Sudah hampir satu minggu aku menginap di penginapan ini. Sebenarnya Maya menawariku untuk mencari tempat kos. Tapi aku menolaknya.
Tinggal di tempat kos bagiku sama saja. Bahkan ada beberapa hal yang mungkin tidak akan ku dapatkan di sana.
Aku mulai menggunakan ponselku. Mengaktifkan kartu baru dan mulai mencari pengacara di internet. Aku butuh pengacara handal yang mampu menyelamatkan aku. Dan pastinya aku harap bisa bertindak cepat. Masalah biaya, aku berencana menjual rumah yang selama ini aku tinggali.
Meskipun rumah itu penuh kenangan dan satu-satunya peninggalan orang tuaku, tapi di rumah itu juga aku pernah berbagi kisah dengan orang yang sangat ku benci.
Aku yakin, kedua orang tuaku pastinya ingin melihatku bahagia. Rencananya sisa penjualan rumah itu akan ku buat
"Aku punya ini dan ini," kataku sambil menjejerkan beberapa surat penting di atas meja teras kamarku.Panji memeriksa satu persatu. "Ini sertifikat rumah Raina?" tanya Panji."Bukan, itu rumah kakek. Raina yang menempatinya." Aku menjelaskan sambil menyesap teh hangat."Mau kamu jual? Lalu Raina?""Aku nggak sejahat itu, hasil penjualan akan ku bagi dua. Aku hanya tak ingin diantara kami berdebat tentang rumah itu."Laki-laki di seberangku itu menganggukkan kepala. Bagaimanapun aku dan Raina memiliki alur darah yang sama. Aku menghindar darinya untuk meredam kemarahanku.Karena jujur dari dalam hati aku takut menyesal jika sampai terjadi sesuatu yang mengerikan antara aku dan sepupuku.Untuk saat ini, biar dia dan rasa bersalahnya dan aku dengan amar
Kembali menempuh perjalanan bersama Panji. Menyusuri jalan yang akan membawaku ke rumah Akmal.Ya, rumah Akmal dan ibunya. Karena sejak kejadian malam itu ternyata Akmal cukup tahu diri untuk tidak menghuni rumahku. Pengacara Panji telah memastikan hal itu.Akmal hanya datang sesekali untuk membersihkan rumah dan merawat tanaman milikku.Rumah ibu dan rumahku lumayan dekat. Hanya berjarak sekitar lima belas menit dengan berjalan kaki. Cukup dekat, sehingga ibu sering berjalan kaki menuju rumahku, olahraga, begitu kata beliau.Ibu sosok perempuan yang masih energik di usia akhir lima puluh tahun. Bicaranya ketus, namun dia begitu menyayangiku. Dulu.Sekarang semua berubah, hanya karena aku belum bisa memberinya cucu. Dulu hampir seminggu sekali ibu memberiku ramuan penyubur. Kadang belum sampai dua hari ibu datang lagi me
Aku memutuskan bertemu Akmal lebih dulu sebelum aku menemui ibu. Karena aku ingin memperjelas statusku.Aku ingin saat bertemu ibu ataupun Raina, statusku sudah jelas. Agar aku bisa menempatkan diri sebagai mantan menantu, bukan menantu bodoh yang statusnya digantung begitu saja.Hampir dua minggu aku mingg*t, seperti kata Panji, pasti terlihat menyedihkan kalau akhirnya aku dan Akmal menunda perceraian kami. Entah kapan panggilan sidang dari pengadilan. Yang jelas Akmal harus segera mengucap ikrar talak terhadapku.Janda. Ya, aku berharap segera mendapatkan status itu.Tidak ada perempuan yang bercita-cita menjadi janda. Namun keadaan yang memaksa perempuan ingin bergegas menyandang gelar itu. Bukan untuk sebuah kebanggaan, namun lebih sebagai awal hidup baru yang pastinya lebih baik.Panji kembali mengantarku. Kali ini
Aku meninggalkan Akmal sendiri di taman. Gerimis bertambah deras. Angin pun seolah ingin turut meramaikan suasana, membaur melimpahkan deru.Senja melambung, seperti anganku yang entah kemana. Jiwaku seolah tak menjejak bumi.Status baru telah ku sandang, tapi entah kenapa sakit ini masih terasa. Mungkinkah karena aku belum terbiasa? Terlalu bergantung pada sosok Akmal membuatku limbung saat pengkhianatan nampak di depan mata.Menyesal, kenapa dulu aku tidak bekerja.Panji menyusulku memasuki mobil. Entah bagaimana wajahku, sekuat tenaga aku menahan, nyatanya air mata tetap mengalir deras. Dadaku seolah dipukul godam tak kasat mata.Entahlah, yang pasti aku berjanji ini terakhir kali aku menangis untuk seorang Akmal. Banyak kisah manis yang telah terukir, nyatanya berujung pahit yang menggerogoti hati.
