Share

7. Panji

Sudah dua hari aku tinggal di rumah Tante Nina. Selama aku di rumah ibunya, Panji memilih menginap di apartemen miliknya. Laki-laki dingin itu hanya muncul saat jam makan. Benar-benar datang hanya untuk makan, kemudian pergi lagi.

Sesekali aku mengaktifkan ponsel, dan selalu pesan dari Mas Akmal membanjir. Ia memaksa aku untuk pulang. Tak sekalipun aku membalas. Beberapa kubaca, dan sebagian besar ku abaikan.

Tante Nina selalu memberiku semangat, menyalurkan energi positif hingga aku merasa lebih baik.

Siang ini aku merasa butuh udara segar. Saat makan siang, aku meminta izin kepada Tante Nina untuk pergi keluar.

Diluar dugaan, Panji mengajukan diri untuk mengantarku.

"Kamu nggak tahu jalan. Aku juga yang repot kalau kamu nyasar," begitu ungkapnya.

Tante Nina tersenyum dan membenarkan ucapan anaknya. Akhirnya aku dan Panji pergi berdua.

"Pengen kemana?" tanya Panji sesaat sebelum menyalakan mesin.

"Nggak tahu, aku bingung." Jujur aku juga tak tahu ingin kemana.

"Pantai, pegunungan, mall, bioskop?"

"Hmm …, bagaimana kalau ke mall?"

"Ya, wanita dan belanja."

Aku tersenyum mendengar kalimatnya barusan. Ya, wanita dan belanja memang tidak bisa terpisahkan. Panji menatapku sesaat.

"Senyum kamu manis," katanya pelan.

"Oya, terima kasih …,"

"Suami kamu terlalu bodoh." Dia bergumam pelan, tapi masih cukup bisa kudengar.

Aku segera turun setelah mobil terparkir rapi. Panji kemudian melangkah disampingku. Saat akan melangkah masuk, tiba-tiba tubuhku terdorong oleh seseorang.

Aku oleng dan hampir saja jatuh kalau saja Panji tak cepat menarikku. Aku menabrak tubuh kekarnya.

"Hei, hati-hati!" seru Panji pada laki-laki yang telah menabrakku.

"Maaf, maaf saya tadi terburu-buru …," sesal pria itu. Dia menatap ke arahku. Seketika aku terkejut ketika melihat wajahnya.

"Reno …?"

Ternyata aku mengenalnya. Ya, dia Reno, teman Mas Akmal di komunitas itu.

"Hai, Marta … kamu …?" Kalimatnya tergantung. Matanya menelisik Panji yang berdiri di sampingku.

"Saya Panji, saudara Marta." Panji mengulurkan tangan kanannya, dan segera disambut oleh Reno.

"Saya Reno, teman suami Marta."

Panji mengangguk.

"Kalian lagi disini to, makanya si Akmal lama nggak ikut nongkrong. Baru juga gabung, udah kabur-kabur aja dia."

Aku tersenyum menanggapi ucapan Reno, walau ada sedikit yang mengganjal. Tadi Reno bilang suamiku jarang ikut kumpul? Bukankah hampir tiap malam suamiku itu pergi, dan pulang menjelang dini hari?

"Ehm, maaf atas kejadian tadi. Dan aku nggak bisa lama-lama juga, istriku nunggu di dalem soalnya,"

"Iya, nggak papa Ren."

Reno pamit, kemudian berjalan cepat masuk ke dalam mall.

"Ayo." Panji mendahuluiku masuk. Langkahnya yang lebar membuatku harus mengimbanginya.

"Ish, kita kan mau jalan-jalan. Ngapain harus cepet gini sih,"

"Kalau jalanmu kaya siput, mending sekalian kamu jadi manekin."

Hah? Apa dia bilang? Jalanku kaya siput?

