Hati siapa yang tidak hancur kala mendengar tentang perselingkuhan yang dilakukan sahabat dan istrinya sendiri. Sekuat apapun seorang lelaki, sesabar apapun dia pasti akan langsung murka. Saat ini Axelle ingin sekali memukuli Marvel, hingga lelaki itu babak belur. Axelle berada di ambang kemarahannya, beruntung ponselnya berdering. Dengan cepat Axelle mengangkat telepon tersebut. Ada nama Stela terpampang di sana. Lelaki itu menghela napas panjang.
"Iya Stela, ada apa?" tanya Axelle menahan amarah.
"Maaf Om, Stella menganganggu. Apa nanti Om Axelle pulang ke rumah kakek?" tanyanya.
Axelle terdiam sejenak, "Iya aku akan pulang. Aku tidak akan lama di sini, kenapa?" tanyanya kemudian.
"Kakek lupa membawa obatnya, apa nanti biar Stela suruh sopir mengantar saja?" tanya sang istri.
"Tidak perlu, biar aku yang mengantarkan, aku akan pulang sekarang. Kau siapkan
Axelle pulang dalam keadaan murka. Dia merasa jijik harus berakting mesra. Di lepas jas yang ia kenakan beserta dasi lalu melemparnya ke lantai. Ibu Olivia datang dengan kening mengkerut melihat tuannya menghempaskan tubuh ke sofa dengan kasar. Ingin dia mengumpat, mengucapkan sumpah serapah kepada Marvel dan Freya. Kedua penghianat yang hanya ingin kekayaannya. Axelle meremas rambutnya Frustrasi. "Ibu, buatkan aku minuman dingin," keluh Axelle. "Baik Tuan," ujar Ibu Olivia untuk kemudian wanita tersebut berjalan menuju dapur. Tak lama ia kembali membawakan jus lemon kesukaan Axelle. Wanita tua itu meletakkannya di atas meja. Untuk kemudian pergi undur diri meninggalkan tuannya yang sedang galau. Bukan kawasan ia untuk ikut campur dalam masalah sang majikan. Meski telah lama ia dipercaya bekerja di rumah mewah tersebutn ia cukup diam, mengamati. Axelle meneguk minuman tersebu
Lelaki tersebut menatap sayu tubuh telanjang menggoda di bawah, dalam kendalinya. Tangan berotot Axelle meghapus pelan buliran air mata sang istri kecil. Dapat ia rasakan sesuatu yang luar biasa di bawah sana. Lebih indah dari yang ia duga. Kejantanannya seperti di remas oleh denyutan bagian kewanitaan sang istri. Ada rasa bersalah ketika Axelle merasakan miliknya merobek, menelusup masuk paksa ke dalam liang kenikmatan Stela. Axelle memeluk tubuh kecil yang melengkung tersebut. Harusnya dia lebih lembut dalam bertindak, harusnya ia memilih momen yang romantis, bukan dalam kubangan emosi yang meluap. Sapuan angin yang menyapa tubuh bugilnya mengingatkan posisi mereka yang tengah berada di ruang terbuka, ruang yang seharusnya tak ia gunakan untuk merenggut keperawanan Stela. "Apa masih sakit?" bisik Axelle. Stela tak menjawab, tapi ia tak menangis lagi. Rasa perih menyergap di bawah sana. Terasa benda tumpul
Sudah hampir satu jam lamanya Stella termenung di depan meja kerjanya. Kertas yang seharusnya berisi gambar-gambar, masih kosong putih bersih. Tangan Stela masih gemetaran, ia bahkan tak ingat bagaimana caranya ia mandi tadi. Rambutnya basah kuyup, dan bajunya terlihat berubah menjadi piyama dengan motif kotak-kotak lengan panjang warna navy serasi dengan piyama yang Axelle, suaminya kenakan. Gadis itu mendongakkan kepala, melihat langit-langit kamar. Bayangan Axelle muncul lagi, dia mengingat sedikit, tangan berotot Axelle mengangkat tubuhnya ke kamar mandi. Axelle memandikan Stela dengan lembut. Suaminya begitu telaten, tangan berotot itu terlihat lembut menyentuh kulit, menyabuni badannya. Stela hanya duduk terbengong di sebuah kursi kecil. Itulah yang membuat Stela semakin linglung. Dia benar-benar tak dapat lagi berpikir dengan jernih. Sisa-sisa sensai menggetarkan luar biasa, masih terlihat jelas dalam ingatan. Ditambah sentuhan tangan yang terasa halus saat meman