Aku sangat terkejut. Berulang kali ku baca ulang pesan itu. Dan benar, tak ada yang berubah di dalam kalimatnya.Mataku beralih dan menatap tajam kearah ibu Akmal. Aku ingat sesuatu."Bu, dimana surat tanah milikku?"Ibu melebarkan mata. Mulutnya bergerak seolah ingin mengatakan sesuatu."Dimana, Bu?""Apa maksudmu?" Ibu mencoba berkilah."Ibu sembunyikan dimana? Katakan sekarang atau …,""Atau apa Ta? Jangan mengancam Ibu, kesehatannya terganggu karena kemarin tiba-tiba pengacaramu datang." Suara Raina memotong ucapanku."Kamu cukup diam, ini urusanku dengan Ibu. Kam
"Kenapa diam? Kamu harus minta maaf pada ibu. Kamu harus …." Ucapannya terhenti saat aku memberanikan diri untuk menatap matanya.Rasa takut kembali datang. Ingatan tentang kejadian malam itu membuat tubuhku sedikit gemetar.Ya Tuhan …, jangan terjadi lagi ….Tangannya mengepal dan memukul sandaran sofa di sebelahku. Matanya menyorot merah penuh amarah dan kecewa.Posisiku sangat tidak menguntungkan. Aku berada di bawah kungkungannya."Ternyata kamu benar-benar lupa bagaimana aku selama ini." Aku berucap lirih.Akmal tersentak mendengar ucapanku.Perlahan dia menjauhkan diri dan pandangan matanya mulai mered
Aku hamil, dan ini semua menjadi awal dosaku. Dosa yang tak pernah bisa terampuni.Aku mempunyai tunangan dan dia tinggal jauh dariku. Dia Panji, pria berusia tiga puluh tahun, sikapnya dingin bahkan terhadapku.Aku yang memintanya untuk menjadikanku tunangannya. Sekedar untuk menyenangkan hati kakek. Aku mengenal Panji karena dia pernah beberapa kali mengisi acara di kampusku.Panji seorang pengusaha muda, dan menikah berada di deretan entah keberapa dalam target hidupnya. Saat ku tanya, apakah dia akan segera menikahiku?Dia bilang, dia menungguku melamarnya. Unik bukan?Aku sendiri senang menjalani hubungan ini. Tak ada kekangan, tak ada tunangan posesif, dan tak ada beban. Aku terikat namun bebas.Sampai suatu hari aku menemukan tatapan Panji terlihat berbeda saat dia menatap Marta, sep
Aku terbangun karena merasakan gerakan di sebelahku. Mungkin Akmal terbangun.Terdengar beberapa kali dia menyebut nama Tuhan. Aku ingin mengacuhkannya, tapi telingaku benar-benar terganggu.Terlalu lama tidur dengan posisi miring membuat badanku terasa pegal. Aku menggeliat dan sedikit meringis saat sadar selimutku tersibak."Na, ba--bagaimana bisa kita ada di sini?"Panik, ya … Akmal terlihat panik dan bingung di saat bersamaan.Aku mengedikkan bahu, berusaha meraih selimut untuk menutup tubuhku."Kita … kita, maksudku semalam tidak terjadi apa-apa kan?" Akmal menatapku, dia sudah berpakaian lengkap walau terkesan asal pakai saja."Menurutmu?" Aku membalikkan pertanyaan.Akmal mengusap kasar wajahnya. Dia berdiri