Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.
Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.
Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.
Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.
Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku.
"Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyasar," begitu ungkapnya.
Tante Nina tersenyum dan membenarkan ucapan anaknya. Akhirnya aku dan Panji pergi berdua.
"Pengen kemana?" tanya Panji sesaat sebelum menyalakan mesin.
"Nggak tahu, aku bingung." Jujur aku juga tak tahu ingin kemana.
"Pantai, pegunungan, mall, bioskop?"
"Hmm …, bagaimana kalau ke mall?"
"Ya, wanita dan belanja."
Aku tersenyum mendengar kalimatnya barusan. Ya, wanita dan belanja memang tidak bisa terpisahkan. Panji menatapku sesaat.
"Senyum kamu manis," katanya pelan.
"Oya, terima kasih …,"
"Suami kamu terlalu bodoh." Dia bergumam pelan, tapi masih cukup bisa kudengar.
Aku segera turun setelah mobil terparkir rapi. Panji kemudian melangkah disampingku. Saat akan melangkah masuk, tiba-tiba tubuhku terdorong oleh seseorang.
Aku oleng dan hampir saja jatuh kalau saja Panji tak cepat menarikku. Aku menabrak tubuh kekarnya.
"Hei, hati-hati!" seru Panji pada laki-laki yang telah menabrakku.
"Maaf, maaf saya tadi terburu-buru …," sesal pria itu. Dia menatap ke arahku. Seketika aku terkejut ketika melihat wajahnya.
"Reno …?"
Ternyata aku mengenalnya. Ya, dia Reno, teman Mas Akmal di komunitas itu.
"Hai, Marta … kamu …?" Kalimatnya tergantung. Matanya menelisik Panji yang berdiri di sampingku.
"Saya Panji, saudara Marta." Panji mengulurkan tangan kanannya, dan segera disambut oleh Reno.
"Saya Reno, teman suami Marta."
Panji mengangguk.
"Kalian lagi disini to, makanya si Akmal lama nggak ikut nongkrong. Baru juga gabung, udah kabur-kabur aja dia."
Aku tersenyum menanggapi ucapan Reno, walau ada sedikit yang mengganjal. Tadi Reno bilang suamiku jarang ikut kumpul? Bukankah hampir tiap malam suamiku itu pergi, dan pulang menjelang dini hari?
"Ehm, maaf atas kejadian tadi. Dan aku nggak bisa lama-lama juga, istriku nunggu di dalem soalnya,"
"Iya, nggak papa Ren."
Reno pamit, kemudian berjalan cepat masuk ke dalam mall.
"Ayo." Panji mendahuluiku masuk. Langkahnya yang lebar membuatku harus mengimbanginya.
"Ish, kita kan mau jalan-jalan. Ngapain harus cepet gini sih,"
"Kalau jalanmu kaya siput, mending sekalian kamu jadi manekin."
Hah? Apa dia bilang? Jalanku kaya siput?
Yang benar saja. Apa dia pikir aku kemari mau balapan lari? Wajarlah perempuan di mall jalan pelan tengok kanan kiri. Ada bagus dikit mampir, lucu dikit pegang. Kalau mau jalan cepat ke tempat gym, bukan ke mall.
Aku mengeluh dalam hati, Mas Akmal selalu sabar menemaniku jalan. Tak ada keluhan yang dikeluarkan. Mas Akmal …, ya Tuhan … apapun yang ku lalui tak pernah lepas dari namanya.
Bagaimana tidak, pernikahan kami berumur empat tahun, dan semua baik-baik saja, sebelum ku tahu kebusukannya.
Hatiku kembali teriris.
"Maaf, aku hanya tak terbiasa jalan bareng cewek." Panji yang tadi sudah berada jauh di depanku berbalik dan mensejajari langkahku.
Aku hanya diam. Malas menanggapinya. Ku dengar meski samar, Panji menghela nafas.
"Kamu mau beli apa?" Dia bertanya setelah beberapa menit aku terus berjalan.
Kujawab dengan kedikan bahu.
"Nggak ada bayangan mau apa gitu?"
"Belum,"
Panji terus mengekor di belakangku. Beberapa kali dia bertanya ataupun sekedar menawarkan barang untuk kubeli. Tak ada yang menarik, setidaknya untuk saat ini.
Sangat terlihat dia mulai bosan. Dan entah kenapa aku merasa terhibur. Senyumku tertahan, ketika berulang kali Panji sembunyi-sembunyi melihat ke arah jam tangannya.
"Marta, stop!"
"Hmm …, kenapa?"
"Hhh, hampir dua jam dan kamu belum membeli apapun. Mau kamu apa?"
Panji seperti menahan emosi, terbukti dari suaranya yang tajam.
"Kan aku tadi cuma bilang mau jalan-jalan …," sahutku tanpa rasa bersalah. Panji mengusap wajah.
" Kamu pengen jalan-jalan?" Dia mengulang kata-kataku. Dan aku menjawabnya dengan anggukkan.
"Oke. Ayo balik."
Aku memekik pelan saat tangan Panji menarik jariku. Dia langsung membawaku menuju pintu keluar.
"Panji …, aku masih ingin di sini!" Seruanku tak menyurutkan langkah lebarnya. Tanpa kusadari tanganku masih berada dalam genggamannya.
Panji terus berjalan, dan sesampainya di depan mobil dia membuka pintu penumpang dan mendorongku masuk. Setengah berlari dia memutari mobil dan kemudian duduk di kursi kemudi.
"Kamu tuh ya, kaya penculik tahu!" Aku bergumam kesal.
"Baru sadar?"
"Aku belum puas jalan-jalan."
"Kamu pikir aku mau kaya orang nggak ada kerjaan. Muter-muter nggak ada tujuan?"
Sentakan Panji membuatku semakin geram. Aku memilih diam. Tak habis pikir dengan sosok Panji. Apa dia bilang tadi? Muter-muter kayak orang nggak ada kerjaan? Dasar manusia aneh.
Tidak tahukah dia, bagiku 'muter-muter kayak nggak punya kerjaan' itu seperti obat manjur penghilang sesak di dada.
Karena kesal, aku tak menyadari jika jalan yang kami lalui ini bukan jalan menuju pulang. Jalanan semakin sepi, di kiri kanan tumbuh pohon-pohon besar dan semakin lama semakin rapat.
"Hei, kita mau kemana?" Tanyaku saat aku sadar.
Panji menoleh sekilas dan memamerkan seringaian yang baru kali ini ku lihat. Jujur aku sedikit takut.
"Panji …!"
Panji tak menyahut. Jalanan sunyi dan berkelok.
"Aku akan membawamu bersenang-senang, Marta."
Tiba-tiba aku diliputi rasa takut …, apakah Panji akan menyakitiku?
Ataukah dia ingin melampiaskan dendamnya atas perbuatan Mas Akmal dan Raina?
Siapapun, tolong aku …!!
Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya
Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang
Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso
Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita
Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam
Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons