapi rasa penasaran—atau mungkin rasa takut ingin memastikan—lebih kuat. Dengan tangan dingin, ia angkat kain sprei itu sedikit. Gelap. Hanya kegelapan pekat yang menelan pandangan. Namun ketika matanya mulai terbiasa, ia bisa melihat sesuatu.

  • Lingsir Wengi -Tembang jawa   Bab 1 Pindahan

    Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”Ratna sontak duduk di ran

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status