Ada rasa berdebar di hati Stela, dadanya bergemuruh, sapuan napas sang suami yang menggelitik ke telinganya memberi sensasi luar biasa. Jantungnya berdegub kencang. Stela menundukkan kepala, rasa malu menyergap. Untaian kata tak bisa ia ucap, tangan yang menggenggam pensil bergetar hebat. Tanpa menunggu persetujuan Axelle mulai mencium tengkuk sang istri. Dia menyibakkan rambut panjang itu ke samping. Mengeksplore leher bagian belakang. Tangan berototnya tak tinggal diam. Meraba, dan sedikit meremas payudara sang istri yang masih terbalut piyama lengan panjangnya. Stela menjatuhkan pensil yang dia genggam. Pikirannya kalut, dia mulai fokus pada sentuhan-sentuhan nakal sang suami. Tangan berotot itu mulai menelusup masuk, merayapi setiap inci perut yang membuat Stela mengepalkan tangan. Menahan geli dan rasa yang tidak karuan. Bibir sang suami mulai mencium, memberikan cupangan di leher bagian belakang. Tangan Axelle merayapi punggung sang istri, dengan sekali sentuhan
Stela terbangun ketika silaunya cahaya mentari mengusik. Dia mengerjab-kerjabkan mata seraya menggeliatkan tubuh yang terasa pegal tesebut. Matanya mulai terbuka, dia nampak beberapa kali menguap. Bibinya mengulas senyum. Malam membahagiakan nan melelahkan masih teringat jelas di pikiran Stela. Pengalaman yang begitu mengesankan bagi gadis tersebut. Setiap gerakan dan sentuhan Axelle sangat membuatnya candu. Stela menepuk-nepuk kepalanya, agar bayangan tubuh telanjang sang suami tak lagi hadir. Stela menghela napas panjang, dia berusaha bangkit untuk duduk. Namun, punggungnya terasa nyeri, tak lama kemudian suara pintu di buka dengan pelan. Seseorang melongok ke dalam, seorang wanita muda. "Anda sudah bangun Nyonya," sapa gadis tersebut. Dia berjalan masuk ke dalam kamar. Membuka gorden penutup jendela satu persatu. Stela sendiri enggan bangun dari ranjang. Tubuhnya benar-benar nyeri berkat pertempuran semal
Axelle merapikan letak dasinya, Stella membuka tas slempang yang ia tenteng dari tadi. Dia berdiri berjalan mendekat ke arah Axelle. Tanpa bicara gadis tersebut mengelap belas lipstik yang menempel di bibir suaminya. Stela tersenyum kemudian. "Duduklah, aku akan keluar sebentar," kata Axelle, dia membimbing istrinya duduk di sebuah kursi sofa, tempta untuk duduk para kolega dan relasi bisnisnya bila berkunjung. Lelaki tersebut kemudian bergegas membuka pintu. Matanya sedikit melebar kala melihat Freya sedang beradu mulut dengan asistennya. "Ada apa ini?" tanya Axelle mbuat semuanya terdiam. "Sayang, mereka tidak mengizinkan aku masuk ke ruangan kamu," kilah Freya manja. "Jangan salahkan mereka, semua memang sudah di atur Ayah," jelas Axelle. "Masuklah," ajak Axelle menggandeng Freya. Keduanya masuk ke dalam ruangan. Stela duduk manis di sofa, dia mengulas sen
Axelle terbengong mendapati sang istri menjelajah ke setiap sudut lehernya. Dan beralih turun ke dada. Kepala Stela sampai tertutup kemeja yang masih dikenakan Axelle. Lelaki itu merasakan sentuhan bibir dan lidahnya menari-nari di dada bidangnya. Dia mengernyitkan kening. "Dari mana kau belajar semua ini Sayang, aku merasa kau sangat pandai dalam menggoda lelaki," seloroh Axelle. "Tentu Stela belajar dari Om semalam," jawab Stela tak kalah receh. "Ah!" pekik Axelle dalam tawa girang kala, merasakan sang istri memberinya tanda cupangan di bagian dada. "Sayang, tidakkah kau tau akibat dari membangunkan macan yang tengah tidur?" tanya Axelle tersenyum nakal. "Saya tahu, karena itu saya lakukakan. Silahkan makan saya hingga habis," tantang Stela pada sang suami. Axelle membiarkan sejenak sang istri, napasnya mulai memburu dengan wajah yang
Sudah hampir satu minggu Axelle Zeroun menyibukkan diri dan berlama-lama di kantor. Ia sering pulang larut malam, bahkan kadang ke luar kota menghadiri acara perjamuan yang sebenarnya tidak begitu penting. Semua ia lakukan demi menghindari Freya. Lelaki itu merasa jijik dan begah berada dalam satu ruang. Tidur jua Axelle lebih memilih di kamar lain, dengan alasan, agar tidak mengganggu kenyamanan Freya. Terlebih lagi bayangan Stela selalu berkelebatan di pikirannya. Menari-nari dengan indah, senyumnya, tawanya, ekspresi wajah ketika penyatuan keduanya. Semua membayang jelas dalam ingatan. Axelle bahagia, sangat bahagia dengan apa yang ia peroleh. Bukan lantaran keperawanan Stela yang telah ia renggut. Tapi Axelle memperoleh seorang wanita kecil mempesona. Yang mampu membuat hati bekunya meleleh. Yang membuat pertahanannya runtuh. Stela, sahabat dari Mirza, anak yang ia besarkan. Alangkah malangnya kenyataan pahit, harus di telan sepahit juadah. Mirza, putra yang ia ban