Yang benar saja. Apa dia pikir aku kemari mau balapan lari? Wajarlah perempuan di mall jalan pelan tengok kanan kiri. Ada bagus dikit mampir, lucu dikit pegang. Kalau mau jalan cepat ke tempat gym, bukan ke mall.

Aku mengeluh dalam hati, Mas Akmal selalu sabar menemaniku jalan. Tak ada keluhan yang dikeluarkan. Mas Akmal …, ya Tuhan … apapun yang ku lalui tak pernah lepas dari namanya.

Bagaimana tidak, pernikahan kami berumur empat tahun, dan semua baik-baik saja, sebelum ku tahu kebusukannya.

Hatiku kembali teriris.

"Maaf, aku hanya tak terbiasa jalan bareng cewek." Panji yang tadi sudah berada jauh di depanku berbalik dan mensejajari langkahku.

Aku hanya diam. Malas menanggapinya. Ku dengar meski samar, Panji menghela nafas.

"Kamu mau beli apa?" Dia bertanya setelah beberapa menit aku terus berjalan.

Kujawab dengan kedikan bahu.

"Nggak ada bayangan mau apa gitu?"

"Belum,"

Panji terus mengekor di belakangku. Beberapa kali dia bertanya ataupun sekedar menawarkan barang untuk kubeli. Tak ada yang menarik, setidaknya untuk saat ini.

Sangat terlihat dia mulai bosan. Dan entah kenapa aku merasa terhibur. Senyumku tertahan, ketika berulang kali Panji sembunyi-sembunyi melihat ke arah jam tangannya.

"Marta, stop!"

"Hmm …, kenapa?"

"Hhh, hampir dua jam dan kamu belum membeli apapun. Mau kamu apa?"

Panji seperti menahan emosi, terbukti dari suaranya yang tajam.

"Kan aku tadi cuma bilang mau jalan-jalan …," sahutku tanpa rasa bersalah. Panji mengusap wajah.

" Kamu pengen jalan-jalan?" Dia mengulang kata-kataku. Dan aku menjawabnya dengan anggukkan.

"Oke. Ayo balik."

Aku memekik pelan saat tangan Panji menarik jariku. Dia langsung membawaku menuju pintu keluar.

"Panji …, aku masih ingin di sini!" Seruanku tak menyurutkan langkah lebarnya. Tanpa kusadari tanganku masih berada dalam genggamannya.

Panji terus berjalan, dan sesampainya di depan mobil dia membuka pintu penumpang dan mendorongku masuk. Setengah berlari dia memutari mobil dan kemudian duduk di kursi kemudi.

"Kamu tuh ya, kaya penculik tahu!" Aku bergumam kesal.

"Baru sadar?"

"Aku belum puas jalan-jalan."

"Kamu pikir aku mau kaya orang nggak ada kerjaan. Muter-muter nggak ada tujuan?"

Sentakan Panji membuatku semakin geram. Aku memilih diam. Tak habis pikir dengan sosok Panji. Apa dia bilang tadi? Muter-muter kayak orang nggak ada kerjaan? Dasar manusia aneh.

Tidak tahukah dia, bagiku 'muter-muter kayak nggak punya kerjaan' itu seperti obat manjur penghilang sesak di dada.

Karena kesal, aku tak menyadari jika jalan yang kami lalui ini bukan jalan menuju pulang. Jalanan semakin sepi, di kiri kanan tumbuh pohon-pohon besar dan semakin lama semakin rapat.

"Hei, kita mau kemana?" Tanyaku saat aku sadar.

Panji menoleh sekilas dan memamerkan seringaian yang baru kali ini ku lihat. Jujur aku sedikit takut.

"Panji …!"

Panji tak menyahut. Jalanan sunyi dan berkelok.

"Aku akan membawamu bersenang-senang, Marta."

Tiba-tiba aku diliputi rasa takut …, apakah Panji akan menyakitiku?

Ataukah dia ingin melampiaskan dendamnya atas perbuatan Mas Akmal dan Raina?

Siapapun, tolong aku …!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status